Kamis, 22 Maret 2018

BEDAH BUKU “ADA AKU DI ANTARA TIONGHOA DAN INDONESIA” DI KLENTENG POO AN KIONG KOTA BLITAR


Arif Muzayin Shofwan

JATIMTIMES, BLITAR Forum Persaudaraan Blitar Raya menggelar diskusi dan bedah buku “Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia” di Kelenteng Poo An Kiong, Rabu (21/3/2018) malam. Dalam acara ini, hadir sejumlah masyarakat, tokoh lintas agama, aktivis dan mahasiswa.

Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen), Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar), dan Bingky Irawan Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Surabaya).

Arif Muzayin Shofwan dalam paparannya menyampaikan bahwa buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia telah dibedah di 32 kota dan 2 negara. Tapi, sambung dia, Blitar berbeda dengan daerah lain karena acara bedah buku digelar di kelenteng, pusat kebudayaan dan agama masyarakat Tionghoa.

“Dari 32 kota dan 2 negara, yang diselenggarakan di kelenteng cuma di Blitar. Saya mengucap terima kasih kepada pengurus Kelenteng Poo An Kiong,” kata Arif Muzayin.

Ia menambahkan, bedah buku ini digelar bertepatan dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada 21 Maret. Buku Ada Aku Diantara  Tionghoa dan Indonesia berisi kumpulan narasi memori oleh 73 penulis. Beberapa tulisan di antaranya China Itu Temanku karya Dhyana Wijayanti, Aku Ketionghoaan dan Keindonesiaan karya Dede Oetomo, Aku Mereka dan Perbedaan karya Humam Rimba, Ada Aku diantara Tionghoa dan Indonesia karya Suryanto. Arif Muzayin Shofwan juga menyumbangkan karya tulisannya di buku ini dengan judul Saya, Darah Cina, Arab, Jawa, dan Pergumulan dengan Etnis Tionghoa serta Kemajemukan Indonesia.

”Kita seringi mendegar dan melihat bahwa orang China era sekarang sering dipolitisasi. Mungkin kita sering melihat di media sosial muncul postingan bahwa China itu komunis dan lainnya.  Buku ini mengajak kita untuk menghapuskan sekat-sekat itu (Tionghoa dan Indonesia). Bahwa kita dilahirkan berbeda merupakan suatu keniscayaan. Kita lahir berbeda, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling membenci, tapi untuk saling mengenal dan bersatu padu,” ucapnya.

 Pada kesempatan ini, Arif juga menyampaikan bahwa hubungan masyarakat Indonesia-China sudah terjalin sejak era Indonesia lama dan pada masa itu pernah hidup rukun berdampingan. Salah satu bukti akulturasi terjadi di masa Wali Songo. Konon Sunan Kalijaga pernah memerintahkan Sunan Tembayat untuk membunyikan beduk di Semarang. Dalam penelitiannya, Arif menemukan bahwa beduk merupakan budaya yang ada di dalam masyarakat Tionghoa.

“Dalam penelitian, saya menemukan bahwa beduk adalah tradisi China atau Tionghoa. Sementara kentongan adalah tradisi Jawa. Belum lagi Sunan Kalijaga memproklamirkan baju takwa. Kalau di budaya Tionghoa disebut baju koko,” ungkapnya.

Sementara, Daniel Lim di kesempatan ini menyampaikan apabila kita membuka lembaran dan melihat dengan kacamata objektif, ada banyak cerita indah tentang Tionghoa di Indonesia. Artinya, kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak hanya diisi dengan kisah-kisah menyedihkan.

“Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia menawarkan persepektif yang baru, yang unik. Banyak sekali cerita positif antaretnis di Indonesia. Buku ini memotret bahwa etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia bisa hidup rukun berdampingan secara harmonis,” katanya.

Daniel Lim juga menyampaikan bahwa etnis Tionghoa juga harus mengakui ada sisi buruk mereka. Seperti pemilik toko yang memperlakukan karyawan dengan kurang baik. Menurut dia, hal ini merupakan lingkaran setan yang harus segera dihilangkan.

“Problematika antaretnis yang kita hadapi ini ibarat lingkaran setan. Jadi semakin tinggi stigma jelek etnis lain terhadap etnis Tionghoa, semakin menggerus rasa kebangsaan etnis Tionghoa. Sebaliknya ketika etnis Tionghoa semakin tidak peduli dengan bangsa, maka etnis lain akan menganggap etnis Tionghoa ini adalah etnis luar, bukan etnis bagian dari bangsa Indonesia," ucap dia.

Untuk memutus rantai lingkaran setan ini, sambung Daniel,  kedua belah pihak harus melihat sisi positif dari segala permasalahan. Buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia mengajak menolak stereotipe dari etnis tertentu.

“Menurut saya, kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah lebih meningkat dibandingkan dulu. Hal itu salah satunya berkat perjuangan Gus Dur. Buktinya kita bisa menggelar diskusi ini. Kalau zaman dulu, rasanya tidak mungkin kita diskusi dan ngomong vulgar soal Tionghoa. Oleh karena itu, saya mengajak saudara-saudara saya dari Tionghoa untuk mulai melihat dirinya sebagai bagian dari Indonesia, untuk mulai aktif dan berkontrobusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan itulah kehidupan kita akan menjadi lebih baik,” tandasnya.

Senada dengan Daniel Lim, Bingky Irawan juga menilai etnis Tionghoa harus mulai aktif menyuarakan pendapatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Aktif bukan hanya berpolitik, tapi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita (etnis Tionghoa) harus berani tampil karena jaman sudah bukan lagi orde baru,” tegasnya.

Bingky, warga keturunan Tionghoa yang malam itu tampil dengan pakaian adat Jawa, dalam kesempatan ini juga mengimbau kepada para tokoh tokoh agama untuk membimbing umat untuk hidup rukun dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia juga berharap acara diskusi seperti ini bisa digelar secara berkelanjutan.

“Para romo dan para kiai harus bisa membimbing umatnya. Dan saya berharap kedepan bisa digelar sarasehan lintas agama di tempat lain. Tidak hanya kelenteng tapi bisa digelar di gereja atau padepokan,” harapnya.(*)

Pewarta
: Aunur Rofiq
Editor
: Yunan Helmy
Publisher
: Debyawan Dewantara Erlansyah


Sumber
: Blitar TIMES



JATIMTIMES, BLITAR  Lagu-lagu Jawa berkumandang di Kelenteng Poo An Kiong Blitar malam itu, Rabu (21/3/2018) malam, dalam acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia. Momen ini langka terjadi di Indonesia. Dan merupakan kali pertama agu-lagu Jawa berkumandang sejak Kelenteng Poo An Kiong berdiri pada tahun 1829.

Seperti diketahui, pada zaman penjajahan dan masa pemerintahan Presiden Soeharto (era Orde Baru), hubungan masyarakat Jawa-China terhambat oleh sekat-sekat yang salah satunya akibat politisasi.

Pada masa Orde Baru, kesenian tradisional asal China (Tiongkok)  sempat dilarang. Dalam masa politik saat itu segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Begitupun di masa penjajahan.

Setelah tahun 1998, atau sesudah lengsernya rezim Orde Baru, geliat kesenian tradisional Tionghoa kembali muncul. Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur saat itu mengeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967 tentang segala adat istiadat, kepercayaan dan budayanya. Perlahan, hubungan Tionghoa-Indonesia pun mencair.

Acara bedah buku Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia menghadirkan masyarakat lintas agama. Mulai dari tokoh lintas agama, aktivis dan mahasiswa. Pembahasan bedah buku dan diskusi menghadirkan tiga tokoh. Masing-masing Arif Muzayin Shofwan (tokoh pemuda, penulis, dosen), Daniel Lim (tokoh pemuda, direktur Graha Bangunan Blitar) dan Bingky Irawan Hadinegoro (sesepuh Tionghoa Blitar).

Menariknya, malam itu Bingky Irawan, tokoh keturunan Tionghoa ini memakai busana adat Jawa. Dalam kesempatan ini ia mengakui rasa cintanya yang besar terhadap NKRI. Bahkan, Bingky yang juga seniman melantunkan salah saru karya lagu ciptaannya yang mengambil genre lagu Jawa.

“Gus Dur pernah bilang, agama saya Islam tapi Islam Nusantara. Dan saya sebagai Konghucu juga Konghucu Nusantara. Maka saya bikin lagu-lagu Jawa sebagai wujud kecintaan saya kepada Indonesia,” kata Bingky Irawan.

Sejumlah budayawan juga hadir dalam acara bedah buku ini. Momen ini manfaatkan mereka untuk menjalin hubungan lebih mendalam antara masyarakat Jawa-Cina. Budayawan Yoyok Madyono menilai positif acara yang digelar bertepatan dengan hari penghapusan rasial sedunia yang jatuh tepat pada 21 Maret.

“Acara ini seperti yang kita harapkan. Karena dulunya Tionghoa dengan orang Jawa memang ada sekat. Harapan saya, sangatlah tepat apabila di Klenteng ini sering dilaksanakan acara lintas agama. Karena kita senang sekali bila bisa berkumpul dengan etnis Tionghoa. Acara ini positif karena memberi kira pandangan mengenai berbangsa dan bernegara,” ungkap Yoyok.

Di kesempatan ini Yoyok juga melantukan satu buah tembang Jawa ciptaannya, sebagai ungkapan syukur masyarakat Jawa-China di Blitar malam itu bisa bertemu, bersilaturahmi dalam kerukunan. Begini isi lirik lagu tersebut :

Dhandang Gula
Sugeng dalu Bapak lan Ibu sami
Keparenga kula matur bagiya
Mrih nis kala sedayane
Anggung manggih rahayu
Sesarengan dalu punika
Nugrahe pangeran
Kang mawantu-wantu
Kita sami pepanggihan
Adi cara bedah buku Tionghoa-Indonesia
Klenteng Poo An Kiong Mblitar

Pewarta
: Aunur Rofiq
Editor
: Yunan Helmy
Publisher
: Alfin Fauzan
Sumber
: Blitar TIMES


Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)

Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur) dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)
Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)

Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (teman perjuangan Gus Dur), dan Daniel Lim (Dokumentasi, 2018)
Daniel Lim (Direktur Graha Bangunan Blitar), Arif Muzayin Shofwan, Bingky Irawan (Dokumentasi, 2018)
Arif Muzayin Shofwan (Dokumentasi, 2018)
Bingky Irawan, Mbah Juned (Perintis GMNI), Daniel Lim, Arif Muzayin Shofwan, Purnomo, dan Min Ho (Dokumentasi, 2018)
Mbah To (Ketua Anshor Blitar) di tengah-tengah Banser usai bedah buku di Klenteng Poo An Kiong Blitar (Dokumentasi, 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar