Minggu, 22 Desember 2019

RAPAT KAPRODI FAI UNU BLITAR, KHUSUSI DI SURAU NURUL AMIN KUNINGAN, DISKUSI KONSEP KAMPUNG MUDJAIR, TEMAN THORIQOH SYATHORIYAH KEDIRI, SESYAHIDAN THORIQOH KHALWATIYAH DI KAWERUH BLITAR


Oleh: Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.


 Sebuah catatan harian di hari Sabtu, 21 Desember 2019 di antaranya: Rapat Kaprodi Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Blitar, Khususi di Surau Nurul Amin Kuningan, Diskusi konsep Kampung Mudjair, Datangnya teman Thoriqoh Syathoriyah dari Kediri, dan Sesyahidan Thoriqoh Khalwatiyah di Kaweruh Blitar.” (Shofwan, 2019)



          Pada hari Sabtu 21 Desember 2019, ada banyak kegiatan yang saya lakukan mulai pagi hari hingga pagi hari berikutnya (tanpa tidur). Pagi hari di hari Sabtu tersebut tentu saya beraktifitas di Midasapa Jaya Sekardangan Kanigoro Blitar hingga pukul 11.00 WIB. Setelah itu, saya bertemu dengan Mas Agus Riyadi (Selopuro, Blitar) di rumah Mas Doni Indradi (Tlogo, Kanigoro, Blitar) terkait beragam spiritual Mbah Wali Tugurejo, Mbah Kyai Kasan (ayah angkat Mbah Wali Tugurejo), Mbah Kyai Pangeran Papak Notoprojo/ Kyai Ageng R.M. Djojopoernomo (cucu Nyi Ageng Serang Pahlawan Nasional) yang mendirikan Purwo Ayu Mardi Utama (PAMU) dan wafat serta dimakamkan di Tojo Temuguruh Banyuwangi, Mbah Kyai Hasyim Asy’ari Sang Pendiri NU, dan lain sebagainya. Perbincangan saya dengan Mas Agus Riyadi Selopuro dan Mas Doni Indradi Tlogo ini berlangsung hingga pukul 14.30 WIB. Usai itu, ada beberapa kegiatan saya di antaranya:

1.   Rapat Kaprodi FAI UNU Blitar
Yakni, rapat Kaprodi UNU Blitar di Graha NU Jatinom. Ada banyak pembahasan dalam rapat tersebut terutama terkait dengan penerimaan calon mahasiswa, metode mengenalkan FAI UNU Blitar yang baru berdiri ke berbagai masyarakat, dan lain sebagainya. Usai itu, saya pulang ke rumah menjelang Maghrib.

2.   Khususi di Surau Nurul Amin Kuningan
Yakni, khususi zikir Thoriqoh Naqsyabandiyah Mujaddadiyah dari jalur Sang Guru Mursyid Syaikh Prof. Dr. Kadirun Yahya, M.Sc., di Surau Nurul Amin Kuningan Kanigoro Blitar hingga pukul 21.30 WIB.

3.   Diskusi Konsep Kampung Mudjair
Usai nomor tiga di atas, saya pergi ke rumah Mas Doni Es Buah Papungan Kanigoro Blitar untuk mendiskusikan Konsep Kampung Mudjair yang akan di rintis di desa saya tersebut.

4.   Datangnya teman Thoriqoh Syathoriyah Kediri
Usai nomor tiga di atas, saya lalu ditelepon Gus Hasib Kediri, bahwa beliau serombongan sudah berada di rumah Gus Anwar (Glondong, Kanigoro, Blitar). Rencana akan segera sowan ke rumah Mbah Kyai Muhammad Mahrosin Sang Mursyid Thoriqoh Syathoriyah (Pakel, Selopuro, Blitar). Saya langsung tancap gas menuju rumah Gus Anwar. Di sana, kami bincang bincang sebentar dengan teman-teman serombongan Gus Hasib di antaranya: (1) Gus Hasib; (2) Pak Juli, thoriqoh Syathoriyah jalur Mbah Kyai Asfandi Mangiran; (3) Mas Sulaiman, Gogorante Kediri, thoriqoh Syathoriyah jalur Mbah Kyai Khozin Abdulloh Bakung Wonodadi Blitar dan jalur Kyai Darmajaya Kecik Kediri; (4) Mas Nanang Joko Pamuji, murid thoriqoh Syathoriyah Mbah Kyai Abdul Haris Ngawi dan thoriqoh Syadziliyah ikut Syaikh Abdul Mun’im Maroko; (5) Gus Hanif Fathoni, adik dari Gus Hasib. Inilah warna-warni thoriqoh dan bersatu padu. Saya bersama kawan-kawan thoriqoh Syathoriyah Kediri di rumah Mbah Kyai Muhammad Mahrosin hingga hampir jam 12 malam. Lalu kami pulang.

5.   Sesyahidan Thoriqoh Khalwatiyah di Kaweruh Blitar
Setelah nomer 5 di atas, saya tidak langsung pulang. Saya ikut brokohan Sesyahidan Thoriqoh Khalwatiyah di Kaweruh Blitar yang dibimbing oleh Gus Muhammad Affandi (asli Malang). Yakni, bersama kawan-kawan Kaweruh dan Majelis Diskusi Balitara Blitar. Ikut brokohan di sini hingga pagi Subuh. Setelah saya sholat Subuh lalu pulang.

Mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, terutama pertemuan dengan kawan-kawan Thoriqoh Syathoriyah Kediri, kawan-kawan Thoriqoh Naqsyabandiyah Mujaddadiyah Kuningan, Thoriqoh Khalwatiyah di Kaweruh Blitar dan lainnya. Semoga saja, selalu membawa berkah sepanjang zaman, di kehidupan dunia dan akhirat. Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin. 


 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

 
Saya, Kawan-Kawan Thoriqoh Syathoriyah Kediri berfoto bersama Gus Anwar Glondong, Kanigoro, Blitar (Sabtu, 21 Desember 2019)
Saya, Kawan-Kawan Thoriqoh Syathoriyah Kediri berfoto dengan Mbah Kyai Muhammad Mahrosin Mursyid Thoriqoh Syathoriyah Pakel Selopuro Blitar (Sabtu, 21 Desember 2019)

Tentang Penulis

Dr. Arif Muzayin Shofwa, M.Pd., seorang pria ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 bersama kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I., Lussy Ana Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad Miftakhul Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat sebagai Tim Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata Keluarga Islam; (2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran Islam; dan (4) Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan penggagas pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang yang sering mengikuti berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi lintas agama baik lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Jumat, 08 November 2019

SEJARAH KISAH MBAH KYAI IBRAHIM (LANGGAR JEDING, SANANKULON, BLITAR)


SEJARAH KISAH MBAH KYAI IBRAHIM (LANGGAR JEDING, SANANKULON, BLITAR)

Oleh: Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.

“Tulislah, siapa tahu bermanfaat dan berkah bagi generasi berikutnya. Tulislah, tulislah, dan tulislah. Apapun bisa Anda tulis dan tulis. Tulislah apa saja, yah apa saja, tentang kuburan, sadranan, dhanyangan, bebek mandi di kali, ayam berkokok pagi-pagi, kodok ngorek, kucing ngejar tikus, jangkrik ngerik, dan lainnya”
(Shofwan, 2019)

Dikisahkan bahwa Mbah Kyai Ibrahim (Langgar/musholla utara jalan di Jeding, Sanankulon, Blitar [terakhir yang mengku adalah Ustadz Muhammad Ridwan, Ustadz Zainul, dan lainnya]) berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah. Beliau dahulu kala ketika di Blitar, mbabat pertama kali di daerah Jepun, Selopuro, Blitar. Oleh karena, Mbah Kyai Ibrahim tidak krasan di daerah Jepun, Selopuro, lalu hasil babatannya diberikan kepada pamannya yang bernama Mbah Haji Sholeh. Yakni, sekarang adalah “Masjid Jepun” (Barat Jalan) Jepun, Selopuro, Blitar. Dulu Mbah Kyai Muhammad Irjaz dan putrinya Hj. Siti Rofi’ah (ibu saya) Sekardangan sering ke Jepun ini dan menginap jaman Mbah Haji Sholeh Jepun ini. Di Jepun ini pula, ada beberapa yang disebutkan masih jalur saudara, di antaranya adalah:

1.   Mbah Haji Sholeh, memiliki dua anak yaitu: (1) Mbah Kardis Jepun; dan (2) Nyai Siti Maimunah Jepun memiliki empat anak.
2.   Mbah Haji Ilyas (ipar-nya Mbah Haji Sholeh)
3.   Dan lainnya yang tak bisa disebutkan. (Tak mungkin menyebut lainnya, sebab belum dipelajari sampai kesitu).

Sementara itu, Mbah Kyai Ibrahim (aslinya Bagelenan, Jawa Tengah, konon dari kisah ke atasnya masih nyambung dengan trah Joko Tingkir [Sultan Hadiwijaya Sang Pendiri Kerajaan Pajang], ada yang menyebut masih trah Yosodipuro-an (sebab saat itu, Mbah Kyai Damanhuri Babatan-Wlingi menceritakan bahwa beliau dulu ketika sering kesana masih berjalan jongkok/ndodok, namun silsilah tersebut telah tiada dan terputus), yang bertempat tinggal di Jeding, Sanankulon, Blitar, memiliki 8 anak, yaitu:

1.   Mbah Kyai Muhammad Irjaz (suami Nyai Umi Kulsum Binti Kyai Haji Ahmad Dasuqi), Sekardangan, Kanigoro, Blitar.
2.   Mbah Kyai Sirojam (barat-nya Pondok Pesantren Ibadurrohman Krenceng, Nglegok, Blitar). Yakni, masih tergolong simbahnya KH. Imam Shofwan Al-Hafidz Sang Pendiri Pesantren.
3.   Mbah Kyai Muhammad Irsyad, Kuwut, Nglegok, Blitar.
4.   Mbah Kyai Muhammad Ihsan, Ponggok (utara Gunung Pegat, Ponggok, Blitar)
5.   Mbah Kyai Muhammad Mansyur, Kasim, Selopuro, Blitar.
6.   Mbah Kyai Muhammad Basyir, Kranggan, Pojok, Garum, Blitar.
7.   Mbah Kyai Muhammad Jailani Modin, Jeding, Sanankulon, Blitar (anaknya diantaranya adalah Ustadz Muhammad Ridwan, Ustadz Zainul, Pak Ali, dll).

Persebaran saudara-saudara dari jalur Mbah Kyai Ibrahim (Jeding, Sanankulon, Blitar) sebagai berikut, antara lain:

1.   Di Ngoran, Nglegok, Blitar adalah “Masjid Kuno/Lama” di Ngoran, Nglegok, Blitar tersebut. Yang biasa dan sering nyambung dengan keluarga di Ngoran ini dulu adalah keluarga Kyai Muhammad Ngalimun (langgar di Kuwut, Nglegok, Blitar) dan keluarga Nyai Siti Khodijah (ibunda KH. Imam Shofwan Krenceng, Nglegok, Blitar).
2.   Di Ringinjejer (timur-nya Mantenan, Udanawu, Blitar), tepatnya adalah “Masjid Ringinjejer” (Selatan jalan) Ringinjejer, Udanawu, Blitar. Di antara keturunan keluarga masjid di sana, antara lain: Bapak Mahbub (menantu), Bapak Pandi, Bapak Hamid, dan lainnya. Dulu Mbah Muhammad Irjaz dan putrinya Hj. Siti Rofi’ah (ibu saya) sering ke Ringinjejer ini dan kadang menginap. Adik atau kakaknya KH. Muhammad Mahrus Yunus Pendiri Pondok Sunan Pandanaran Sekardangan juga menikah dengan keluarga Ringinjejer ini.
3.   Di Gadungan, Gandusari, Blitar. Dulu Mbah Kyai Muhammad Irjaz dan putrinya Hj. Siti Rofi’ah (ibu saya) Sekardangan sering ke Gadungan ini. Namanya siapa lupa, tapi namanya memang Jawa. Konon keluarganya berada di seputaran Madrasah Ibtidaiyah Gadungan dan lainnya.
4.   Di Lodoyo-Blitar, ada jalur saudara dari Ngoran, Nglegok, Blitar.
5.   Di Muntilan ada saudara yang dulu masih nyambung bernama Siti Rofi’ah yakni di Pasekan, Keji, Muntilan, Jateng. Namanya ketepatan sama dengan ibu saya dan sering bertemu di rumah Mbah Kyai Damanhuri Bin Muhammad Ridho Babadan, Wlingi, Blitar.
6.   Di Dayu, Nglegok, Blitar juga ada yang masih saudara namanya Yuyun Yarnetik (teman saya sekolah di MAN Tlogo).
7.   Dikisahkan pula bahwa saudara-saudara Mbah Kyai Ibrahim juga banyak yang berada di Ponorogo, Muntilan, dan lainnya.
8.   Yang masih nyambung dengan keluarga Bagelenan Jawa Tengah dulunya adalah keluarga Mbah Kyai Damanhuri Bin Muhammad Ridho (suami Nyai Siti Aisyah Babadan, Wlingi, Blitar). Mbah Kyai Damanhuri ini dulu merupakan Mursyid Thoriqoh Qodiriyah tapi tidak beliau kembangkan.
9.   Dan lainnya.

Selanjutnya, anak-anak dari Mbah Kyai Muhammad Irjaz Bin Kyai Ibrahim Khatib Jumat Masjid Baitul Makmur Sekardangan (suami Nyai Umi Kulsum Binti Kyai Ahmad Dasuqi) Sekardangan, Kanigoro, Blitar, antara lain:

1.   Nyai Siti Aisyah (istri Mbah Kyai Damanhuri Bin Muhammad Ridho) Babadan, Wlingi, Blitar.
2.   Nyai Siti Khodijah (istri Mbah Kyai Muhammad Syahud), Krenceng, Nglegok, Blitar.
3.   Mbah Kyai Bahruddin Khatib Jum’at Masjid Baitul Makmur dan Pengelola TPQ (suami Nyai Istiqomah) Sekardangan Kanigoro, Blitar.
4.   Mbah Kyai Subakir (suami dari Nyai Marfuah dan Pengelola TPQ) di Tumpang, Talun, Blitar. Guru dari Muhammad Naufal Az-Zamzami Bin Arif Muzayin Shofwan Sekardangan (atau Muhammad Naufal Az-Zamzami Binti Ervina Agustin Tumpang).
5.   Mbah Kyai Muhammad Ngalimun (Pemangku Langgar) di Kuwut, Nglegok, Blitar.
6.   Nyai Hj. Siti Rofi’ah (suami Mbah Kyai Haji Tamam Thahir dari Kerjen, Srengat, Blitar) di Sekardangan, Kanigoro, Blitar. (Anaknya antara lain: (1) Dra. Umi Mahfudiyah Wlingi, (2) Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd., Sekardangan, (3) Nikmatin Lana Farida, S.Pd.I., Malang, (4) Muhammad Asrori, A.Md Sekardangan)
7.   Nyai Siti Asiyah (istri dari Mbah Kyai Ali Muqoddar) Satreyan, Kanigoro, Blitar.
8.   Kyai Muhammad Zainuddin/Mbah Nuh (istri dari Nyai Siti Munawaroh) Sekardangan, Kanigoro, Blitar.

Silsilah penulis dari jalur Mbah Kyai Ibrahim Jeding, Sanankulon, Blitar adalah:
1.   Mbah Kyai Ibrahim Jeding, berputra:
2.   Mbah Kyai Muhammad Irjaz Sekardangan, berputra:’
3.   Nyai Hj. Siti Rofi’ah (istri Mbah Kyai Haji Tamam Thahir dari Kerjen, Srengat, Blitar) Sekardangan, berputra:
4.   Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.

Demikianlah kisah ini ditulis, mudah-mudahan bermanfaat bagi semua saudara-saudari dimanapun berada. Cerita tambahan: Dikisahkan oleh ayah saya (Mbah Haji Tamam Thahir) dan ibu saya (Hj. Siti Rofi’ah) bahwa nama saya itu gabungan dari nama anak-anak pakde saya dan budhe saya, yaitu:

1.   Kata “ARIF” diambil dari namanya ARIF NURJAYA/MAS ARIF (mindoan saya dan anaknya Pakdhe KH. Miftahul Huda [dulu pernah jadi Kepala MTsN Kunir Wonodadi Blitar. Dan namanya Pakde Sya’roni sebelum haji ke Mekah] Langgar Dermojayan Selatan Jalan, Dermojayan, Srengat, Blitar).
2.   Kata “MUZAYIN” diambil dari namanya MUZAYIN/MAS JAYIN (misanan saya dan anaknya Budhe saya Nyai Siti Khodijah Krenceng, Nglegok, Blitar).
3.   Kata “SHOFWAN” diambil dari namanya KH. IMAM SHOFWAN/MAS IMAM (misanan saya iya anak dari Nyai Siti Khodijah Krenceng, Nglegok, Blitar dan juga Sang Pendiri Pondok Ibadurrohman)

Dari percikan atau potongan nama tiga orang itulah, jadilah nama saya: ARIF MUZAYIN SHOFWAN. Kata Mbah Haji Tamam Thahir ayahku, “Arif” artinya bijaksana atau ahli makrifat. “Muzayin” artinya orang yang menghiasi diri (dengan akhlak karimah/budi pekerti luhur). “Shofwan” artinya bersih atau bening. Semoga nama itu benar-benar terealisasi dalam lahir dan batinku. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin, amin, amin. Ya Robbal Alamin.


TENTANG PENULIS

Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd., merupakan petualang di makam-makam, kuburan-kuburan, petilasan-petilasan, sadranan-sadranan dan penggali sejarah di Kota Blitar sekitarnya dan lainnya. Dia sering disebut oleh kawan-kawannya dari Laskar Wirogaten Jatimalang, Majelis Diskusi Balitara, kawan-kawan nyarkub-nya dan kawan-kawan lainnya dengan julukan atau gelar berikut: Ki Sambang Kuburan, Mbah Pasarean, Sunan Kijing, Sunan Maesan, Sunan Pathok Kuburan, Sunan Jogo Kuburan, Sunan Jogo Maqom, Mbah Kanjeng Gadhung Melati karena seringnya ziarah ke berbagai makam atau kuburan. Dia juga kadang disebut Mbah Petilasan atau Mbah Dhanyangan atau Raden Dhanyangan sebab seringnya ziarah ke berbagai petilasan-petilasan dan dhanyangan-dhanyangan leluhurnya guna menggali sejarah. Waktu duduk di sekolah MTsN Kunir Wonodadi Blitar, dia sering disebut dengan julukan: Mbah Djayeng Kathon, Mbah Ndoyin, pernah pula diberi julukan Ki Tamat sebab waktu membuat PR cerita ditulisi TAMMAT pada bagian bawahnya. Sementara dalam komunitas Pembuat Borang FAI UNU Blitar, sering disebut Syaikh Belabelu. Waktu duduk dibangku MAN Tlogo sering dipanggil Ki Pekik Suro. Waktu di Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung sering disebut dan dipanggil dengan sebutan “Mbah Jalal” yang nama lengkapnya adalah Mbah Muhammad Jalaludin Az-Zubaidi Al-Blitari. Dia juga pernah diberi julukan Pangeran Hing Hong atau Koh Yin ketika bekerja dengan orang Cina atau Tionghoa. Kontak Person dengan penulis adalah WA/HP: 085649706399.

Arif Agus Setiawan dan Arif Muzayin Shofwan setelah diskusi di Gereja Santa Maria Blitar bersama Jaringan GusDurian (yakni, kelompok pemuda Nahdlatul Ulama yang peduli isu toleransi, demokrasi, pluralisme, dan semacamnya)
Bersama Jaringan GusDurian (kelompok pemuda-pemudi Nahdlatul Ulama yang peduli dengan isu kebersamaan, hidup rukun damai dengan agama lainnya) di Gereja Santa Maria Blitar.

Minggu, 03 November 2019

SEPERCIK KAWERUH EYANG SOSROKARTONO


Sepercik Kaweruh
EYANG SOSROKARTONO


Disusun oleh
Muhammad Agung Priyokusumo
Arif Muzayin Shofwan




Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI SPIRITUAL”

 
Blitar – Jawa Timur
Judul Buku:
“SEPERCIK KAWERUH EYANG SOSROKARTONO”
Disusun oleh:
Muhammad Agung Priyokusumo
Arif Muzayin Shofwan

Penyunting: Muhammad Hafidz
Tim Kreatif Wacana: Ahmad Mansuri
Penyelaras Akhir: Sulaiman

Untuk Kalangan Sendiri

Cetakan Pertama, 2018



Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI SPIRITUAL (KPBS)”

 
Blitar – Jawa Timur
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada para Nabi dan Rasul, para ahli bait dan sahabatnya serta anak Adam di seluruh penjuru dunia. Ada yang menyatakan bahwa Eyang Sosrokartono merupakan sosok jenius yang pernah menjadi wartawan, guru, dan spiritualis luar biasa.
Tulisan berjudul “Sepercik Kaweruh Eyang Sosrokartono” ini merupakan sebuah buku yang menjelaskan kata-kata mutiara Eyang Sosrokartono. Yakni seorang wartawan, spiritualis hebat, guru bangsa yang pernah ada di bumi Nusantara tercinta. Beliau juga merupakan seorang POLIGLOT (AHLI BANYAK BAHASA) yang menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku.
Oleh karena mengharap manfaat dari buku ini, maka dua penulis buku ini berdoa: “Semoga Allah SWT memberikan manfaat yang luar biasa kepada semua pembaca buku ini. Dan semoga kata-kata mutiara Eyang Sosrokartono selalu menginspirasi perjalanan spiritual kita semua. Amiin, Amiin, Amiin, Ya Rabbal Alamin.’’
Blitar, 15 Juni 2018
Penyusun,

Muhammad A.P. & Arif M.S.
DAFTAR ISI

Judul Buku ~ 1
Kata Pengantar ~ 3
Daftar Isi ~ 4
Bab I: Sekelumit Tentang Eyang Sosrokartono ~ 5
Bab II: Guru Sejati, Ikhlas, Trimah, dan Pasrah ~ 7
Bab III: Kanthong Bolong, Sugih Tanpo Bolo, Digdoyo Tanpo Aji ~ 9
Bab IV: Kata-Kata Mutiara Eyang Sosrokartono I ~ 11
Bab V: Kata-Kata Mutiara Eyang Sosrokartono II ~ 13
Daftar Bacaan ~ 15
Tentang Penulis - 16
BAB I
SEKELUMIT TENTANG EYANG SOSROKARTONO

Eyang Sosrokartono yang memiliki nama lengkap Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabo Paing 10 April 1877. Beliau kakak dari Raden Ajeng Kartini putra dari R.M. Adipati Ario Sosroningrat bupati Jepara. Sejak kecil Eyang Sosrokartono telah memiliki keistimewaan dan mampu membaca masa depan. Tahun 1898 dia sekolah ke negeri Belanda. Tahun 1917 ketika koran Amerika The New York Herald Tribune membuka lowongan wartawan, Eyang Sosrokartono terpilih sebagai wartawan surat kabar bergengsi di Amerika tersebut. Agar pekerjaan sebagai wartawan perang lancar maka dia diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika.
Perlu diketahui bahwa Eyang Sosrokartono merupakan seorang POLIGLOT (ahli banyak bahasa), yakni ada 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku Nusantara yang beliau kuasai. Di Wina (Austria), Eyang Sosrokartono dikenal sebagai “JENIUS DARI TIMUR”. Selain itu, Eyang Sosrokartono juga bekerja sebagai wartawan beberapa surat kabar dan majalah di Eropa.
Sejak tahun 1919-1921, karena penguasaannya pada 24 bahasa asing, Eyang Sosrokartono diangkat sebagai kepala penterjemah untuk semua bahasa di Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) yang pada akhirnya LBB ini diubah namanya menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa ([PBB] United Nations Organization).
Tahun 1925, Eyang Sosrokartono pulang ke tanah air dan menetap di Bandung. Eyang Sosrokartono pernah ditawari jabatan sebagai bupati oleh Pemerintah Hindia Belanda, namun beliau menolaknya. Beliau lebih memilih menjadi kepala sekolah di Perguruan Taman Siswa yang baru didirikan di Bandung. Guru-guru di sekolah tersebut antara lain: Ir. Soekarno, Mr. Sunario, dan Mr. Ustman Sastroamidjoyo.
Setelah tahun 1927 Eyang Sosrokartono keluar dari Perguruan Taman Siswa karena tekanan Belanda, beliau kemudian sering melakukan TAPABRATA. Beliau suka puasa tanpa berbuka dan sahur, serta tidak tidur selama berhari-hari, hingga 40 hari lebih lamanya. Tanggal 30 April 1930, Eyang Sosrokartono mulai mengadakan penyembuhan dengan air putih di Padepokan Darussalam miliknya di Bandung.
Eyang Sosrokartono dikenal dengan banyak sebutan, seperti: Ndoro Sosro, Dokter Cai, Dokter Alif, Om Sos, Joko Pring, Mandor Klungsu, dan beberapa sebutan lainnya. Dan pada hari Jumat Paing, 8 Februari 1952, Eyang Sosrokartono wafat dan dimakamkan di Makam Keluarga Sedhomukti, Kudus. Kata Bung Karno: “...Drs. Sosrokartono almarhum adalah salah seorang sahabat saya dan beliau adalah seorang putra Indonesia yang besar.”. Selamat jalan Eyang Sosrokartono.[]
BAB II
GURU SEJATI, IKHLAS, TRIMAH, DAN PASRAH

Eyang Sosrokartono pernah menjelaskan tentang “GURU SEJATI” dengan pernyataannya sebagai berikut: “MURID GURUNE PRIBADI. GURU MURIDE PRIBADI. PAMULANGE SENGSARANE SESAMI. GANJARANE AYU LAN ARUME SESAMI”, artinya: “Murid gurunya adalah diri pribadinya. Guru muridnya adalah diri pribadinya. Ilmu pengetahuannya adalah penderitaan sesama. Balasannya adalah kebaikan dan keharuman sesama.”
Ungkapan di atas mengandung pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru, dan diri seseorang tersebut menjadi murid dari GURU SEJATI. Jadi GURU dan MURID menyatu di dalam diri pribadinya masing-masing. Sedangkan ilmu pengetahuannnya adalah segala penderitaan di dunia ini. Yakni, segala bentuk ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang langsung dari Tuhan. Buah pahala dari segala ilmu pengetahuan dan pengalaman yang langsung dari Tuhan adalah kebaikan dan keharuman sesama.
Selanjutnya Eyang Sosrokartono juga menyatakan: “SINAU NGRAOSAKE LAN NYUMEREPI TUNGGALIPUN MANUNGSA, TUNGGALIPUN RASA, TUNGGALIPUN ASAL LAN MAKSUDIPUN AGESANG” artinya: “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari asal yang sama dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”
Eyang Sosrokartono kemudian juga menyatakan: “TANSAH ANGLAMPAHI DADOS MURIDING AGESANG” artinya: “Selalu menjalani menjadi murid kehidupan”. Yakni, KEHIDUPAN ini merupakan GURU kita. KITA berguru pada KEHIDUPAN. Dan KEHIDUPAN merupakan GURU kita. Sebab KEHIDUPAN mengajarkan banyak hal kepada KITA. Ada ungkapan: “PENGALAMAN DALAM KEHIDUPAN INI ADALAH GURU YANG TERBAIK”.
Dalam menjalani dan mengatasi kehidupan ini, Eyang Sosrokartono juga menyatakan demikian: “IKHLAS MARANG OPO SING WIS KELAKON. TRIMAH MARANG OPO KANG DILAKONI. PASRAH MARANG OPO KANG BAKAL ONO”, artinya: “Ikhlas (lilo legowo) terhadap apa yang telah dijalani. Menerima (trimah) terhadap apa yang sedang dialami. Pasrah terhadap apa yang akan dihadapi mendatang.”
Jadi, IKHLAS UNTUK MASA LALU dapat diartikan: tidak mencari pamrih, tidak ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Sedangkan MENERIMA UNTUK SAAT INI artinya: tidak terlalu menyesali nasib, sebab dibalik derita ada bahagia, dan dibalik bahagia pasti ada derita. Selanjutnya PASRAH UNTUK MASA DEPAN artinya kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Untuk itu, semua dipasrahkan kepada Tuhan. Semoga semua ajaranmu bermanfaat bagi kami Eyang Sosrokartono.[]
BAB III
KANTHONG BOLONG, SUGIH TANPO BANDHA, DAN DIGDAYA TANPO AJI

Eyang Sosrokartono memang seorang spiritual, ahli pengobatan dan paranormal yang berjiwa IKHLAS. Dalam menolong setiap orang yang datang kepadanya, beliau menggunakan filsafat “KANTHONG BOLONG” dengan ungkapannya sebagai berikut: “NULUNG PEPADANE ORA NGANGGO MIKIR WAYAH, WADUK, KANTHONG. YEN ONO ISI LUMUNTUR MARANG SESAMI” artinya: “Menolong sesama manusia tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, dan saku. Bahkan, jika saku (kanthong) berisi akan mengalir kepada sesama.”
Ungkapan Eyang Sosrokartono lainnya adalah: “NULUNG TIYANG KULO TINDAK-AKEN ING PUNDI-PUNDI, SAK MONGSO-MONGSO, SAK WANCI-WANCI”, artinya: “Menolong orang itu saya lakukan di mana-mana, sewaktu-waktu, dan kapan saja”. Ini terbukti bahwa Eyang Sosrokartono dalam menolong orang dimulai waktu pagi hingga jam 24.00 WIB (Dua Belas Malam) baru kemudian Padepokan Darussalam ditutup pada jam tersebut. Namun beliau setelah itu tidak langsung tidur. Beliau seringkali bermain catur hingga pukul 3 (Tiga) atau 4 (Empat) pagi, itupun sambil berdiri. Beliau juga biasa laku TAPABRATA atau TIRAKAT hanya dengan makan cabe (lombok) dan satu buah pisang.
Dalam kehidupan ini, Eyang Sosrokartono memakai filsafat demikian: “SUGIH TANPO BONDO. DIGDAYA TANPO AJI. NGLURUG TANPO BOLO. MENANG TANPO NGASOR-AKE”, artinya: “Kaya tanpa harta benda. Sakti atau memiliki keampuhan tanpa ajimat. Menyerang musuh tanpa bala tentara. Menang tanpa merendahkan”. Kata-kata ungkapan mutiara tersebut tertulis pada salah satu batu nisan makam Eyang Sosrokartono di Sidhomukti, Kudus.
Eyang Sosrokartono lalu menyatakan: “PUJI KULO MBOTEN SANES NAMUNG SUGIH SUGENG, SENENG-IPUN SESAMI”, artinya: “Apa yang saya puji tidak lain hanyalah kaya keselamatan dan kebahagiaan-nya sesama mahkluk hidup”. Jadi, kekayaan keselamatan dan kebahagian inilah yang lebih penting dalam kehidupan ini. Diibaratkan demikian: “Untuk apa kita kaya raya akan harta benda, akan tetapi kita miskin keselamatan dan miskin kebahagiaan?”.
Dalam menjalani kehidupan, Eyang Sosrokartono menekankan pentingnya TEKAD, PASRAH, dan KEADILAN TUHAN. Eyang Sosrokartono menyatakan demikian: “AJINIPUN INGGIH MBOTEN SANES NAMUNG AJI TEKAD. ILMUNIPUN ILMU PASRAH. RAPALIPUN ADILIPUN GUSTI”, artinya: “Ajian-nya dalam kehidupan tidak lain hanyalah Aji Tekad. Ilmunya adalah Ilmu Pasrah. Sedangnya mantra atau doa-nya adalah keadilan Tuhan Yang Maha Kuasa”. []
BAB IV
KATA-KATA MUTIARA EYANG SOSROKARTONO I

Banyak sekali kata-kata mutiara Eyang Sosrokartono yang dapat kita gunakan untuk bekal menjalani kehidupan saat ini. Oleh karena itu, saya persembahkan kata-kata mutiara Eyang Sostrokartono sebagaimana berikut, antara lain:
1.   INGKANG KULO DAL-AKEN DUDU TEKAD PAMRIH, ANANGING TEKAD ASIH. Artinya: “Yang saya gunakan atau keluarkan bukanlah tekad pamrih, akan tetapi tekad asih.”
2.   ANGLURUG TANPO BOLO, TANPO GAMAN. AMBEDHAH TANPO PERANG, TANPO PEDANG. Artinya: “Mengejar musuh tanpa bala tentara, tanpa senjata. Menundukkan musuh tanpa perang, tanpa pedang.”
3.   SUWUNG PAMRIH, SUWUNG AJRIH, NAMUNG MADOSI BARANG INGKANG SAE, SEDAYA KULO SUMANGGAK-AKEN MARANG GUSTI. Artinya: “Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya serahkan kepada Tuhan.”
4.   YEN KULO AJRIH, KENGING DIPUN WASTANI NGANDUT PAMRIH UTAWI ANCAS INGKANG MBOTEN SAE. Artinya: “Jika saya merasa takut, boleh dikatakan bahwa saya menyimpan pamrih atau niat yang tidak baik.”
5.   LUH INGKANG MEDAL SAKING MANAH PUNIKO DUDU LUH-IPUN TANGIS PAMRIH, NANGING LUH PERESANIPUN MANAH SUWUNG PAMRIH. Artinya: “Air mata yang keluar dari hati ini bukanlah air mata karena tangisan pamrih, tetapi air mata perasaan hati yang sepi atau kosong dari pamrih.”
6.   WOSIPUN INGGIH PUNIKO NGUPADI PADHANG ING PETHENG, SENENG ING SENGSARA, TUNGGALING SEWU YUTA. Artinya: “Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap. Senang dalam kesengsaraan. Ribuan juta contohnya.”
7.   KULO BADHE NYOBI PERABOTIPUN WONG LANANG, INGGIH PUNIKO: BARES, MANTEP, WANI. Artinya: “Saya akan mencoba identitas seorang lelaki, yaitu: jujur, mantap, dan berani.”
8.   OJO DUMEH, TEPO SLIRO, NGERTI KUWALAT. Artinya: “Jangan merasa hebat. Terhadap siapapun tenggang rasa. Dan harus tau tuah (semacam hukum karma).”
9.   PRABOT KULO MBOTEN SANES BADAN LAN BUDI. Artinya: “Atribut yang bisa saya bawa kapan saja adalah badan dan budi.”
Demikian sekelumit kata mutiara Eyang Sosrokartono. Semoga kata-kata tersebut bermanfaat bagi kita.[]
BAB V
KATA-KATA EYANG SOSROKARTONO II

Selain kata-kata mutiara di atas, pada bab ini juga dipersembahkan kata-kata mutiara Eyang Sosrokartono ke-II lanjutannya. Berikut merupakan kata-kata mutiara Eyang Sosrokartono yang bisa diresapi dan direnungkan dalam kehidupan sehari-hari:
1.   TIYANG MLAMPAH PUNIKO SANGUNIPUN LAN GEMBOLANIPUN SATUNGGAL INGGIH PUNIKO MAKSUDIPUN. Artinya: “Orang yang melakukan perjalanan spiritual itu hanya memiliki satu bekal, yaitu satu tujuan/niat.”
2.   NYEBAR WIJI SEDEREKAN LAN WIJI UTAMANING KEJAWEN ING MANCA NAGARI. Artinya: “Benih-benih persaudaraan dan benih-benih keutamaan dari Jawa itulah yang harus disebarkan ke semua negara.”
3.   TUMRAPING KULO PIYAMBAK, KEJAWI URUN BATOS, KULO KEDAH WANI URUN BADAN, URUN DADA, URUN BAHU. Artinya: “Bagi saya pribadi, membantu kepada sesama manusia itu selain dengan pengorbanan batin, juga harus berani membantu dengan dada dan bahu.”
4.   NGAWULO DATENG KAWULONE GUSTI LAN MEMAYU AYUNING URIP, TANPO PAMRIH, TANPO AJRIH, JEJEG MANTEB, MAWI PASRAH. SEBAB PAYUNG KULO GUSTI KULO. TAMENG KULO INGGIH GUSTI KULO. Artinya: “Dalam menjalani kehidupan ini, saya mengabdikan diri saya kepada sesama hamba Tuhan dan menyempurnakan kebahagiaan hidup, tanpa pamrih, tanpa takut, berdiri tegak, mantap dengan pasrah kepada Tuhan. Sebab yang melindungi saya adalah Tuhan. Dan tempat bergantung saya adalah Tuhan.”
5.   YEN KULO MUNDUR SEBAB AJRIH, KULO KENGING DIPUN WASTANI KIRANG DATHENG GUSTI. Artinya: “Apabila saya mundur sebab merasa takut, maka saya bisa dinilai sebagai orang yang kurang pasrah kepada Tuhan.”
6.   ANGUNGKUP KABEH, ANYANDAK SIJI. Artinya: “Segala sesuatu harus diraih, tapi hanya satu yang kita pegang, yaitu ridha Tuhan.”
7.   AMBUKO NETRO TEGESIPUN ANUTUP NETRO. ANGGELAR PEMANDHENG TEGESIPUN ANGRINGKES PEMANDHENG. Artinya: “Membuka mata artinya menutup mata.  Meluaskan pandangan artinya meringkas pandangan.”
8.   WANI MENGKU ANTEPING ATI, KENCENGING PIKIR, BOBOTING KEKUATANE. Artinya: “Berani menanggung kemantapan hati, pikiran yang lurus, dan bobotnya kekuatan.”
Demikian kata mutiara Eyang Sosrokartono selesai. []
DAFTAR BACAAN

Indy G. Hakim (2008). Tafsir Surat-Surat & Mutiara-Mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono. Pustaka Kaona.
Pa’ Roesno (1945). Karena Panggilan Ibu Sejati: Riwayat Hidup Dari Drs. R.M.P. Sosrokartono. Djakarta.
Panitia Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono (1992). Kempalan Serat-Serat Drs. Sosrokartono. Surabaya.
Anonim (1931). Kempalan Serat-Serat Drs. R.M.P. Sosrokartono. Serat saking Medan 12 Mei 1931 dalam Suxmantojo.
R. Momammad Ali (Tanpa Tahun). Ilmu Kanthong Bolong, Ilmu Kanthong Kosong, Ilmu Sunyi Drs. R.M.P. Sosrokartono. Tanpa Alamat.
Serat-Serat Eyang Sosrokartono I, yakni: Serat Saking Binjai 5 Juli 1931 dan 9 Juli 1931; Serat Saking Tanjung Pura (Langkat), 26 Oktober 1931.
-------- II, yakni: Serat Saking Tanjung {Pura 11 Oktober 1993; Djoko Pring “Aji Pring” Binjai 12 Nov 1931; Djoko Pring “Omong Kosong” Binjai 12 Nov 1931.
-------- III, yakni: Djoko Pring “Lampah Lan Maksudipun” Binjai 12 Nov 1931; Foto Copian Tahun 1992; Blog Arienda; Blog Inggra; Blog Wib; dan lainnya.
TENTANG PENULIS
Muhammad Agung Priyokusumo, lelaki yang lahir pada bulan November ini merupakan salah seorang spiritualis dari Blitar, Jawa Timur. Dia banyak mempelajari berbagai macam teknik meditasi, di antaranya: Meditasi Sufi, Meditasi Samatha, Meditasi Vippasana, Meditasi Anapanasati, Meditasi Reiki, dan berbagai macam teknik meditasi lainnya. Selain itu, lelaki yang pernah bekerja sebagai Kepala Bagian Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Blitar ini juga sering mengkaji berbagai kitab tasawuf seperti: Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ahmad Ibnu Athoillah As-Sakandari, Kitab Insan Kamil, Kitab Hakikatul Makrifat, dan lain sebagainya. Pria ini juga banyak mengkaji buku-buku kebatinan Jawa, seperti: Serat Hidayat Jati, Salat Daim Mulat Sarira, buku kebatinan Eyang Sosrokartono, dan lainnya.[]
Arif Muzayin Shofwan, lelaki yang lahir pada bulan Juni ini merupakan seorang spiritualis yang berasal dari Blitar, Jawa Timur. Lelaki yang berprofesi sebagai tenaga pendidik ini pernah menulis buku bersama Mbah Haji Muhammad Agung Priyokusumo berjudul “Kitab Suluk Rumekso Ing Napas” dan “Buku Panduan Reiki Tingkat Dasar” serta “Buku Panduan Ritual Menarik Pusaka”. Selain itu, secara pribadi, lelaki yang suka meditasi dan tafakur ini juga pernah menulis buku berjudul “Risalah Dzikir Hifdzul Anfas Wal Aurod Dilengkapi Dengan Sepercik Inti Wejangan Sunan Tembayat” serta “Risalah Dzikir Hasbalah” dan judul buku-buku lainnya.[]