Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
(Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Blitar)
“Sesungguhnya kadar yang nampak dari cahaya
putih itu, ia adalah awal Subuh, keadaannya lemah dan kecil, kemudian menyebar.
Karena itulah, ia diibaratkan dengan benang.” (Al-Khazin)
Beberapa
dekade terakhir ini ada banyak ulama Wahabi maupun simpatisannya yang
mempermasalahkan waktu shalat Subuh di Indonesia yang terlalu malam dan masih
jatuh pada fajar Kadzib. Bahkan, salah satu simpatisan Wahabi dari kota Daeng, Sulawesi
Selatan yang bernama Fitri Happiest pada 4 Juli 2009 telah menulis di blog-nya “Goresan Vee” dengan mengacu
tulisan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairah yang menyatakan bahwa shalat Subuh
yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia terlalu kemalaman dan masih
jatuh pada waktu fajar Kadzib serta dianggap tidak sah. Tak jauh dari hal
tersebut, seorang ustadz di kota Malang, Jawa Timur menyatakan bahwa kesalahan
fatal bagi mayoritas umat Islam di Indonesia yang melakukan shalat Subuh hanya
mengikuti ahli falak belaka. Seakan-akan ustadz dari Malang tersebut mengatakan
bahwa ahli falak bukanlah bagian dari ahli agama yang sah dan tidak memiliki
kontribusi sama sekali dalam masalah agama.
Tentu
saja, hal tersebut di atas menjadi sebuah tantangan bagi para ulama Nahdlatul
Ulama (NU) untuk menyanggah pendapat para ulama Salafi Wahabi yang datang
belakangan di bumi Nusantara tercinta ini. Kyai Syamsul Hadi selaku pemateri
dan pemegang Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) kabupaten Blitar
menegaskan bahwa ilmu falak merupakan sebuah media yang sifatnya universal dan
menjadi bagian dari ilmu matematika (ilmu
hisab). Ilmu matematika memiliki sifat yang universal dan pasti seperti
apabila orang non muslim mengatakan bahwa 1+1=2, maka orang muslim pun juga
sepakat serta menerima dengan hal tersebut. Dengan demikian, ustadz yang
mengatakan bahwa kesalahan fatal bagi mayoritas umat Islam di Indonesia karena
hanya mengikuti ahli falak belaka, tidak bisa dibenarkan. Sebab ilmu falak yang
merupakan bagian dari ilmu matematika (ilmu
hisab) juga merupakan media yang telah banyak berkontribusi bagi umat Islam
dalam menentukan waktu shalat, permulaan puasa Ramadhan, hari raya, dan
semacamnya.
Oleh
karena itu, permasalahan tentang waktu shalat Subuh seperti di atas menjadi salah
satu kajian yang menarik dalam acara Komisi Bahstul Masa’il Diniyah pada Konfercab
XVII PCNU kabupaten Blitar yang diadakan di Pondok Pesantren Mahyajatul Qurro’
Kunir, Wonodadi, Blitar, 22-24 Desember. Dalam acara tersebut, Kyai Syamsul
Hadi seorang ulama pengembang Lajnah Falakiyah NU kabupaten Blitar sekaligus
Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah Kedawung Blitar menyatakan bahwa
tokoh yang berpendapat tentang salah kaprahnya waktu shalat Subuh di Indonesia bahkan
di seluruh dunia di antaranya adalah Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairah. Ada 13
pernyataan tulisan Mamduh yang dimuat dalam
Majalah Qiblati, Edisi 08-10/Tahun IV tentang salah kaprahnya waktu shalat
Subuh di Indonesia yang banyak mendapat sanggahan dari ulama Aswaja. Dan
tulisan Mamduh tersebut, akhir-akhir ini banyak menjadi rujukan bagi beberapa
umat Islam di Indonesia yang ingin serba instan dalam mempelajari ajaran agama
Islam seperti yang dilakukan oleh Fitri Happiest dari kota Daeng, Sulawesi
Selatan sebagaimana yang terpapar di atas.
Mamduh
menyatakan bahwa jadual shalat Subuh di hampir semua negara Islam di ambil dari
penanggalan Mesir yang dibuat pada zaman penjajahan Inggris. Pernyataaan Mamduh
ini disanggah oleh Kyai Syamsul Hadi sebagai pemateri dalam Bahtsul Masa’il Diniyah
pada Konfercab XVII PCNU kabupaten Blitar yang menyatakan bahwa pernyataan
Mamduh tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Sebab kebanyakan ahli falak
Islam dunia lebih banyak merujuk “Kitab
Mat’laus Said” sebuah karya ulama Mesir jauh sebelum Inggris masuk dan
menjajah Mesir. Oleh karena itu, tidak dibenarkan apabila ada pendapat yang
mengatakan bahwa penanggalan Mesir tersebut merujuk pada penaggalan yang dibuat
oleh penjajah Inggris. Sebab kalau saja demikian, tentu saja Inggris justru
lebih pintar dibanding ulama Mesir. Padahal dalam masalah ilmu falak dan
peradaban dunia, negara Mesir itu pintarnya lebih dahulu dibanding penjajah
Inggris, ungkap Kyai Syamsul Hadi.
Bahkan
pernyataan Mamduh yang sangat mengherankan adalah ia menyatakan bahwa kasus
pemajuan azan Subuh tersebut telah ada semenjak dahulu kala (yakni; sejak zaman
Rasulullah SAW), dan bukan suatu masalah yang baru. Mamduh menegaskan bahwa
kesalahan tersebut berkait pula dengan azan pertama bulan Ramadhan di masa
Rasulullah SAW. Tentu saja, kalau demikian halnya, apakah Mamduh lebih pintar (alim) daripada Nabi Muhammad SAW?,
ungkap Kyai Syamsul Hadi. Untuk mempertahankan pendapatnya, Mamduh memberikan
kesaksian dari para ulama Salafi Wahabi, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
Syaikh Albani, Syaikh Dr. Taqiyuddin al-Hilali, dan Syaikh Musthafa al-Adawi
al-Mishri. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia yang mayoritas warga Nahdlatul
Ulama (Nahdliyyin) hendaknya
berhati-hati dengan pendapat para ulama Salafi Wahabi yang tulisannya banyak
beredar di media sosial.
Selain
hal di atas, Mamduh juga menyatakan bahwa
fajar Shadiq bisa dilihat oleh semua orang, besar maupun kecil, orang
alim maupun bodoh (jahil). Ia tidak
mengandalkan apapun selain penglihatan mata. Peryataan Mamduh tersebut mendapat
pembenaran sekaligus sanggahan dari Kyai Syamsul Hadi dengan ungkapannya
sebagai berikut: “Iya, ungkapan Mamduh
itu memang benar. Akan tetapi, untuk bisa melihat fajar Shadiq tersebut harus
dipandu ilmu pengetahuan dari seorang guru yang alim”. Kyai Syamsul Hadi
lalu menyitir sebuah ungkapan yang berbunyi “man lam yakun lahuu syaikhan, fa syaikhuku syaithanun” artinya
barangsiapa yang tidak memiliki seorang guru, maka gurunya adalah syaitan.
Jadi, dengan demikian, untuk melihat fajar Shadiq tersebut terlebih dahulu
harus dipandu oleh seorang guru yang menguasai bidangnya. Dan tak akan mungkin
kita bisa melihat fajar Shadiq tersebut tanpa dipandu terlebih dahulu oleh guru
yang ahli di bidangnya.
Sementara
itu pula, dalam makalah berjudul “Awal
Subuh Fajar Kadzib & Fajar Sodiq Tinjauan Ilmiah dan Syar’i” tulisan Ustadz
Abd. Salam Nawawi yang telah dipaparkan oleh Kyai Syamsul Hadi pada acara
Bahtsul Masa’il tersebut dinyatakan pula dalam riwayat hadist bahwa sehabis
kumandang azan Subuh, Nabi Muhammad SAW biasa melakukan salat sunnah dua rakaat
di rumahnya, kemudian rebahan (ngleset:
Jw) miring ke kanan. Setelah orang-orang atau sahabat berkumpul, barulah beliau
keluar menuju masjid untuk mengimami mereka shalat Subuh. Dalam shalat Subuh
tersebut, Rasulullah SAW selalu membaca enam puluh sampai seratus ayat
al-Qur’an. Tak jauh dari itu, Sayyidah Aisyah (istri Rasulullah SAW) menuturkan
bahwa pada zaman itu kaum perempuan kembali ke rumah setelah bubaran shalat
Subuh di masjid bersama Rasulullah SAW dalam keadaan tidak seorang pun yang
bisa mengenali wajah mereka karena masih gelap. Kyai Syamsul Hadi menjelaskan bahwa jika saat bubaran shalat saja
suasana di bumi masih gelap, lebih-lebih di awal Fajar. Tentu saja, ini harus
menjadi bahan klarifikasi bagi para ulama Wahabi.
Demikianlah
beberapa sanggahan ulama Nahdlatul Ulama terhadap pendapat ulama Wahabi yang
telah menyeleweng dari ajaran Rasulullah SAW dalam acara Bahstul Masa’il Diniyah
pada Konfercab XVII PCNU kabupaten Blitar yang diadakan di Pondok Pesantren
Mahyajatul Qurro’ Kunir, Wonodadi, Blitar, 22-24 Desember. Dari acara Bahtsul
Masa’il Diniyah yang dimoderatori oleh Ustadz Imam Karya Bakti tersebut ada
banyak harapan dari para ulama/kyai sebagai peserta acara agar mayoritas umat
Islam di Indonesia untuk tidak belajar ajaran Islam hanya dari media sosial
saja, seperti internet, whatsap, dan semacamnya. Seyogyanya, kalau ingin
belajar agama Islam, hendaknya umat Islam Indonesia yang mayoritas warga Nahdlatul
Ulama (Nahdliyyin) lebih mendekatkan
diri pada para kyai/ulama yang benar-benar berhati-hati dalam masalah hukum. Sebab
hal yang demikian ini akan mendekatkan pada kebenaran dalam mengikuti perilaku
Rasulullah SAW dan sahabatnya. []
Dari kiri: Imam Karya Bhakti, Winarto, Arif Muzayin Shofwan, Paring Gentur Utomo, Alfiah, Gledys Harwida, Elly, Rohman, M. Abid, dan Yaoma Tertibi (Dokumentasi, 2017) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar