Oleh: Arif Muzayin Shofwan
“Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir
dalam suku tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam
agama tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam ras atau
etnis tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam
golongan tertentu?. Tidak!, kalau kita dulu waktu lahir saja tidak bisa memilih
terlahir dalam suku, agama, ras, dan golongan tertentu, maka sebenarnya hanya ada satu hal untuk bisa
membawa bangsa ini berperadaban yang luhur yaitu bersatu padu menjaga kerukunan
(patembayatan) sesama manusia.”(Shofwan, 2017).
Nama lengkap
saya adalah Arif Muzayin Shofwan dan biasa dipanggil Arif atau Muzayin. Saya
merupakan warga Indonesia asli yang bermukim di Blitar, Jawa Timur. Ayah, ibu,
kakek, buyut, canggah saya semua asli orang beretnis Jawa. Namun kalau saya
mengamati saudara-saudara, famili-famili dari pihak ayah tampak ada banyak
sekali yang mirip-mirip Cina, Jawa, maupun Arab. Oleh karena hal tersebut, sejak
kecil hingga dewasa saya suka menelusuri silsilah nasab keluarga ke atas untuk
mencari sebuah jawaban. Yakni, mencari jawaban atas pertanyaan mengapa saudara
dan famili saya ada yang mirip Cina, Jawa, bahkan Arab. Karena kesukaan saya
tentang penelusuran nasab tersebut, bukan hanya silsilah nasab keluarga saya
saja yang saya telusuri, namun silsilah para tokoh dan ulama seputar Blitar
Raya juga saya telusuri. Dalam penelusuran tersebut, akhirnya saya menemukan
silsilah nasab keluarga saya di Yayasan Kyai Raden Muhammad Kasiman yang berada
di utara Masjid Agung Kota Blitar. Bila dilihat dari catatan yang ada di
yayasan tersebut, saya masih merupakan trah keturunan ke-7 dari Kyai Raden
Muhammad Kasiman yakni seorang tokoh yang cikal-bakal Masjid Agung Kota Blitar.
Dan apabila ditarik ke atas, ternyata silsilah nasab Kyai Raden Muhammad
Kasiman masih bertemu dengan Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah. Sementara itu,
Raden Ayu Linawati Djojodiningrat dalam
bukunya yang berjudul “Ranji Walisongo
Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” menyebutkan bahwa Sunan
Tembayat merupakan putra dari Pangeran Tumapel bin Haji Bong Swie Ho (Sunan
Ampel) Surabaya.
Berdasarkan
penelusuran di atas, saya berkesimpulan bahwa nasab keluarga saya ke atas ternyata
campur aduk antara darah Jawa, Cina, dan Arab. Yakni, apabila dilihat dari ibunya
Haji Bong Swie Ho (Sunan Ampel), maka saya masih memiliki darah Cina. Apabila
dilihat dari ayahnya Haji Bong Swie Ho (Sunan Ampel), maka saya masih memiliki
darah Arab. Dan apabila dilihat dari Sunan Tembayat ke bawah, maka saya masih
memiliki darah Jawa. Mengapa?. Sebab Sunan Tembayat menikah dengan Nyai Ageng Kaliwungu
yang merupakan anak Bathoro Kathong Ponorogo. Adapun Bathoro Kathong sendiri
masih merupakan anak dari Brawijaya V, Sang Raja terakhir Kerajaan Majapahit
yang sangat kental dengan ke-Jawa-annya. Berawal dari penelusuran tersebut,
akhir-akhir ini saya sempat heran terhadap apa yang terjadi di bumi Nusantara. Heran,
heran, heran dan sangat heran. Seakan-akan isu terkait etnis Cina yang komunis,
Tionghoa yang kafir, dan semacamnya dimunculkan kembali agar kesatuan NKRI
hancur dan terjadi pertumpahan darah. Dalam perenungan saya, lalu mengembang
terus ke arah teori ras bumi Nusantara. Bukankah ada teori yang menyatakan
bahwa orang-orang yang hidup di bumi Nusantara ini merupakan para imigran dari
Yunan, Cina Selatan?. Bukankah ada teori yang mengatakan bahwa kita semua masih
ras Indo-Cina (yakni gabungan antara ras India dan Cina)?. Bukankah ada teori
yang menyatakan bahwa Islam masuk dari dua jalur, yakni jalur Cina dan India?.
Serta pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait hal tersebut.
Pergumulan dengan Etnis Tionghoa
Masih
terngiang dalam ingatan saya bahwa pertama kalinya saya bergumul dengan warga etnis
Tionghoa tepatnya di Kelenteng Poo An Kiong di kota Blitar ketika umur lima
tahunan. Namun pergumulan pada umur lima tahun tersebut bukanlah merupakan
sesuatu hal yang saya sadari bahwa ternyata di bumi ini ada banyak etnis yang berbeda.
Yah, banyak etnis berbeda yang harus diakui dan dihormati keberadaannya.
Mengapa?. Sebab pergumulan tersebut terjadi tanpa penelusuran dan kesadaran
seorang dewasa. Ceritanya adalah bermula ketika saya umur lima tahun dan ikut ayah
menghantarkan ibu saya ke Pasar Legi kota Blitar yang berdekatan dengan
Kelenteng Poo An Kiong. Setelah ibu saya
sudah masuk ke dalam pasar, seperti biasa saya bersama ayah menunggu di barat
Kelenteng Poo An Kiong. Tak diduga, pada hari itu di Kelenteng Poo An Kiong Blitar
ada pertunjukan wayang Cina. Oleh karena adanya wayang Cina tersebut, saya yang
masih berumuran sekitar lima tahun menangis dan meronta-ronta serta mengajak
ayah saya agar masuk ke dalam kelenteng untuk melihat pertunjukan wayang
tersebut. Oleh karena saya terus menangis dan merengek, ayah saya kemudian
memenuhi permintaan saya masuk ke dalam Kelenteng Poo An Kiong Blitar. Saat
itu, tampak banyak sekali warga etnis Tionghoa yang melihat pertunjukan wayang
tersebut. Inilah kisah pergumulan saya pertama kalinya dengan etnis Tionghoa pada
masa kanak-kanak yang hingga kini masih terpatri dalam otak/ingatan saya.
Pergumulan
kedua kalinya dengan etnis Tionghoa adalah ketika saya tamat dari Pondok
Pesantren Al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung, yakni ketika tahun
1999-2000 saya bekerja di Toko Foto Copy Raya Indah kota Blitar. Toko foto copi
tersebut milik keluarga besar orang yang beretnis Cina bernama Go Wie Tjan, Go
Wie Tjay, dan Go Wie Yang. Yakni, sebuah usaha foto kopi pertama dan terbesar
di kota Blitar pada tahun-tahun tersebut dan juga memiliki cabang di seputar
Blitar, Kediri, Malang, dan Tulungagung.
Sebagian besar karyawan di toko foto kopi tersebut beretnis Jawa, namun ada
pula yang beretnis Cina. Tentu saja, walau pada tahun 1998-an, yakni sebelum
saya bekerja di Toko Foto Copy Raya Indah tersebut sempat terjadi kerusuhan di
Jakarta yang banyak merugikan warga etnis Tionghoa, akhirnya saya sadar bahwa keberadaan
etnis Tionghoa di bumi Nusantara ini juga banyak memberikan kontribusi bagi warga
etnis lainnya. Saya sempat membayangkan bagaimana kalau Toko Raya Indah yang
memiliki cabang usaha foto kopi sebanyak sembilan toko dan kebanyakan
karyawannya beretnis Jawa juga mengalami hal yang sama seperti toko-toko pada peristiwa
’98 di Jakarta. Siapakah yang rugi?. Kalau Toko Foto Copy Raya Indah dan
cabang-cabangnya dihancurkan sekelompok orang yang tak bertanggungjawab seperti
peristiwa ’98 di Jakarta, kemanakah kawan-kawan saya yang sudah punya anak
istri mencari kerja?. Dan pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut lainnya.
Berdasarkan
hal di atas, saya kemudian bisa mengambil hikmah bahwa pergumulan saya dengan warga
etnis Tionghoa yang kedua kalinya ini menjadikan saya semakin sadar bahwa
keberadaan setiap etnis apapun di dunia manapun harus dihormati dan dijaga
bersama. Sebab apa?. Sebab ibarat istilah Jawa disebutkan bahwa “wong urip iku mesti samad-sinamadan”,
artinya orang hidup itu pasti ada saling ketergantungan antara satu dengan yang
lain. Jangan sampai saling bermusuhan baik sesama etnis maupun dengan mereka
yang berbeda etnis. Mengapa?. Sebab semua manusia hidup itu ibarat istilah Jawa
bahwa “wong urip ing ngalam dunyo iku ora
biso milih lan ora biso nampik”, artinya orang hidup di alam dunia itu tidak
bisa memilih dan menolak agar dilahirkan dalam etnis tertentu. Misalnya, saya
dulu ketika lahir juga tidak bisa memilih agar terlahir dalam etnis Tionghoa.
Begitu pula, saya dulu ketika lahir juga tidak bisa menolak untuk terlahir
dalam etnis Jawa. Oleh karena hal tersebut, saya sangat heran terhadap
sekelompok orang yang membawa-bawa isu SARA demi kepentingan pribadi dan
golongannya. Dalam renungan saya, apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih
terlahir dalam suku tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir
dalam agama tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam
ras tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam
golongan tertentu?. Tidak!, kalau kita dulu waktu lahir saja tidak bisa memilih
terlahir dalam suku, agama, ras, dan golongan tertentu, maka sebenarnya hanya ada satu hal untuk bisa membawa
bangsa ini berperadaban yang luhur yaitu bersatu padu menjaga kerukunan (patembayatan) sesama manusia.
Semakin Sadar terhadap Kemajemukan
Pencarian
dan perenungan akan makna kemajemukan suku, agama, ras, dan golongan terus saja
saya lakukan dari tahun ke tahun. Saya semakin sadar akan kemajemukan ketika
tahun 2000-an KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berziarah ke makam leluhur saya
yang bernama Mbah Kyai Syakban Gembrang Serang bin Kyai Muhammad Kasiman di
areal Pemakaman Keluarga Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat,
Blitar. Dan perlu diketahui pula bahwa dalam areal makam Mbrebesmili tersebut
juga dimakamkan jasad Sayyid Bukhori Mukmin (Eyang Ponco Suwiryo), yakni ayah
angkat dari seorang tokoh pendiri Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU)
bernama Kyai R.M. Djojopernomo. Di areal makam itu pula, saya juga pernah
bertemu dengan warga etnis Tionghoa dari Tulungagung yang sedang berziarah.
Usut punya usut ternyata PAMU yang berdiri pada 1912 berdasarkan Staatsblad tahun 1912 No. 600 tersebut
juga diikuti oleh beberapa warga etnis Tionghoa. Usai Gus Dur berziarah ke
makam Mbrebesmili tersebut, saya terus saja bertanya-tanya dalam hati, apakah ada
sesuatu yang unik dengan sebuah makam leluhur saya?. Apakah leluhur saya itu
orang keramat?. Lalu kalau leluhur saya itu keramat, apa keramatnya?. Lalu apa
sebenarnya pesan tersirat dari seorang Gus Dur berziarah ke makam leluhur saya
di Mbrebesmili tersebut?. Serta banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang
menjadikan keresahan pikiran saya.
Selain
berbagai pertanyaan yang meresahkan tersebut, berdasarkan penelusuran itu pula,
dalam hati saya juga berfikir-fikir, wah ternyata ada juga etnis Tionghoa yang
suka dengan aliran Kejawen semacam PAMU. Tak berhenti di situ, dalam
penelusuran tersebut saya juga menelusuri informasi tentang PAMU kepada penanggungjwab
utama yang bernama Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo di Jl. Pandanlaras 21, Malang.
Ketika sowan di rumah Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo, saya pun bertemu dengan seorang
warga etnis Tionghoa dan Jawa yang asik berdiskusi dengan beliau. Setelah
dipersilahkan masuk, saya dan adik saya yang bernama Muttaqin lalu ikut
bincang-bincang dalam diskusi tersebut. Dalam diskusi tersebut, Eyang Haji Soetomo
Atmowidjojo mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk membangun peradaban
bangsa Indonesia adalah mengadakan kerukunan (patembayatan) terhadap sesama manusia tanpa memandang suku, agama,
ras, dan golongan. Semua harus bersatu padu seperti yang telah diajarkan oleh Kyai
R.M. Djojopernomo anak angkat Sayyid Bukhori Mukmin (Eyang Ponco Suwiryo)
sekaligus tokoh tunggal pendiri PAMU yang jasadnya dimakamkan di Tojo,
Temuguruh, Banyuwangi. Hingga akhirnya Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo mengakhiri
diskusi dengan mengutip sebuah lagu Nasional “...Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya”.
Kembali
lagi ke kisah penelusuran saya di atas, bahwa berawal dari ziarah Gus Dur ke
makam leluhur saya di Mbrebesmili tersebut, akhirnya saya terinspirasi pula dengan
langkah-langkah Gus Dur yang suka berziarah ke makam-makam serta bergumul
dengan warga etnis Tionghoa. Begitu pula, sedikit demi sedikit saya juga mulai
mempelajari pemikiran-pemikiran Gus Dur walaupun sampai sekarang belum bisa
mempelajari pemikirannya secara menyeluruh (kaffah).
Namun setidaknya, berawal dari ziarah Gus Dur ke makam leluhur saya tersebut,
saya kemudian agak sedikit meniru perilaku Gus Dur dalam bergumul dengan warga
etnis Tionghoa khususnya di seputar Blitar Raya. Pergumulan dengan warga etnis Tionghoa
tersebut kemudian saya kembangkan dengan beberapa umat Kelenteng Poo An Kiong dan
umat Vihara Samaggi Jaya di kota Blitar. Dari pergumulan tersebut, setidaknya
ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan. Misalnya, ketika tokoh Kelenteng
Poo An Kiong bernama dr. Fanny Kowe (yakni tokoh FKUB Blitar Raya dari unsur
Konghucu Kelenteng Poo An Kiong Blitar) wafat, saya juga ikut bertakziah.
Selain itu, ketika saya butuh mempelajari agama Konghucu, maka kawan saya yang
bernama Mas Daniel dan Mas Romli (pelatih Barongsai di Kelenteng Poo An Kiong
Blitar) juga memberikan kepada saya sebuah “Kitab
Su Si”, yakni sebuah kitab suci milik agama Konghucu. Berawal dari sinilah,
saya berpendapat bahwa kemajemukan itu sangat indah bila kita bisa merawatnya.
Bertukar pikiran, diskusi, dan dialog dengan mereka yang berbeda suku, agama,
ras, dan golongan inilah yang harus dikembangkan manakala seseorang ingin
membangun bangsa yang majemuk.
Tak
berhenti di situ, pada tahun 2013 saya pun ingin terus mengasah kesadaran akan
pentingnya menghormati dan menghargai kemajemukan dari segi apapun. Dari minat
tersebut, saya sangat rajin googling
di internet untuk mencari dimanakah ada sebuah perguruan tinggi terdekat yang
memiliki pusat studi terkait dengan isu kemajemukan. Googling dan terus googling
akhirnya saya menemukan bahwa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terdapat
sebuah pusat studi terkait hal yang saya maksud. Pusat studi itu dinamakan
PUSAM (Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme) yang diketuai oleh Prof. Dr.
Syamsul Arifin, M.Si. Berawal dari sinilah (saya yang dari tahun 2011 dipercaya
oleh Mawan Mahyuddin, direktur The Post Institute Blitar sebagai Ketua Divisi
Multikulturalisme), akhirnya memutuskan melanjutkan kuliah program Doktor
Pendidikan Agama Islam di UMM dan lulus pada tahun 2016 dengan mengambil judul
disertasi “Pendidikan Keagamaan Islam
Multikultural: Studi Konstruksi Sosial Kiai di Pondok Pesantren Bustanul
Mutaallimin Blitar”. Walaupun judul disertasi tersebut tidak langsung ada
hubungannya dengan etnis Tionghoa, namun setidaknya ada sebuah ilmu pengetahuan
yang menjadikan saya semakin sadar akan pentingnya kemajemukan bangsa yang
harus tetap dihormati, dihargai, dan dijaga bersama. Yakni, ada sebuah dalil
Islam dari pemikiran para kiai yang bisa dijadikan rujukan untuk tetap
memperjuangkan nilai-nilai kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa. Dalil dari
al-Qur’an itu adalah: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...”
(QS. Al-Hujurat: 13).
Selanjutnya,
oleh karena dalam diskusi-diskusi pada perkuliahan di Program Doktor Pendidikan
Agama Islam UMM tersebut saya juga banyak mendiskusikan tentang pentingnya
menghargai kemajemukan, maka direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang menunjuk saya sebagai salah satu anggota Tim Inti Pusat Studi Agama dan
Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah sejak tahun
2013-2016. Setelah saya lulus dari UMM, saya kemudian aktif sebagai dosen di
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar yang baru saja berdiri tahun 2016. Selanjutnya,
untuk mempertajam isu-isu terkait ke-Tionghoa-an, tentu saja saya juga ingin terus
belajar kepada senior saya yaitu Gus Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam
Anti Diskriminasi-JIAD GUSDURian) yang telah banyak berkecimpung dalam isu-isu yang
dimaksud. Mudah-mudahan pertemuan saya dengan Gus Aan Anshori (yakni, pertama
kali ketika ada pertemuan di aula Maha Vihara Mojopahit di Trowulan, Mojokerto)
akan selalu membawa berkah yang tak terhingga. Mudah-mudahan pula, pertemuan saya
dengan Gus Aan Anshori untuk tahap-tahap selanjutnya akan menjadikan saya
semakin sadar dan benar-benar sangat sadar akan pentingnya menghargai dan
menghormati kemajemukan bangsa, termasuk dalam hal ini adalah penghormatan dan
penghargaan terhadap warga etnis Tionghoa yang tanpa diskriminasi. Sehingga
dengan demikian, kita semua bisa membangun peradaban bangsa yang semakin
bermartabat. Salam satu jiwa dalam menjalin
kerukunan (patembayatan)!.
Arif Muzayin Shofwan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar