Jumat, 23 Maret 2018

MENELUSURI SEPERCIK KETURUNAN SUNAN AMPEL (HAJI BONG SWIE HO/ RADEN ALI RAHMATULLAH)


Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Tulisan ini merupakan catatan waktu luang. Saya simpan di blog saya agar suatu hari mencarinya dapat digoogling dengan mudah. Tulisan ini dimaksudkan untuk menyimpan tulisan saya. Mohon dimaklumi, adanya media blogspot terkadang membuat saya nyaman untuk menyimpan tulidsan saya di dalamnya. Sebab di saat-saat tertentu, saya bisa langsung meng-googling-nya dengan cepat
(Shofwan, 2018)

Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 M di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut sebagian riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Riwayat lain yang lebih kuat menisbahkan beliau, Sunan Ampel, sebagai putra Ibrahim Asmarakandi yang dimakamkan di Tuban. Ibrahhim Asmarakandi merupakan putrah Syekh Jumadil Kubro. Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).

Dalam beberapa catatan yang saya dapatkan, Sunan Ampel (Haji Bong Swie Ho) pernah memiliki beberapa istri, antara lain:

1.    Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:

1.    Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang/Bong Ang
2.    Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat
3.    Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4.    Siti Muthmainnah
5.    Siti Hafsah

2.    Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:

1.    Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
2.    Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fatah/Tan Jin Bun
3.    Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4.    Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5.    Pangeran Tumapel/ Pangeran Lamongan/ Sayyid Maulana Hamzah, ayah dari Sunan Pandanaran II/Sunan Tembayat
6.    Raden Faqih (Sunan Ampel II)

Berikut saya sajikan sekedar silsilah keturunan Sunan Ampel (Haji Bong Swie Ho/ Raden Ali Rahmatulloh) yang berada di Sekardangan, Kanigoro, Blitar, dari jalur Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim (Eyang Kasiman), salah satu cikal bakal Masjid Agung Kota Blitar dan dimakamkan di lereng Gunung Pegat berdekatan dengan Tumenggung Ndoro Tedjo dan Asisten Wedono Lodoyo:

1.    Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) + Dewi Karimah binti Ki Ageng Kembang Kuning Surabaya, berputra;
2.    Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah), berputra:
3.    Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi/ Jaka Supang/ Jaka Pameling/ Pangeran Mangkubumi/ Ki Ageng Padang Aran II/ Raden Wahyu Widayat/ Empu Windu Jati/ Pangeran Pamungkas/ Sunan Pamungkas/ Sunan Gunung Jabalkat) + Nyai Kaliwungu binti Bathoro Kathong, berputra:
4.    Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing Tembayat, berputra:
5.    Panembahan Minang Kabul Ing Tembayat, berputra:
6.    Pangeran Ragil Kuning, Wonokerto, Ponorogo, berputra:
7.    Pangeran Wongsodriyo, berputra:
8.    Kyai Raden Nojo/Noyo Semanding, berputra:
9.    Kyai Raden Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo), berputra:
10. Mbah Kyai Raden Taklim (penghulu Srengat), berputra:
11. Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim (Eyang Kasiman), makam di Puncak Gunung Pegat Srengat dekat dengan Tumenggung Ndoro Tedjo dan merupakan Penghulu Blitar Pertama, berputra:
12.  Mbah Kyai Muhammad Syakban atau biasa dikenal dengan sebutan “Mbah Syakban Gembrang Serang” atau “Mbah Syakban Tumbu” (makamnya berada di Makam Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar), berputra:
13. Mbah Kyai Muhammad Asrori, yakni pendiri dan cikal-bakal “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar, berputra:
14. Mbah Nyai Tsamaniyyah (istri dari Mbah Kyai Imam Muhtar atau Kyai Hasan Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra:
15. Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir dari Wonodadi) dan bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar, berputra;
16. Mbah Haji Tamam Thahir + Hj. Siti Rofiah (Sekardangan, Kanigoro, Blitar).
17. Mbah Jalal/Mbah Pasarean (Muhammad Jalaluddin Az-Zubaidi)

Sementara itu, silsilah nasab dari jalur Mbah Nyai Nyai Mursiyah (istri Mbah Kyai Muhammad Syakban Jarakan kemudian hijrah ke Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar), juga bertemu pula. Berikut silsilah nasab dari jalur Mbah Nyai Mursiyah (istri Mbah Kyai Muhammad Syakban Jarakan/ Mbah Syakban Gembrang Serang/ Mbah Syakban Tumbu) yang makamnya berada di Pemakaman Umum desa Jarakan, Gondang, Tulungagung. Ini juga merupakan silsilah jalur Mbah Kyai Ageng Witono (Syaikh Hasan Ghozali), Sang Cikal-Bakal Masjid Tiban Al-Istimrar, Kauman, Kalangbret, Tulungagung:

1.    Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) + Dewi Karimah binti Ki Ageng Kembang Kuning Surabaya, berputra:
2.    Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah), berputra:
3.    Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi/ Jaka Supang/ Jaka Pameling/ Pangeran Mangkubumi/ Ki Ageng Padang Aran II/ Raden Wahyu Widayat/ Empu Windu Jati/ Pangeran Pamungkas/ Sunan Pamungkas/ Sunan Gunung Jabalkat) + Nyai Kaliwungu binti Bathoro Kathong, berputra:
4.    Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing Tembayat, berputra:
5.    Panembahan Minang Kabul Ing Tembayat, berputra:
6.    Pangeran Ragil Kuning, Wonokerto, Ponorogo, berputra:
7.    Pangeran Wongsodriyo, berputra:
8.    Kyai Raden Nojo/Noyo Semanding, berputra:
9.    Kyai Raden Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo), berputra:
10. Mbah Kyai Mangun Witono/ Sayyid Hasan Ghozali di belakang “Masjid Tiban Al-Istimrar” Kauman, Kalangbret, Tulungagung, berputra:
11. Mbah Kyai Nur Ali Rahmatullah, berputra:
12. Mbah Kyai Ali Muntoho (cikal-bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungagung), berputra:
13. Mbah Nyai Mursiyah Syakban makamnya berada di Pemakaman Jarakan, Gondang, Tulungagung (istri dari Mbah Kyai Muhammad Syakban/ Mbah Syakban Gembrang Serang/ Mbah Syakban Tumbu bin Kyai Muhammad Qosim Penghulu Pertama Blitar), berputra:
14. Mbah Kyai Muhammad Asrori pendiri “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar (suami dari Nyai Haditsah Binti Muhammad Yunus Srengat), berputra:
15. Mbah Nyai Tsamaniyyah (istri dari Mbah Kyai Hasan Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra;
16. Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir dari Wonodadi, Srengat, Blitar) dan bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar, berputra:
17. Mbah Haji Tamam Thahir + Hj. Siti Rofiah (Sekardangan, Kanigoro, Blitar).
18. Mbah Jalal/Mbah Pasarean (Muhammad Jalaluddin Az-Zubaidi)

Silsilah nasab tersebut diadopsi dari berbagai sumber dengan pengurutan generasi ke generasi seperlunya, di antaranya dari: (1) Lembaran Silsilah “Keluarga Kyai Raden Muhammad Qosim/ Eyang Kasiman” yang tersimpan di Yayasan Kyai Raden Muhammad Kasiman sebelah Utara Masjid Agung Kota Blitar; (2) Buku berjudul “Silsilah Sunan Tembayat Hingga Syaikh Muhammad Sya’ban Al-Husaini” karya Abu Naufal bin Tamam At-Thahir; (3) Buku berjudul “Ranji Walisongo Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” karya Raden Ayu Linawati dan disusun oleh Mas Muhammad Shohir Izza Solo, Jawa Tengah; (4) Buku berjudul “Silsilah Nasab Kyai Soeroredjo Kauman Blitar” karya Arif Muzayin Shofwan dan Putu Ari Sudana; serta Lembaran berjudul “Sejarah Singkat Mbah Kyai Asror Pakisrejo, Srengat” yang dikeluarkan pada tanggal 15 Juli 1984.

          Akhir kata, mungkin hanya ini catatan harian (cahar) saya kali ini. Cahar ini hanya sebagai pengisi waktu di kala tidak ada kegiatan-kegiatan yang lebih penting difokuskan. Jadi, karena sifatnya hanya sebagai catatan harian berdasarkan hobi saya dalam mengkaji apapun yang bisa dikaji, apapun yang bisa ditulis, dan semacamnya, maka bila ada yang kurang komplit, kurang sesuai dengan siapapun dalam hal ini, saya minta maaf yang sebesar-besarnya khususnya kepada diri saya pribadi. Jadi, “SAYA MEMINTA MAAF KEPADA DIRI SAYA PRIBADI. DAN ALHAMDULILLAH DIRI SAYA PRIBADI MEMAAFKAN KESALAHAN SAYA”. Yah, suatu nikmat yang luar biasa apabila diri kita sendiri bisa memaafkan diri kita. Diri saya sendiri bisa memaafkan diri saya sendiri. Yah, mudah-mudahan selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Aamiin.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Ranji Silsilah Sunan Tembayat/Syaikh Kasan Nawawi bin Maulana Hamzah (Dari Nyai Raden Ayu Linawati cucu Prof. Dr. Hoessein Djojodiningrat)
 
Ranji Silsilah Pangeran Kajoran yang merupakan menantu Sunan Tembayat/Syaikh Kasan Nawawi (Dari Nyai Raden Ayu Linawati, cucu Prof. Dr. Hoessein Djojodiningrat)
 
Ranji Silsilah Sunan Bayat: Sunan Tembayat/ Sunan Pandanaran II (Klaten) ini putra dari Pangeran Lamongan/Pangeran Tumapel/Sayyid Maulana Hamzah. Dna Sunan Pandanaran II ini merupakan menantu dari Sunan Pandanaran I bin Brawijaya V (Semarang) dan Bathoro Kathong Ponorogo

Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” atau “Mbah Kuburan” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean/kuburan-kuburan untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) atau “Mbah Dhanyangan” (sebab seringnya mengkaji danyangan-danyangan di desa-desa) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399. Selain itu, pria bernama Arif Muzayin Shofwan tersebut kalau di Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung sering disebut dengan nama “Mbah Jalal” (Muhammad Jalaluddin Az-Zubaidi). Demikian sekilas tentang penulis dibuat. Wassalam.[]

Kamis, 22 Maret 2018

BEDAH BUKU “ADA AKU DI ANTARA TIONGHOA DAN INDONESIA” DI KLENTENG POO AN KIONG KOTA BLITAR


Arif Muzayin Shofwan

JATIMTIMES, BLITAR Forum Persaudaraan Blitar Raya menggelar diskusi dan bedah buku “Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia” di Kelenteng Poo An Kiong, Rabu (21/3/2018) malam. Dalam acara ini, hadir sejumlah masyarakat, tokoh lintas agama, aktivis dan mahasiswa.

Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen), Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar), dan Bingky Irawan Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Surabaya).

Arif Muzayin Shofwan dalam paparannya menyampaikan bahwa buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia telah dibedah di 32 kota dan 2 negara. Tapi, sambung dia, Blitar berbeda dengan daerah lain karena acara bedah buku digelar di kelenteng, pusat kebudayaan dan agama masyarakat Tionghoa.

“Dari 32 kota dan 2 negara, yang diselenggarakan di kelenteng cuma di Blitar. Saya mengucap terima kasih kepada pengurus Kelenteng Poo An Kiong,” kata Arif Muzayin.

Ia menambahkan, bedah buku ini digelar bertepatan dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada 21 Maret. Buku Ada Aku Diantara  Tionghoa dan Indonesia berisi kumpulan narasi memori oleh 73 penulis. Beberapa tulisan di antaranya China Itu Temanku karya Dhyana Wijayanti, Aku Ketionghoaan dan Keindonesiaan karya Dede Oetomo, Aku Mereka dan Perbedaan karya Humam Rimba, Ada Aku diantara Tionghoa dan Indonesia karya Suryanto. Arif Muzayin Shofwan juga menyumbangkan karya tulisannya di buku ini dengan judul Saya, Darah Cina, Arab, Jawa, dan Pergumulan dengan Etnis Tionghoa serta Kemajemukan Indonesia.

”Kita seringi mendegar dan melihat bahwa orang China era sekarang sering dipolitisasi. Mungkin kita sering melihat di media sosial muncul postingan bahwa China itu komunis dan lainnya.  Buku ini mengajak kita untuk menghapuskan sekat-sekat itu (Tionghoa dan Indonesia). Bahwa kita dilahirkan berbeda merupakan suatu keniscayaan. Kita lahir berbeda, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling membenci, tapi untuk saling mengenal dan bersatu padu,” ucapnya.

 Pada kesempatan ini, Arif juga menyampaikan bahwa hubungan masyarakat Indonesia-China sudah terjalin sejak era Indonesia lama dan pada masa itu pernah hidup rukun berdampingan. Salah satu bukti akulturasi terjadi di masa Wali Songo. Konon Sunan Kalijaga pernah memerintahkan Sunan Tembayat untuk membunyikan beduk di Semarang. Dalam penelitiannya, Arif menemukan bahwa beduk merupakan budaya yang ada di dalam masyarakat Tionghoa.

“Dalam penelitian, saya menemukan bahwa beduk adalah tradisi China atau Tionghoa. Sementara kentongan adalah tradisi Jawa. Belum lagi Sunan Kalijaga memproklamirkan baju takwa. Kalau di budaya Tionghoa disebut baju koko,” ungkapnya.

Sementara, Daniel Lim di kesempatan ini menyampaikan apabila kita membuka lembaran dan melihat dengan kacamata objektif, ada banyak cerita indah tentang Tionghoa di Indonesia. Artinya, kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak hanya diisi dengan kisah-kisah menyedihkan.

“Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia menawarkan persepektif yang baru, yang unik. Banyak sekali cerita positif antaretnis di Indonesia. Buku ini memotret bahwa etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia bisa hidup rukun berdampingan secara harmonis,” katanya.

Daniel Lim juga menyampaikan bahwa etnis Tionghoa juga harus mengakui ada sisi buruk mereka. Seperti pemilik toko yang memperlakukan karyawan dengan kurang baik. Menurut dia, hal ini merupakan lingkaran setan yang harus segera dihilangkan.

“Problematika antaretnis yang kita hadapi ini ibarat lingkaran setan. Jadi semakin tinggi stigma jelek etnis lain terhadap etnis Tionghoa, semakin menggerus rasa kebangsaan etnis Tionghoa. Sebaliknya ketika etnis Tionghoa semakin tidak peduli dengan bangsa, maka etnis lain akan menganggap etnis Tionghoa ini adalah etnis luar, bukan etnis bagian dari bangsa Indonesia," ucap dia.

Untuk memutus rantai lingkaran setan ini, sambung Daniel,  kedua belah pihak harus melihat sisi positif dari segala permasalahan. Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia mengajak menolak stereotipe dari etnis tertentu.

“Menurut saya, kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah lebih meningkat dibandingkan dulu. Hal itu salah satunya berkat perjuangan Gus Dur. Buktinya kita bisa menggelar diskusi ini. Kalau zaman dulu, rasanya tidak mungkin kita diskusi dan ngomong vulgar soal Tionghoa. Oleh karena itu, saya mengajak saudara-saudara saya dari Tionghoa untuk mulai melihat dirinya sebagai bagian dari Indonesia, untuk mulai aktif dan berkontrobusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan itulah kehidupan kita akan menjadi lebih baik,” tandasnya.

Senada dengan Daniel Lim, Bingky Irawan juga menilai etnis Tionghoa harus mulai aktif menyuarakan pendapatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Aktif bukan hanya berpolitik, tapi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita (etnis Tionghoa) harus berani tampil karena jaman sudah bukan lagi orde baru,” tegasnya.

Bingky, warga keturunan Tionghoa yang malam itu tampil dengan pakaian adat Jawa, dalam kesempatan ini juga mengimbau kepada para tokoh tokoh agama untuk membimbing umat untuk hidup rukun dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia juga berharap acara diskusi seperti ini bisa digelar secara berkelanjutan.

“Para romo dan para kiai harus bisa membimbing umatnya. Dan saya berharap kedepan bisa digelar sarasehan lintas agama di tempat lain. Tidak hanya kelenteng tapi bisa digelar di gereja atau padepokan,” harapnya.(*)

Pewarta
: Aunur Rofiq
Editor
: Yunan Helmy
Publisher
: Debyawan Dewantara Erlansyah


Sumber
: Blitar TIMES



JATIMTIMES, BLITAR  Lagu-lagu Jawa berkumandang di Kelenteng Poo An Kiong Blitar malam itu, Rabu (21/3/2018) malam, dalam acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia. Momen ini langka terjadi di Indonesia. Dan merupakan kali pertama agu-lagu Jawa berkumandang sejak Kelenteng Poo An Kiong berdiri pada tahun 1829.

Seperti diketahui, pada zaman penjajahan dan masa pemerintahan Presiden Soeharto (era Orde Baru), hubungan masyarakat Jawa-China terhambat oleh sekat-sekat yang salah satunya akibat politisasi.

Pada masa Orde Baru, kesenian tradisional asal China (Tiongkok)  sempat dilarang. Dalam masa politik saat itu segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Begitupun di masa penjajahan.

Setelah tahun 1998, atau sesudah lengsernya rezim Orde Baru, geliat kesenian tradisional Tionghoa kembali muncul. Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur saat itu mengeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967 tentang segala adat istiadat, kepercayaan dan budayanya. Perlahan, hubungan Tionghoa-Indonesia pun mencair.

Acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia menghadirkan masyarakat lintas agama. Mulai dari tokoh lintas agama, aktivis dan mahasiswa. Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen), Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar) dan Bingky Irawan Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Blitar).

Menariknya, malam itu Bingky Irawan, tokoh keturunan Tionghoa ini memakai busana adat Jawa. Dalam kesempatan ini ia mengakui rasa cintanya yang besar terhadap NKRI. Bahkan, Bingky yang juga seniman melantunkan salah saru karya lagu ciptaannya yang mengambil genre lagu Jawa.

“Gus Dur pernah bilang, agama saya Islam tapi Islam Nusantara. Dan saya sebagai Konghucu juga Konghucu Nusantara. Maka saya bikin lagu-lagu Jawa sebagai wujud kecintaan saya kepada Indonesia,” kata Bingky Irawan.

Sejumlah budayawan juga hadir dalam acara bedah buku ini. Momen ini manfaatkan mereka untuk menjalin hubungan lebih mendalam antara masyarakat Jawa-Cina. Budayawan Yoyok Madyono menilai positif acara yang digelar bertepatan dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada 21 Maret.

“Acara ini seperti yang kita harapkan. Karena dulunya Tionghoa dengan orang Jawa memang ada sekat. Harapan saya, sangatlah tepat apabila di Klenteng ini sering dilaksanakan acara lintas agama. Karena kita senang sekali bila bisa berkumpul dengan etnis Tionghoa. Acara ini positif karena memberi kira pandangan mengenai berbangsa dan bernegara,” ungkap Yoyok.

Di kesempatan ini Yoyok juga melantukan satu buah tembang Jawa ciptaannya, sebagai ungkapan syukur masyarakat Jawa-China di Blitar malam itu bisa bertemu, bersilaturahmi dalam kerukunan. Begini isi lirik lagu tersebut :

Dhandang Gula
Sugeng dalu Bapak lan Ibu sami
Keparenga kula matur bagiya
Mrih nis kala sedayane
Anggung manggih rahayu
Sesarengan dalu punika
Nugrahe pangeran
Kang mawantu-wantu
Kita sami pepanggihan
Adi cara bedah buku Tionghoa-Indonesia
Klenteng Poo An Kiong Mblitar

Pewarta
: Aunur Rofiq
Editor
: Yunan Helmy
Publisher
: Alfin Fauzan
Sumber
: Blitar TIMES


Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)

Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur) dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)

Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)
Daniel Lim (Direktur Graha Bangunan Blitar), Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (Dokumentasi, 2018)
Arif Muzayin Shofwan (Dokumentasi, 2018)
Bingky Irawan, Mbah Juned (Perintis GMNI), Daniel Lim, Arif Muzayin Shofwan, Purnomo, dan Min Ho (Dokumentasi, 2018)
Mbah To (Ketua Anshor Blitar) di tengah-tengah Banser usai bedah buku di Klenteng Poo An Kiong Blitar (Dokumentasi, 2018)