Senin, 15 Januari 2018

SAYA, DARAH CINA, ARAB, JAWA, DAN PERGUMULAN DENGAN ETNIS TIONGHOA SERTA KEMAJEMUKAN INDONESIA



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

“Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam suku tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam agama tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam ras atau etnis tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam golongan tertentu?. Tidak!, kalau kita dulu waktu lahir saja tidak bisa memilih terlahir dalam suku, agama, ras, dan golongan tertentu, maka  sebenarnya hanya ada satu hal untuk bisa membawa bangsa ini berperadaban yang luhur yaitu bersatu padu menjaga kerukunan (patembayatan) sesama manusia.”(Shofwan, 2017).

Nama lengkap saya adalah Arif Muzayin Shofwan dan biasa dipanggil Arif atau Muzayin. Saya merupakan warga Indonesia asli yang bermukim di Blitar, Jawa Timur. Ayah, ibu, kakek, buyut, canggah saya semua asli orang beretnis Jawa. Namun kalau saya mengamati saudara-saudara, famili-famili dari pihak ayah tampak ada banyak sekali yang mirip-mirip Cina, Jawa, maupun Arab. Oleh karena hal tersebut, sejak kecil hingga dewasa saya suka menelusuri silsilah nasab keluarga ke atas untuk mencari sebuah jawaban. Yakni, mencari jawaban atas pertanyaan mengapa saudara dan famili saya ada yang mirip Cina, Jawa, bahkan Arab. Karena kesukaan saya tentang penelusuran nasab tersebut, bukan hanya silsilah nasab keluarga saya saja yang saya telusuri, namun silsilah para tokoh dan ulama seputar Blitar Raya juga saya telusuri. Dalam penelusuran tersebut, akhirnya saya menemukan silsilah nasab keluarga saya di Yayasan Kyai Raden Muhammad Kasiman yang berada di utara Masjid Agung Kota Blitar. Bila dilihat dari catatan yang ada di yayasan tersebut, saya masih merupakan trah keturunan ke-7 dari Kyai Raden Muhammad Kasiman yakni seorang tokoh yang cikal-bakal Masjid Agung Kota Blitar. Dan apabila ditarik ke atas, ternyata silsilah nasab Kyai Raden Muhammad Kasiman masih bertemu dengan Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah. Sementara itu, Raden Ayu Linawati  Djojodiningrat dalam bukunya yang berjudul “Ranji Walisongo Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” menyebutkan bahwa Sunan Tembayat merupakan putra dari Pangeran Tumapel bin Haji Bong Swie Ho (Sunan Ampel) Surabaya. 

Berdasarkan penelusuran di atas, saya berkesimpulan bahwa nasab keluarga saya ke atas ternyata campur aduk antara darah Jawa, Cina, dan Arab. Yakni, apabila dilihat dari ibunya Haji Bong Swie Ho (Sunan Ampel), maka saya masih memiliki darah Cina. Apabila dilihat dari ayahnya Haji Bong Swie Ho (Sunan Ampel), maka saya masih memiliki darah Arab. Dan apabila dilihat dari Sunan Tembayat ke bawah, maka saya masih memiliki darah Jawa. Mengapa?. Sebab Sunan Tembayat menikah dengan Nyai Ageng Kaliwungu yang merupakan anak Bathoro Kathong Ponorogo. Adapun Bathoro Kathong sendiri masih merupakan anak dari Brawijaya V, Sang Raja terakhir Kerajaan Majapahit yang sangat kental dengan ke-Jawa-annya. Berawal dari penelusuran tersebut, akhir-akhir ini saya sempat heran terhadap  apa yang terjadi di bumi Nusantara. Heran, heran, heran dan sangat heran. Seakan-akan isu terkait etnis Cina yang komunis, Tionghoa yang kafir, dan semacamnya dimunculkan kembali agar kesatuan NKRI hancur dan terjadi pertumpahan darah. Dalam perenungan saya, lalu mengembang terus ke arah teori ras bumi Nusantara. Bukankah ada teori yang menyatakan bahwa orang-orang yang hidup di bumi Nusantara ini merupakan para imigran dari Yunan, Cina Selatan?. Bukankah ada teori yang mengatakan bahwa kita semua masih ras Indo-Cina (yakni gabungan antara ras India dan Cina)?. Bukankah ada teori yang menyatakan bahwa Islam masuk dari dua jalur, yakni jalur Cina dan India?. Serta pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait hal tersebut.

Pergumulan dengan Etnis Tionghoa 

Masih terngiang dalam ingatan saya bahwa pertama kalinya saya bergumul dengan warga etnis Tionghoa tepatnya di Kelenteng Poo An Kiong di kota Blitar ketika umur lima tahunan. Namun pergumulan pada umur lima tahun tersebut bukanlah merupakan sesuatu hal yang saya sadari bahwa ternyata di bumi ini ada banyak etnis yang berbeda. Yah, banyak etnis berbeda yang harus diakui dan dihormati keberadaannya. Mengapa?. Sebab pergumulan tersebut terjadi tanpa penelusuran dan kesadaran seorang dewasa. Ceritanya adalah bermula ketika saya umur lima tahun dan ikut ayah menghantarkan ibu saya ke Pasar Legi kota Blitar yang berdekatan dengan Kelenteng Poo An Kiong. Setelah  ibu saya sudah masuk ke dalam pasar, seperti biasa saya bersama ayah menunggu di barat Kelenteng Poo An Kiong. Tak diduga, pada hari itu di Kelenteng Poo An Kiong Blitar ada pertunjukan wayang Cina. Oleh karena adanya wayang Cina tersebut, saya yang masih berumuran sekitar lima tahun menangis dan meronta-ronta serta mengajak ayah saya agar masuk ke dalam kelenteng untuk melihat pertunjukan wayang tersebut. Oleh karena saya terus menangis dan merengek, ayah saya kemudian memenuhi permintaan saya masuk ke dalam Kelenteng Poo An Kiong Blitar. Saat itu, tampak banyak sekali warga etnis Tionghoa yang melihat pertunjukan wayang tersebut. Inilah kisah pergumulan saya pertama kalinya dengan etnis Tionghoa pada masa kanak-kanak yang hingga kini masih terpatri dalam otak/ingatan saya.

Pergumulan kedua kalinya dengan etnis Tionghoa adalah ketika saya tamat dari Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung, yakni ketika tahun 1999-2000 saya bekerja di Toko Foto Copy Raya Indah kota Blitar. Toko foto copi tersebut milik keluarga besar orang yang beretnis Cina bernama Go Wie Tjan, Go Wie Tjay, dan Go Wie Yang. Yakni, sebuah usaha foto kopi pertama dan terbesar di kota Blitar pada tahun-tahun tersebut dan juga memiliki cabang di seputar Blitar, Kediri, Malang,  dan Tulungagung. Sebagian besar karyawan di toko foto kopi tersebut beretnis Jawa, namun ada pula yang beretnis Cina. Tentu saja, walau pada tahun 1998-an, yakni sebelum saya bekerja di Toko Foto Copy Raya Indah tersebut sempat terjadi kerusuhan di Jakarta yang banyak merugikan warga etnis Tionghoa, akhirnya saya sadar bahwa keberadaan etnis Tionghoa di bumi Nusantara ini juga banyak memberikan kontribusi bagi warga etnis lainnya. Saya sempat membayangkan bagaimana kalau Toko Raya Indah yang memiliki cabang usaha foto kopi sebanyak sembilan toko dan kebanyakan karyawannya beretnis Jawa juga mengalami hal yang sama seperti toko-toko pada peristiwa ’98 di Jakarta. Siapakah yang rugi?. Kalau Toko Foto Copy Raya Indah dan cabang-cabangnya dihancurkan sekelompok orang yang tak bertanggungjawab seperti peristiwa ’98 di Jakarta, kemanakah kawan-kawan saya yang sudah punya anak istri mencari kerja?. Dan pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut lainnya. 

Berdasarkan hal di atas, saya kemudian bisa mengambil hikmah bahwa pergumulan saya dengan warga etnis Tionghoa yang kedua kalinya ini menjadikan saya semakin sadar bahwa keberadaan setiap etnis apapun di dunia manapun harus dihormati dan dijaga bersama. Sebab apa?. Sebab ibarat istilah Jawa disebutkan bahwa “wong urip iku mesti samad-sinamadan”, artinya orang hidup itu pasti ada saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Jangan sampai saling bermusuhan baik sesama etnis maupun dengan mereka yang berbeda etnis. Mengapa?. Sebab semua manusia hidup itu ibarat istilah Jawa bahwa “wong urip ing ngalam dunyo iku ora biso milih lan ora biso nampik”, artinya orang hidup di alam dunia itu tidak bisa memilih dan menolak agar dilahirkan dalam etnis tertentu. Misalnya, saya dulu ketika lahir juga tidak bisa memilih agar terlahir dalam etnis Tionghoa. Begitu pula, saya dulu ketika lahir juga tidak bisa menolak untuk terlahir dalam etnis Jawa. Oleh karena hal tersebut, saya sangat heran terhadap sekelompok orang yang membawa-bawa isu SARA demi kepentingan pribadi dan golongannya. Dalam renungan saya, apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam suku tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam agama tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam ras tertentu?. Apakah kita dulu waktu lahir bisa memilih terlahir dalam golongan tertentu?. Tidak!, kalau kita dulu waktu lahir saja tidak bisa memilih terlahir dalam suku, agama, ras, dan golongan tertentu, maka  sebenarnya hanya ada satu hal untuk bisa membawa bangsa ini berperadaban yang luhur yaitu bersatu padu menjaga kerukunan (patembayatan) sesama manusia.

Semakin Sadar terhadap Kemajemukan

Pencarian dan perenungan akan makna kemajemukan suku, agama, ras, dan golongan terus saja saya lakukan dari tahun ke tahun. Saya semakin sadar akan kemajemukan ketika tahun 2000-an KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berziarah ke makam leluhur saya yang bernama Mbah Kyai Syakban Gembrang Serang bin Kyai Muhammad Kasiman di areal Pemakaman Keluarga Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar. Dan perlu diketahui pula bahwa dalam areal makam Mbrebesmili tersebut juga dimakamkan jasad Sayyid Bukhori Mukmin (Eyang Ponco Suwiryo), yakni ayah angkat dari seorang tokoh pendiri Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) bernama Kyai R.M. Djojopernomo. Di areal makam itu pula, saya juga pernah bertemu dengan warga etnis Tionghoa dari Tulungagung yang sedang berziarah. Usut punya usut ternyata PAMU yang berdiri pada 1912 berdasarkan Staatsblad tahun 1912 No. 600 tersebut juga diikuti oleh beberapa warga etnis Tionghoa. Usai Gus Dur berziarah ke makam Mbrebesmili tersebut, saya terus saja bertanya-tanya dalam hati, apakah ada sesuatu yang unik dengan sebuah makam leluhur saya?. Apakah leluhur saya itu orang keramat?. Lalu kalau leluhur saya itu keramat, apa keramatnya?. Lalu apa sebenarnya pesan tersirat dari seorang Gus Dur berziarah ke makam leluhur saya di Mbrebesmili tersebut?. Serta banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menjadikan keresahan pikiran saya.

Selain berbagai pertanyaan yang meresahkan tersebut, berdasarkan penelusuran itu pula, dalam hati saya juga berfikir-fikir, wah ternyata ada juga etnis Tionghoa yang suka dengan aliran Kejawen semacam PAMU. Tak berhenti di situ, dalam penelusuran tersebut saya juga menelusuri informasi tentang PAMU kepada penanggungjwab utama yang bernama Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo di Jl. Pandanlaras 21, Malang. Ketika sowan di rumah Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo, saya pun bertemu dengan seorang warga etnis Tionghoa dan Jawa yang asik berdiskusi dengan beliau. Setelah dipersilahkan masuk, saya dan adik saya yang bernama Muttaqin lalu ikut bincang-bincang dalam diskusi tersebut. Dalam diskusi tersebut, Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk membangun peradaban bangsa Indonesia adalah mengadakan kerukunan (patembayatan) terhadap sesama manusia tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Semua harus bersatu padu seperti yang telah diajarkan oleh Kyai R.M. Djojopernomo anak angkat Sayyid Bukhori Mukmin (Eyang Ponco Suwiryo) sekaligus tokoh tunggal pendiri PAMU yang jasadnya dimakamkan di Tojo, Temuguruh, Banyuwangi. Hingga akhirnya Eyang Haji Soetomo Atmowidjojo mengakhiri diskusi dengan mengutip sebuah lagu Nasional “...Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya”.

Kembali lagi ke kisah penelusuran saya di atas, bahwa berawal dari ziarah Gus Dur ke makam leluhur saya di Mbrebesmili tersebut, akhirnya saya terinspirasi pula dengan langkah-langkah Gus Dur yang suka berziarah ke makam-makam serta bergumul dengan warga etnis Tionghoa. Begitu pula, sedikit demi sedikit saya juga mulai mempelajari pemikiran-pemikiran Gus Dur walaupun sampai sekarang belum bisa mempelajari pemikirannya secara menyeluruh (kaffah). Namun setidaknya, berawal dari ziarah Gus Dur ke makam leluhur saya tersebut, saya kemudian agak sedikit meniru perilaku Gus Dur dalam bergumul dengan warga etnis Tionghoa khususnya di seputar Blitar Raya.  Pergumulan dengan warga etnis Tionghoa tersebut kemudian saya kembangkan dengan beberapa umat Kelenteng Poo An Kiong dan umat Vihara Samaggi Jaya di kota Blitar. Dari pergumulan tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan. Misalnya, ketika tokoh Kelenteng Poo An Kiong bernama dr. Fanny Kowe (yakni tokoh FKUB Blitar Raya dari unsur Konghucu Kelenteng Poo An Kiong Blitar) wafat, saya juga ikut bertakziah. Selain itu, ketika saya butuh mempelajari agama Konghucu, maka kawan saya yang bernama Mas Daniel dan Mas Romli (pelatih Barongsai di Kelenteng Poo An Kiong Blitar) juga memberikan kepada saya sebuah “Kitab Su Si”, yakni sebuah kitab suci milik agama Konghucu. Berawal dari sinilah, saya berpendapat bahwa kemajemukan itu sangat indah bila kita bisa merawatnya. Bertukar pikiran, diskusi, dan dialog dengan mereka yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan inilah yang harus dikembangkan manakala seseorang ingin membangun bangsa yang majemuk.

Tak berhenti di situ, pada tahun 2013 saya pun ingin terus mengasah kesadaran akan pentingnya menghormati dan menghargai kemajemukan dari segi apapun. Dari minat tersebut, saya sangat rajin googling di internet untuk mencari dimanakah ada sebuah perguruan tinggi terdekat yang memiliki pusat studi terkait dengan isu kemajemukan. Googling dan terus googling akhirnya saya menemukan bahwa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terdapat sebuah pusat studi terkait hal yang saya maksud. Pusat studi itu dinamakan PUSAM (Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme) yang diketuai oleh Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si. Berawal dari sinilah (saya yang dari tahun 2011 dipercaya oleh Mawan Mahyuddin, direktur The Post Institute Blitar sebagai Ketua Divisi Multikulturalisme), akhirnya memutuskan melanjutkan kuliah program Doktor Pendidikan Agama Islam di UMM dan lulus pada tahun 2016 dengan mengambil judul disertasi “Pendidikan Keagamaan Islam Multikultural: Studi Konstruksi Sosial Kiai di Pondok Pesantren Bustanul Mutaallimin Blitar”. Walaupun judul disertasi tersebut tidak langsung ada hubungannya dengan etnis Tionghoa, namun setidaknya ada sebuah ilmu pengetahuan yang menjadikan saya semakin sadar akan pentingnya kemajemukan bangsa yang harus tetap dihormati, dihargai, dan dijaga bersama. Yakni, ada sebuah dalil Islam dari pemikiran para kiai yang bisa dijadikan rujukan untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa. Dalil dari al-Qur’an itu adalah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...” (QS. Al-Hujurat: 13).

Selanjutnya, oleh karena dalam diskusi-diskusi pada perkuliahan di Program Doktor Pendidikan Agama Islam UMM tersebut saya juga banyak mendiskusikan tentang pentingnya menghargai kemajemukan, maka direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang menunjuk saya sebagai salah satu anggota Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah sejak tahun 2013-2016. Setelah saya lulus dari UMM, saya kemudian aktif sebagai dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar yang baru saja berdiri tahun 2016. Selanjutnya, untuk mempertajam isu-isu terkait ke-Tionghoa-an, tentu saja saya juga ingin terus belajar kepada senior saya yaitu Gus Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi-JIAD GUSDURian) yang telah banyak berkecimpung dalam isu-isu yang dimaksud. Mudah-mudahan pertemuan saya dengan Gus Aan Anshori (yakni, pertama kali ketika ada pertemuan di aula Maha Vihara Mojopahit di Trowulan, Mojokerto) akan selalu membawa berkah yang tak terhingga. Mudah-mudahan pula, pertemuan saya dengan Gus Aan Anshori untuk tahap-tahap selanjutnya akan menjadikan saya semakin sadar dan benar-benar sangat sadar akan pentingnya menghargai dan menghormati kemajemukan bangsa, termasuk dalam hal ini adalah penghormatan dan penghargaan terhadap warga etnis Tionghoa yang tanpa diskriminasi. Sehingga dengan demikian, kita semua bisa membangun peradaban bangsa yang semakin bermartabat. Salam satu jiwa dalam menjalin kerukunan (patembayatan)!.

Arif Muzayin Shofwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar