Minggu, 19 Maret 2017

BERZIARAH KE PASEBAN MAKAM “SYEH SENTONO DHOWO” UTARA CANDI PENATARAN NGLEGOK , BLITAR, JAWA TIMUR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Hari Minggu, 19 Maret 2017, saya, Mas Putu Ari Sudana, Gus Ilham Rofii (Pengasuh Laskar Wirogaten, Jatimalang, Sentul, Blitar) berziarah ke Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” di Utara Candi Penataran, Nglegok, Blitar, Jawa Timur. Sampai di areal paseban tersebut, kami bertiga langsung berwudlu dan kemudian bertafakur shalat Dhuhur di mushalla dekat dua makam tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut, yaitu Syaikh Badrul Alim dan Syaikh Badrul Zaman. Usai wiridan secukupnya, kami bertiga langsung ziarah ke makam Syaikh Badruddin, sebuah makam yang berada di bagian ujung Selatan, dekat dengan kantor Paseban Makam Syeh Sentono Dhowo.

Usai berziarah, kami bertiga ngobrol dengan Mbah Suprih, seorang pengelana makam yang berasal dari Wonotirto-Blitar Selatan dan sudah dua tahun berada di Paseban Syeh Sentono Dhowo, dan yang membantu perjuangan Mbah Imam Musthofa dalam mengelola makam. Mbah Suprih menyatakan bahwa ketiga tokoh yang dimakamkan di Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” Utara Candi Penataran, Nglegok, Blitar merupakan sahabat Syaikh Subakir (sang waliyullah yang menumbali Tanah Jawa). Dan konon, tokoh ke-4 nya dimakamkan di Puncak Gunung Gedang Blitar. Dan keempat tokoh tersebut antara lain:

1.    Syaikh Badruddin (makamnya berada di Ujung Selatan dalam areal Paseban Makam Syeh Sentono Dhowo)

2.    Syaikh Badrul Alim dan Syaikh Badrul Zaman (makamnya berada di pojok Barat Masjid dalam areal Paseban Makam Syeh Sentono Dhowo). Dan tepat di Barat makam tokoh ini, merupakan pejuang-pejuang yang ikut mengelola makam Auilya Syeh Sentono Dhowo.

3.    Syaikh Marzuqi (makamnya berada di Puncak Gunung Gedang Blitar)

Masih menurut Mbah Suprih yang menyatakan bahwa orang-orang yang berziarah di Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” di utara Candi Penataran tidak hanya dari kaum Islam saja, tetapi juga berasal dari berbagai agama dan aliran apapun. Yang berziarah ke makam tersebut terkadang menggunakan busana muslim, Kejawen, Arab, Cina, Nasional, Hindu, Buddha, itu tidak masalah. Tentu saja, apa yang dinyatakan Mbah Suprih tersebut sesuai semangat “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa” artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tiada kebenaran (dharma) yang mendua.

Sementara itu, Mbah Imam Musthofa Sang Pengelola makam tersebut menyatakan bahwa Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” mulai dibangun tahun 1984, saat gencar-gencarnya peristiwa Petrus. Menurutnya, pembangunan itu juga atas petunjuk para kiai berikut, antara lain:

1.    Mbah Kyai Dimyathi Baran, Selopuro, Blitar
2.    Mbah Kyai Salamun Sawahan, Kanigoro, Blitar (murid dari Mbah Kyai Dimyati Baran)
3.    Mbah Kyai Jaelani Jengglong, Lodoyo, Blitar (murid dari Mbah Kyai Dimyathi Baran dan Mbah Kyai Abbas Fakih Sekardangan)
4.    Mbah Kyai Abu Naim Kandangan
5.    Mbah Kyai Joyo Ngalim (murid dari Mbah Kyai Abu Naim Kandangan)
6.    Mbah Kyai Ahyar Klece
7.    Mbah Kyai Yusuf Sanankulon.

Dan termasuk Mbah Imam Musthofa juga mengikuti para kyai tersebut di atas. Konon ketika mau membangun makam Syaikh Subakir, beberapa dari para kyai tersebut menyatakan bahwa kalau ingin membangun makam Syaikh Subakir (yang berada tepat di Utara Candi Penataran), seharusnya ziarah dahulu ke makam Sentono (baca; Syeh Sentono Dhowo). Dari sinilah, akhirnya mereka mencari Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” yang saat ini telah berdiri bangunan sebagaimana dalam foto yang saya tampilkan (di bawah). Dan tepat pada tanggal 13-10-2013, Paseban Makam “Syeh Sentono Dhowo” tersebut diresmikan oleh Bupati Blitar, Bapak Herry Noegroho, SE, MH.

Mungkin sampai di sini dulu catatan harian (cahar) saya. Mudah-mudahan perjalanan saya hari ini membawa berkah yang melimpah di dunia dan akhirat. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa, memudahkan segala urusan saya, baik urusan lahir maupun batin, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Mudah-mudahan, saya, kawan saya, tetangga saya, dan siapapun yang berhubungan karma dengan saya, semua makhluk hidup mulai awal hingga akhir, selalu mendapatkan kebahagiaan dari Tuhan Yang Maha Pemberi Kebahagiaan. Saya akhiri dengan kata Mbah Imam Musthofa: “Lek ning makam ngendi wae iku sing ati-ati, mergo akeh begalan saka makhluk-makhluk lainnya”. Wallahua’lam Bishawab.

 “If you can dream it you can do it”

(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”

(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

 
Saya berfoto di depan prasasti Paseban Makam "Syeh Sentono Dhowo" Utara Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur (Dokumentasi, 2017)
 
Prasasti peresmian Paseban Makam "Syeh Sentono Dhowo" oleh Bupati Blitar Bapak Herry Noegroho, SE, MH (Dokumentasi, 2017)
 
Makam Syaikh Badrul Alim dan Syaikh Badrul Zaman, yakni dua sahabat Syaikh Subakir Sang Tokoh yang menumbali Tanah Jawa (Dokumentasi, 2017)
Gus Ilham Rofii (Pengasuh Laskar Wirogaten Jatimalang, Sentul, Blitar) dan Mas Putu Ari Sudana usai tafakur dan zikir di makam Syaikh Badruddin (Dokumentasi, 2017)
 
Pandopo Paseban Makam Syeh Sentono Dhowo (Dokumentasi, 2017)
Makam Syaikh Badrul Alim dan Syaikh Badrul Zaman difoto dari jarak sekitar lima meter (Dokumentasi, 2017)
 
Foto Mbah Imam Musthofa dan Mbah Suprih (Dokumentasi, 2017)

Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Selasa, 14 Maret 2017

MENELUSURI SEKELUMIT JEJAK MBAH KYAI M. MUBASYIR MUNDZIR, BANDARKIDUL, KEDIRI, JAWA TIMUR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Mbah Kyai. M. Mubasyir Mundzir adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari, Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1970-an di Kediri ada tiga tokoh yang berjuang bersama-sama dalam hal spiritual Islami yang juga disebut sebagai “Tiga Serangkai”, artinya tiga tokoh yang memiliki banyak persamaan ide dan pandangan. Tiga serangkai tersebut antara lain: (1) Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir yang pada mudanya biasa disapa “Gus Mundzir”, yang nantinya memilih mendirikan pesantren tahfidzul Qur’an sebagai lahan perjuangannya; (1) Mbah Kyai Abdul Madjid Ma’roef yang nantinya mendirikan tharikah/amaliyah “Shalawat Wahidiyyah” sebagai lahan perjuangannya; (3) Mbah Kyai Hamim Jazuli yang masa mudanya biasa disapa “Gus Mik”, yang nantinya mendirikan JANTIKO MANTAB dan Dzikrul Ghofilin sebagai lahan perjuangannya.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengkaji berbagai hal tentang keistimewaan atau yang lazim disebut “karomah” pada diri Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir. Sebab sudah banyak artikel yang mengkaji masalah tersebut di internet. Saya di sini, ingin menulis nasab silsilah Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir yang ke atasnya masih berkaitan dengan Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi) dan Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) Surabaya. Berikut silsilah nasab Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir ke atasnya:

1.    Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) + Nyai Karimah binti Ki Ageng Kembang Kuning, berputra;
2.    Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah), berputra;
3.    Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi/ Sunan Pandanaran II), berputra;
4.    Sayyid Hanafi Musa, berputra;
5.    Sayyid Abdul Malik Karim, berputra;
6.    Sayyid Zainuddin, berputra;
7.    Sayyid Abu Bakar, berputra;
8.    Sayyid Abdillah, berputra;
9.    Sayyid Sulaiman Washil, berputra;
10. Sayyid Abdul Qadir, berputra;
11. Sayyid Abdurrahman, berputra;
12. Sayyid Nur Hasyim, berputra;
13. Sayyid Nur Miyat, berputra;
14. Syaikh Karimun (Bagor, Nganjuk), berputra;
15. Nyai Suminah (Mangunsari, Nganjuk), berputra;
16. Nyai Musyrifah (istri Syaikh KH. M. Imam Bakri), berputra;
17. Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir, Bandar Kidul, Kediri, Jatim.

Silsilah nasab Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir tersebut diambil dan digali dari berbagai kitab/buku berikut seperlunya, antara lain: (1) Buku berjudul “Silsilah Nasab Kyai Soeroredjo Kauman Blitar: Dari Sunan Tembayat Hingga Rasulullah” yang disusun oleh Arif Muzayin Shofwan dan Putu Ari Sudana; (2) Silsilah Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi) ke atas hingga Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) plus Rasulullah SAW jug telah diramu dari buku berjudul “Ranji Walisongo Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” karya Raden Ayu Linawati dan disusun oleh Mas Muhammad Shohir Izza Solo, Jawa Tengah; (3) Dan berbagai buku biografi tentang Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir yang sempat penulis baca.

Mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati kita semua. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan Tuhan selalu memberikan kasih sayang dan ampunan tak terhingga kepada Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir beserta ahli baitnya, sanak saudaranya, tetangganya, dan semua manusia. Amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamiin. Semoga demikian adanya. Wallohu’alam Bishowab.

Ilmu adalah Warisan yang Luar Biasa

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ahli ilmu pengetahuan (ulama) adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu mereka. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut dia telah mengambil bagian yangg banyak.”

 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”

(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

 
Foto Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir, Bandar Kidul, Kediri, Jatim
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an "Ma'unah Sari" Bandar Kidul, Kediri, Jatim.

Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Senin, 13 Maret 2017

BERZIARAH KE MAKAM MBAH KYAI RADEN ABDUL FATTAH DAN SEKELUMIT KISAH DI “PONDOK PESANTREN MENARA AL-FATTAH” MANGUNSARI, TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Sewaktu berada di Tulungagung selama dua tahun lebih, saya sering berziarah ke makam Mbah Kyai Raden Abdul Fattah Sang Pendiri Pondok Pesantren Menara Al-Fattah, Mangunsari, Tulungagung. Yah, saat Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj Al-Haffidz (keponakan Mbah Kyai Raden Abdul Fattah dan penerus keberadaan pesantren tersebut) masih ada, yakni tahun 1997 Masehi, saya pernah mondok di pesantren ini selama dua minggu. Yah, hanya dua minggu. Ceritanya adalah saya ingin menghafalkan Al-Qur’an. Dan saat itu, saya sudah punya cicilan sampai tiga juz. Namun ketika sowan Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj dan mengutarakan niat saya menghafal Al-Qur’an tersebut, beliau berkata: “Njaluko restu ibukmu. Yen ibukmu ngrestoni, yo oleh ngapalne Qur’an. Tapi yen ibukmu ora ngrestuni, yo nggak usah diterusne lek ngapalne Al-Qur’an” (Mintalah restu pada ibumu, bila ibumu merestui, ya boleh menghafalkan Al-Qur’an di sini. Tapi, kalau ibumu tidak merestuimu, ya tidak usah diteruskan niat menghafal Al-Qur’an itu).

Sepertinya, Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj sudah tahu bahwa saya dari awal memang oleh ibu saya tidak direstui menghafal Al-Qur’an, padahal keinginan saya menghafal Al-Qur’an saat itu kuat sekali. Hal ini disebabkan banyak dari saudara saya yang memang menghafalkan Al-Qur,an. Keponakan-keponakan ibu saya banyak yang hafal Al-Qur,an dan ada beberapa yang mendirikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an, seperti Mas Kyai Imam Shofwan Krenceng, Nglegok, Blitar, dan Mas Ustadz Muhammad Nizar, adiknya. Oya, kepergian saya ke Pondok Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari, Tulungagung itu dihantarkan oleh kakak ipar saya yaitu Mas Drs. Nur Hidayat Rofiuddin (alumni Pondok Panggung Tulungagung). Padahal, kalau saya tetap berniat menghafal Al-Qur’an, ya tetap tidak diizini oleh ibu saya. Alasannya adalah berat dan berat, begitulah.

Akhirnya, seminggu saya berada di pesantren tersebut, dan karena oleh Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj tetap disuruh minta restu pada ibu saya, ya saya lalu pulang dan minta restu kepada ibu saya agar diizini menghafal Al-Qur’an. Namun, ibu saya juga tetap tidak mengizini saya. Lalu saya sowan kepada guru saya, yaitu Mbah Kyai Imam Mahdi (Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Sekardangan, Kanigoro, Blitar) dan minta pertimbangan kepada beliau terkait niat menghafalkan Al-Qur’an. Mbah Kyai Imam Mahdi cumak bilang begini: “Rif, yen kakangku Mbah Kyai Nasruddin kae karo abah ora oleh kok ngapalne Al-Qur’an” (Rif, kalau kakakku yang bernama Mbah Kyai Nasruddin itu sama abah/ayah tidak boleh kok menghafalkan Al-Qur’an). Aduh, dalam bathin saya berkata, lha ini isarah Mbah Kyai Imam Mahdi juga tidak memperbolehkan saya menghafal Al-Qur’an. Selain itu, saya juga sowan guru saya yaitu Mbah Kyai Hafidz Syafii (Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah, Tlogo, Kanigoro, Blitar) dan beliau juga tidak memperkenankan bagi saya untuk menghafal Al-Qur’an.

Satu hari di rumah, kemudian saya kembali ke Pondok Pesantren Menara Al-Fattah. Di pesantren ini, saya selama satu minggu (jadi genap dua minggu), lalu saya sowan ke Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj untuk pindah ke pesantren lain. Sebab ibu saya tidak mengizini saya menghafal Al-Qur’an. Dengan welas asihnya, Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj memberi isarah kepada saya, bahwa bagian saya dalam hal agama nanti berbeda, bukan di bidang hafalan (tahfidz) Al-Qur’an, tapi di bidang yang lainnya. Beliau juga mendoakan kepada saya, agar nantinya mendapatkan ilmu yang bermanfaat sesuai bidang saya di kemudian hari. Yah, terima kasih buat Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj yang telah mendoakan kebaikan kepada saya. Mudah-mudahan beliau selalu mendapatkan limpahan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun saya mondok di Pondok Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari hanya selama dua minggu, mudah-mudahan ilmu yang saya terima dari beliau menjadi berkah kelak di kemudian hari. Amiin.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan di mana saya pindah mondok. Namun yang jelas, saya tetap mondok di daerah Tulungagung selama dua tahun, dan selama itu saya juga sering berziarah ke makam Mbah Kyai Raden Abdul Fattah, Mbah Kyai Nuryahman Botoran, Mbah Abu Mansyur Tawangsari, Mbah Kyai Basyaruddin Srigading, Mbah Kyai Raden Witono (Sayyid Hasan Ghozali) Kalangbret dan lain-lainnya. Sebagai catatan harian (cahar), di sini saya akan menuliskan silsilah nasab Mbah Kyai Raden Abdul Fattah dan Mbah Kyai Abdul Khobir yang masih bertalian nasab dengan Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi) Klaten, Jawa Tengah dan Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) Surabaya, Jawa Timur. Berikut silsilah nasab beliau:

1.    Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Haji Bong Swie Hoo) + Nyai Karimah binti Ki Ageng Kembang Kuning, berputra;
2.    Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah), berputra;
3.    Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi/ Sunan Pandanaran II), berputra;
4.    Sayyid Hanafi Musa, berputra;
5.    Sayyid Abdul Malik Karim, berputra;
6.    Sayyid Zainuddin, berputra;
7.    Sayyid Abu Bakar, berputra;
8.    Sayyid Abdillah, berputra;
9.    Sayyid Sulaiman Washil, berputra;
10. Sayyid Abdul Qadir, berputra;
11. Sayyid Abdurrahman, berputra;
12. Sayyid Nur Hasyim, berputra;
13. Sayyid Nur Miyat, berputra;
14. Mbah Kyai Haji Sulaiman, berputra;
15. Mbah Kyai Haji Hasan Tholabi, berputra;
16. Mbah Kyai Haji Raden Abdul Fattah Sang Pendiri Masjid Al-Fattah dan Pondok Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari, Tulungagung.

Sementara itu, silsilah nasab dari Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj yang masih keponakan dari Mbah Kyai Raden Abdul Fattah ke atas juga sama seperti di atas. Dan Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj merupakan putra dari Mbah Kyai Sirodj yang merupakan saudara Mbah Kyai Raden Abdul Fattah tersebut. Selain itu, sebenarnya pertalian persaudaraan Mbah Kyai Raden Abdul Fattah Mangunsari juga berkaitan dengan Mbah Kyai M. Mubasyir Mundzir Kediri, Mbah Kyai Abdul Madjid Ma’roef Kedunglo-Kediri, dan lain sebagainya. Namun hal tersebut tidak saya bahas dalam artikel ini. Semoga Tuhan selalu melimpahkan kasih sayangnya kepada para Auliya’ tersebut. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada para santri-santri beliau semua. Amiiin.

Mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati kita semua. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan niat baik ilmu-ilmu yang saya peroleh selama mondok di Pondok Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari, Tulungagung selalu membawa berkah di kehidupan kini dan mendatang. Walau saya hingga saat ini tidak menjadi penghafal Al-Qur’an, namun saya sangat bersyukur sekali karena sudah pernah bertemu, bersalaman dengan tokoh hebat sekelas Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj. Akhir kata, mudah-mudahan niat baik saya berziarah ke Makam Mbah Kyai Raden Abdul Fattah dan Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj guru saya, selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Pemberi Berkah. Amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamiin. Semoga demikian adanya. Wallohu’alam Bishowab.

 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Foto Pondok Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari, Tulungagung, yang didirikan oleh Mbah Kyai Raden Abdul Fattah, dan kemudian diteruskan oleh keponakannya Mbah Kyai Abdul Khobir Sirodj.


Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.