Arif
Muzayin Shofwan
JATIMTIMES, BLITAR – Forum
Persaudaraan Blitar Raya menggelar diskusi dan bedah buku “Ada Aku Diantara
Tionghoa dan Indonesia” di Kelenteng Poo An Kiong, Rabu (21/3/2018) malam.
Dalam acara ini, hadir sejumlah masyarakat, tokoh lintas agama, aktivis dan
mahasiswa.
Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga
tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen),
Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar), dan Bingky Irawan
Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Surabaya).
Arif Muzayin Shofwan dalam paparannya menyampaikan
bahwa buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia telah dibedah di 32 kota dan
2 negara. Tapi, sambung dia, Blitar berbeda dengan daerah lain karena acara
bedah buku digelar di kelenteng, pusat kebudayaan dan agama masyarakat
Tionghoa.
“Dari 32 kota dan 2 negara, yang diselenggarakan di
kelenteng cuma di Blitar. Saya mengucap terima kasih kepada pengurus Kelenteng
Poo An Kiong,” kata Arif Muzayin.
Ia menambahkan, bedah buku ini digelar bertepatan
dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada 21 Maret. Buku Ada
Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia berisi kumpulan narasi memori oleh 73
penulis. Beberapa tulisan di antaranya China Itu Temanku karya Dhyana
Wijayanti, Aku Ketionghoaan dan Keindonesiaan karya Dede Oetomo, Aku Mereka dan
Perbedaan karya Humam Rimba, Ada Aku diantara Tionghoa dan Indonesia karya
Suryanto. Arif Muzayin Shofwan juga menyumbangkan karya tulisannya di buku ini
dengan judul Saya, Darah Cina, Arab, Jawa, dan Pergumulan dengan Etnis Tionghoa
serta Kemajemukan Indonesia.
”Kita seringi mendegar dan melihat bahwa orang China
era sekarang sering dipolitisasi. Mungkin kita sering melihat di media sosial
muncul postingan bahwa China itu komunis dan lainnya. Buku ini mengajak
kita untuk menghapuskan sekat-sekat itu (Tionghoa dan Indonesia). Bahwa kita
dilahirkan berbeda merupakan suatu keniscayaan. Kita lahir berbeda,
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling membenci, tapi untuk
saling mengenal dan bersatu padu,” ucapnya.
Pada kesempatan ini, Arif juga menyampaikan
bahwa hubungan masyarakat Indonesia-China sudah terjalin sejak era Indonesia
lama dan pada masa itu pernah hidup rukun berdampingan. Salah satu bukti
akulturasi terjadi di masa Wali Songo. Konon Sunan Kalijaga pernah
memerintahkan Sunan Tembayat untuk membunyikan beduk di Semarang. Dalam
penelitiannya, Arif menemukan bahwa beduk merupakan budaya yang ada di dalam
masyarakat Tionghoa.
“Dalam penelitian, saya menemukan bahwa beduk adalah
tradisi China atau Tionghoa. Sementara kentongan adalah tradisi Jawa. Belum
lagi Sunan Kalijaga memproklamirkan baju takwa. Kalau di budaya Tionghoa
disebut baju koko,” ungkapnya.
Sementara, Daniel Lim di kesempatan ini menyampaikan
apabila kita membuka lembaran dan melihat dengan kacamata objektif, ada banyak
cerita indah tentang Tionghoa di Indonesia. Artinya, kehidupan masyarakat
Tionghoa di Indonesia tidak hanya diisi dengan kisah-kisah menyedihkan.
“Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia
menawarkan persepektif yang baru, yang unik. Banyak sekali cerita positif
antaretnis di Indonesia. Buku ini memotret bahwa etnis Tionghoa dan etnis lain
di Indonesia bisa hidup rukun berdampingan secara harmonis,” katanya.
Daniel Lim juga menyampaikan bahwa etnis Tionghoa juga
harus mengakui ada sisi buruk mereka. Seperti pemilik toko yang memperlakukan
karyawan dengan kurang baik. Menurut dia, hal ini merupakan lingkaran setan
yang harus segera dihilangkan.
“Problematika antaretnis yang kita hadapi ini ibarat
lingkaran setan. Jadi semakin tinggi stigma jelek etnis lain terhadap etnis
Tionghoa, semakin menggerus rasa kebangsaan etnis Tionghoa. Sebaliknya ketika
etnis Tionghoa semakin tidak peduli dengan bangsa, maka etnis lain akan menganggap
etnis Tionghoa ini adalah etnis luar, bukan etnis bagian dari bangsa
Indonesia," ucap dia.
Untuk memutus rantai lingkaran setan ini,
sambung Daniel, kedua belah pihak harus melihat sisi positif dari segala
permasalahan. Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia mengajak menolak
stereotipe dari etnis tertentu.
“Menurut saya, kehidupan masyarakat Tionghoa di
Indonesia sudah lebih meningkat dibandingkan dulu. Hal itu salah satunya berkat
perjuangan Gus Dur. Buktinya kita bisa menggelar diskusi ini. Kalau zaman dulu,
rasanya tidak mungkin kita diskusi dan ngomong vulgar soal Tionghoa. Oleh
karena itu, saya mengajak saudara-saudara saya dari Tionghoa untuk mulai
melihat dirinya sebagai bagian dari Indonesia, untuk mulai aktif dan
berkontrobusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan itulah kehidupan
kita akan menjadi lebih baik,” tandasnya.
Senada dengan Daniel Lim, Bingky Irawan juga
menilai etnis Tionghoa harus mulai aktif menyuarakan pendapatnya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. “Aktif bukan hanya berpolitik, tapi aktif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita (etnis Tionghoa) harus berani
tampil karena jaman sudah bukan lagi orde baru,” tegasnya.
Bingky, warga keturunan Tionghoa yang malam itu tampil
dengan pakaian adat Jawa, dalam kesempatan ini juga mengimbau kepada para tokoh
tokoh agama untuk membimbing umat untuk hidup rukun dan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dia juga berharap acara diskusi seperti ini bisa
digelar secara berkelanjutan.
“Para romo dan para kiai harus bisa membimbing
umatnya. Dan saya berharap kedepan bisa digelar sarasehan lintas agama di
tempat lain. Tidak hanya kelenteng tapi bisa digelar di gereja atau padepokan,”
harapnya.(*)
Pewarta
|
: Aunur
Rofiq
|
Editor
|
: Yunan
Helmy
|
Publisher
|
: Debyawan
Dewantara Erlansyah
|
Sumber
|
: Blitar
TIMES
|
JATIMTIMES, BLITAR – Lagu-lagu
Jawa berkumandang di Kelenteng Poo An Kiong Blitar malam itu, Rabu (21/3/2018)
malam, dalam acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia. Momen
ini langka terjadi di Indonesia. Dan merupakan kali pertama agu-lagu Jawa
berkumandang sejak Kelenteng Poo An Kiong berdiri pada tahun 1829.
Seperti diketahui, pada zaman penjajahan dan masa
pemerintahan Presiden Soeharto (era Orde Baru), hubungan masyarakat Jawa-China
terhambat oleh sekat-sekat yang salah satunya akibat politisasi.
Pada masa Orde Baru, kesenian tradisional asal China
(Tiongkok) sempat dilarang. Dalam masa politik saat itu segala macam
bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Begitupun di masa
penjajahan.
Setelah tahun 1998, atau sesudah lengsernya rezim Orde
Baru, geliat kesenian tradisional Tionghoa kembali muncul. Tepatnya pada masa
pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur saat itu
mengeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967 tentang
segala adat istiadat, kepercayaan dan budayanya. Perlahan, hubungan
Tionghoa-Indonesia pun mencair.
Acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan
Indonesia menghadirkan masyarakat lintas agama. Mulai dari tokoh lintas agama,
aktivis dan mahasiswa. Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga
tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen),
Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar) dan Bingky Irawan
Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Blitar).
Menariknya, malam itu Bingky Irawan, tokoh keturunan
Tionghoa ini memakai busana adat Jawa. Dalam kesempatan ini ia mengakui rasa
cintanya yang besar terhadap NKRI. Bahkan, Bingky yang juga seniman melantunkan
salah saru karya lagu ciptaannya yang mengambil genre lagu Jawa.
“Gus Dur pernah bilang, agama saya Islam tapi Islam
Nusantara. Dan saya sebagai Konghucu juga Konghucu Nusantara. Maka saya bikin
lagu-lagu Jawa sebagai wujud kecintaan saya kepada Indonesia,” kata Bingky
Irawan.
Sejumlah budayawan juga hadir dalam acara bedah buku
ini. Momen ini manfaatkan mereka untuk menjalin hubungan lebih mendalam antara
masyarakat Jawa-Cina. Budayawan Yoyok Madyono menilai positif acara yang
digelar bertepatan dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada
21 Maret.
“Acara ini seperti yang kita harapkan. Karena dulunya
Tionghoa dengan orang Jawa memang ada sekat. Harapan saya, sangatlah tepat
apabila di Klenteng ini sering dilaksanakan acara lintas agama. Karena kita
senang sekali bila bisa berkumpul dengan etnis Tionghoa. Acara ini positif
karena memberi kira pandangan mengenai berbangsa dan bernegara,” ungkap Yoyok.
Di kesempatan ini Yoyok juga
melantukan satu buah tembang Jawa ciptaannya, sebagai ungkapan syukur
masyarakat Jawa-China di Blitar malam itu bisa bertemu, bersilaturahmi dalam
kerukunan. Begini isi lirik lagu tersebut :
Dhandang Gula
Sugeng dalu Bapak lan Ibu sami
Keparenga kula matur bagiya
Mrih nis kala sedayane
Anggung manggih rahayu
Sesarengan dalu punika
Nugrahe pangeran
Kang mawantu-wantu
Kita sami pepanggihan
Adi cara bedah buku Tionghoa-Indonesia
Klenteng Poo An Kiong Mblitar
Pewarta
|
: Aunur
Rofiq
|
Editor
|
: Yunan
Helmy
|
Publisher
|
: Alfin
Fauzan
|
Sumber
|
: Blitar
TIMES
|
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), Daniel Lim (Dokumentasi, 2018) |
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur) dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018) |
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018) |
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018) |
Daniel Lim (Direktur Graha Bangunan Blitar), Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (Dokumentasi, 2018) |
Arif Muzayin Shofwan (Dokumentasi, 2018) |
Bingky Irawan, Mbah Juned (Perintis GMNI), Daniel Lim, Arif Muzayin Shofwan, Purnomo, dan Min Ho (Dokumentasi, 2018) |
Mbah To (Ketua Anshor Blitar) di tengah-tengah Banser usai bedah buku di Klenteng Poo An Kiong Blitar (Dokumentasi, 2018) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar