Minggu, 13 Mei 2018

SEKELUMIT TENTANG TOKOH SEKARDANGAN DARI MASA KE MASA (ABAD 15 M – 20 M)


Oleh: Arif Muzayin Shofwan
(Peneliti Sejarah-sejarah Lokal Nusantara)


Pada abad 17 masehi, jauh sebelum berdirinya Masjid Baitul Makmur yang diprakarsai oleh Mbah Kyai Imam Fakih pada tahun 1900 masehi, Sekardangan merupakan sebuah dusun yang di babat oleh beberapa tokoh agung, di antaranya: Mbah Kyai Raden Atmo Setro dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo (makam di Gaprang), Mbah Kyai Raden Suwiryo (makam di Gaprang), Mbah Kyai Raden Tirto Sentono (makam istrinya di Gaprang), Mbah Kyai Raden Abu Yamin (makam di Gaprang), Mbah Kyai Raden Hasan Muhtar (makam di Gaprang), diteruskan generasi berikutnya yakni Mbah Kyai Abu Bakar, Mbah Kyai Barnawi, Mbah Kyai Wongsopuro (makam terlama di Barat Masjid Baitul Makmur), Mbah Bontani dan lain-lainnya. 

Lebih jauh dari masa para pembabat dusun di atas, (yakni, pada zaman peralihan Dinasti Kerajaan Islam Pajang-Mataram seputar tahun 1580 masehi), konon Sekardangan merupakan sebuah dusun yang diproklamirkan atau didirikan oleh Ki Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro), Nyi Gadhung Melati, dan Roro Sekar. Ketiga tokoh ini sering disebut dengan “Mbah Sekardangan” saja. Setelah ketiga tokoh tersebut mendirikan dusun Sekardangan, lalu kembali pulang ke daerah asal dan makamnya berada di dusun Sarehan, Jatingarang, Weru, Sukoharjo - Solo Raya. Perlu diketahui bahwa Ki Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru I) merupakan guru spiritual Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Pendiri Kerajaan Islam Pajang). Di dusun Sekardangan, maka ditempat pendirian “Monumen Petilasan” inilah, ketiga tokoh tersebut dulu mendirikan sebuah Sanggar/Langgar(Gasebo) dari kayu dan bambu.

Selanjutnya, seputar abad 17 masehi, seorang tokoh yang pertama kali mendirikan tempat ibadah di dusun Sekardangan adalah Mbah Kyai Barnawi. Tempat ibadah yang disebut “Langgar” ini dahulu berada di tengah-tengah dusun Sekardangan, yang di tempat itu dulu ada “Sumber Mata Air”-nya. Namun langgar itu hingga kini sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Tokoh kedua yang mendirikan sebuah “Langgar” adalah Mbah Kyai Abu Bakar (penerus langgar Mbah Kyai Raden Hasan Muhtar). Langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini, hingga kini masih berdiri sesuai dengan ciri khas “Langgar Zaman Mataraman”, yakni masih terlihat “Logo Mataraman” berada di tembok pengimaman langgar sebelah Barat. Langgar ini juga masih berhiaskan simbol-simbol bunga di atas setiap pintu ataupun jendela. Konon, langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini dahulu dipakai sebagai sarana “Shalat Jum’at” warga dusun Sekardangan. Di era ini pula, menyusul berdirinya langgar yang diprakarsai  oleh Mbah Kyai Abdurrahman, Mbah Kyai Zainuddin (penerus Mbah Kyai Raden Abu Yamin), dan beberapa langgar yang lain.

Pada era selanjutnya, seputar abad 18 masehi datanglah seorang dari Bagelenan, Jawa Tengah  yang bernama Mbah Kyai Imam Fakih, menantu dari Mbah Kyai Abu Mansyur Kuningan. Beliau membeli tanah yang luas tepat berada di pojok dusun Sekardangan bagian Selatan, paling Timur. Sebagian tanah itu pada tahun 1900 masehi dijual pada Kompeni Belanda untuk jalan trem kereta api pengangkut tebu. Dari hasil penjualan itulah, digunakan sebagai modal untuk mendirikan sebuah pesantren dan masjid yang sekarang diberi nama “Masjid Baitul Makmur”. Ide pendirian pesantren dan masjid tersebut disokong warga Sekardangan, baik material, tenaga, pikiran dan lainnya. Tersebut pula pada seputar era ini, di antaranya: Mbah Kyai Hasan Thohiran (sahabat perjuangan Mbah Kyai Imam Fakih), Mbah Kyai Ahmad Dasuqi, Mbah Kyai Hasyim, Mbah Kyai Sadzali, Mbah Kyai Shobiri dan lain-lain. Era-era selanjutnya, seputar abad 19-20 masehi telah muncul beberapa tokoh kyai diantaranya; Mbah Kyai Romli, Mbah Kyai Abbas Fakih, Mbah Kyai Mahfudz (pejuang syahid), Mbah Kyai Imam Mahdi, Mbah Kyai Hamzah, Mbah Kyai Mahrus Yunus, Mbah Kyai Nasruddin, Mbah Kyai Zainuddin,  dan lainnya.


 (Dikeluarkan Oleh: PUSAT STUDI SEJARAH SEKARDANGAN (PUSKAR) Sekardangan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar