Jumat, 12 Januari 2018

SANGGAHAN NAHDLATUL ULAMA (NU) TERHADAP PENDAPAT SALAH KAPRAH WAKTU SUBUH DI INDONESIA



Oleh: Arif Muzayin Shofwan
(Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Blitar)
 
Sesungguhnya kadar yang nampak dari cahaya putih itu, ia adalah awal Subuh, keadaannya lemah dan kecil, kemudian menyebar. Karena itulah, ia diibaratkan dengan benang.” (Al-Khazin)

Beberapa dekade terakhir ini ada banyak ulama Wahabi maupun simpatisannya yang mempermasalahkan waktu shalat Subuh di Indonesia yang terlalu malam dan masih jatuh pada fajar Kadzib. Bahkan, salah satu simpatisan Wahabi dari kota Daeng, Sulawesi Selatan yang bernama Fitri Happiest pada 4 Juli 2009 telah menulis di blog-nya “Goresan Vee” dengan mengacu tulisan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairah yang menyatakan bahwa shalat Subuh yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia terlalu kemalaman dan masih jatuh pada waktu fajar Kadzib serta dianggap tidak sah. Tak jauh dari hal tersebut, seorang ustadz di kota Malang, Jawa Timur menyatakan bahwa kesalahan fatal bagi mayoritas umat Islam di Indonesia yang melakukan shalat Subuh hanya mengikuti ahli falak belaka. Seakan-akan ustadz dari Malang tersebut mengatakan bahwa ahli falak bukanlah bagian dari ahli agama yang sah dan tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam masalah agama.

Tentu saja, hal tersebut di atas menjadi sebuah tantangan bagi para ulama Nahdlatul Ulama (NU) untuk menyanggah pendapat para ulama Salafi Wahabi yang datang belakangan di bumi Nusantara tercinta ini. Kyai Syamsul Hadi selaku pemateri dan pemegang Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) kabupaten Blitar menegaskan bahwa ilmu falak merupakan sebuah media yang sifatnya universal dan menjadi bagian dari ilmu matematika (ilmu hisab). Ilmu matematika memiliki sifat yang universal dan pasti seperti apabila orang non muslim mengatakan bahwa 1+1=2, maka orang muslim pun juga sepakat serta menerima dengan hal tersebut. Dengan demikian, ustadz yang mengatakan bahwa kesalahan fatal bagi mayoritas umat Islam di Indonesia karena hanya mengikuti ahli falak belaka, tidak bisa dibenarkan. Sebab ilmu falak yang merupakan bagian dari ilmu matematika (ilmu hisab) juga merupakan media yang telah banyak berkontribusi bagi umat Islam dalam menentukan waktu shalat, permulaan puasa Ramadhan, hari raya, dan semacamnya.

Oleh karena itu, permasalahan tentang waktu shalat Subuh seperti di atas menjadi salah satu kajian yang menarik dalam acara Komisi Bahstul Masa’il Diniyah pada Konfercab XVII PCNU kabupaten Blitar yang diadakan di Pondok Pesantren Mahyajatul Qurro’ Kunir, Wonodadi, Blitar, 22-24 Desember. Dalam acara tersebut, Kyai Syamsul Hadi seorang ulama pengembang Lajnah Falakiyah NU kabupaten Blitar sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah Kedawung Blitar menyatakan bahwa tokoh yang berpendapat tentang salah kaprahnya waktu shalat Subuh di Indonesia bahkan di seluruh dunia di antaranya adalah Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairah. Ada 13 pernyataan  tulisan Mamduh yang dimuat dalam Majalah Qiblati, Edisi 08-10/Tahun IV tentang salah kaprahnya waktu shalat Subuh di Indonesia yang banyak mendapat sanggahan dari ulama Aswaja. Dan tulisan Mamduh tersebut, akhir-akhir ini banyak menjadi rujukan bagi beberapa umat Islam di Indonesia yang ingin serba instan dalam mempelajari ajaran agama Islam seperti yang dilakukan oleh Fitri Happiest dari kota Daeng, Sulawesi Selatan sebagaimana yang terpapar di atas.

Mamduh menyatakan bahwa jadual shalat Subuh di hampir semua negara Islam di ambil dari penanggalan Mesir yang dibuat pada zaman penjajahan Inggris. Pernyataaan Mamduh ini disanggah oleh Kyai Syamsul Hadi sebagai pemateri dalam Bahtsul Masa’il Diniyah pada Konfercab XVII PCNU kabupaten Blitar yang menyatakan bahwa pernyataan Mamduh tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Sebab kebanyakan ahli falak Islam dunia lebih banyak merujuk “Kitab Mat’laus Said” sebuah karya ulama Mesir jauh sebelum Inggris masuk dan menjajah Mesir. Oleh karena itu, tidak dibenarkan apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa penanggalan Mesir tersebut merujuk pada penaggalan yang dibuat oleh penjajah Inggris. Sebab kalau saja demikian, tentu saja Inggris justru lebih pintar dibanding ulama Mesir. Padahal dalam masalah ilmu falak dan peradaban dunia, negara Mesir itu pintarnya lebih dahulu dibanding penjajah Inggris, ungkap Kyai Syamsul Hadi.

Bahkan pernyataan Mamduh yang sangat mengherankan adalah ia menyatakan bahwa kasus pemajuan azan Subuh tersebut telah ada semenjak dahulu kala (yakni; sejak zaman Rasulullah SAW), dan bukan suatu masalah yang baru. Mamduh menegaskan bahwa kesalahan tersebut berkait pula dengan azan pertama bulan Ramadhan di masa Rasulullah SAW. Tentu saja, kalau demikian halnya, apakah Mamduh lebih pintar (alim) daripada Nabi Muhammad SAW?, ungkap Kyai Syamsul Hadi. Untuk mempertahankan pendapatnya, Mamduh memberikan kesaksian dari para ulama Salafi Wahabi, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Albani, Syaikh Dr. Taqiyuddin al-Hilali, dan Syaikh Musthafa al-Adawi al-Mishri. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia yang mayoritas warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) hendaknya berhati-hati dengan pendapat para ulama Salafi Wahabi yang tulisannya banyak beredar di media sosial.

Selain hal di atas, Mamduh juga menyatakan bahwa  fajar Shadiq bisa dilihat oleh semua orang, besar maupun kecil, orang alim maupun bodoh (jahil). Ia tidak mengandalkan apapun selain penglihatan mata. Peryataan Mamduh tersebut mendapat pembenaran sekaligus sanggahan dari Kyai Syamsul Hadi dengan ungkapannya sebagai berikut: “Iya, ungkapan Mamduh itu memang benar. Akan tetapi, untuk bisa melihat fajar Shadiq tersebut harus dipandu ilmu pengetahuan dari seorang guru yang alim”. Kyai Syamsul Hadi lalu menyitir sebuah ungkapan yang berbunyi “man lam yakun lahuu syaikhan, fa syaikhuku syaithanun” artinya barangsiapa yang tidak memiliki seorang guru, maka gurunya adalah syaitan. Jadi, dengan demikian, untuk melihat fajar Shadiq tersebut terlebih dahulu harus dipandu oleh seorang guru yang menguasai bidangnya. Dan tak akan mungkin kita bisa melihat fajar Shadiq tersebut tanpa dipandu terlebih dahulu oleh guru yang ahli di bidangnya.

Sementara itu pula, dalam makalah berjudul “Awal Subuh Fajar Kadzib & Fajar Sodiq Tinjauan Ilmiah dan Syar’i” tulisan Ustadz Abd. Salam Nawawi yang telah dipaparkan oleh Kyai Syamsul Hadi pada acara Bahtsul Masa’il tersebut dinyatakan pula dalam riwayat hadist bahwa sehabis kumandang azan Subuh, Nabi Muhammad SAW biasa melakukan salat sunnah dua rakaat di rumahnya, kemudian rebahan (ngleset: Jw) miring ke kanan. Setelah orang-orang atau sahabat berkumpul, barulah beliau keluar menuju masjid untuk mengimami mereka shalat Subuh. Dalam shalat Subuh tersebut, Rasulullah SAW selalu membaca enam puluh sampai seratus ayat al-Qur’an. Tak jauh dari itu, Sayyidah Aisyah (istri Rasulullah SAW) menuturkan bahwa pada zaman itu kaum perempuan kembali ke rumah setelah bubaran shalat Subuh di masjid bersama Rasulullah SAW dalam keadaan tidak seorang pun yang bisa mengenali wajah mereka karena masih gelap. Kyai Syamsul Hadi menjelaskan bahwa jika saat bubaran shalat saja suasana di bumi masih gelap, lebih-lebih di awal Fajar. Tentu saja, ini harus menjadi bahan klarifikasi bagi para ulama Wahabi.

Demikianlah beberapa sanggahan ulama Nahdlatul Ulama terhadap pendapat ulama Wahabi yang telah menyeleweng dari ajaran Rasulullah SAW dalam acara Bahstul Masa’il Diniyah pada Konfercab XVII PCNU kabupaten Blitar yang diadakan di Pondok Pesantren Mahyajatul Qurro’ Kunir, Wonodadi, Blitar, 22-24 Desember. Dari acara Bahtsul Masa’il Diniyah yang dimoderatori oleh Ustadz Imam Karya Bakti tersebut ada banyak harapan dari para ulama/kyai sebagai peserta acara agar mayoritas umat Islam di Indonesia untuk tidak belajar ajaran Islam hanya dari media sosial saja, seperti internet, whatsap, dan semacamnya. Seyogyanya, kalau ingin belajar agama Islam, hendaknya umat Islam Indonesia yang mayoritas warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) lebih mendekatkan diri pada para kyai/ulama yang benar-benar berhati-hati dalam masalah hukum. Sebab hal yang demikian ini akan mendekatkan pada kebenaran dalam mengikuti perilaku Rasulullah SAW dan sahabatnya. []

Dari kiri: Imam Karya Bhakti, Winarto, Arif Muzayin Shofwan, Paring Gentur Utomo, Alfiah, Gledys Harwida, Elly, Rohman, M. Abid, dan Yaoma Tertibi (Dokumentasi, 2017)
 
Bersama Jaringan GusDurian Blitar Raya (Dokumentasi, 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar