Arif Muzayin Shofwan
Ketua Divisi
Pluralis Multikulturalis The Post Institute Blitar
Email: arifms78@yahoo.co.id.
Nama
saya Arif Muzayin Shofwan, dan biasa dipanggil Arif Klenik. Dipanggil demikian,
karena memang saya suka hal-hal yang berbau klenik seperti berkunjung ke tempat-tempat
keramat, kuburan para kiai atau wali, sandranan-sadranan
desa atau dusun, petilasan tokoh-tokoh agung dan semacamnya. Bukan maksud
saya berziarah ke tempat-tempat tersebut untuk berbuat syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi saya hanya ingin mengkaji
sejarah kehidupan dan perjuangan para tokoh yang telah wafat tersebut. Saya merupakan
salah satu aktifis The Post Institute Blitar dan dipercaya sebagai ketua divisi
multikultural, yang mana dalam sisi tertentu juga harus fokus pada kajian
pesantren dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di lembaga tersebut memang ada dua nama
Arif yang memiliki kesukaan berbeda, yakni: saya dan Arif Agus Setiawan. Nama
yang saya sebut ini sering dipanggil dengan Arif Aidit, Arif Musik, dan
terakhir Arif Loundry. Tak ada kisah yang tertulis dalam buku dan kitab suci apapun
mengapa dia harus dipanggil dengan ketiga sebutan tersebut. Namun sejauh yang
saya ketahui, hal tersebut hanya untuk membedakan dua nama Arif yang berbeda dalam
satu lembaga.
Ada
banyak pengalaman menarik yang saya peroleh di The Post Institute, yakni sebuah
NGO yang dipimpin oleh Mawan Mahyuddin. Saya pernah diberi kepercayaan oleh Mas
Mawan, panggilan akrab Mawan Mahyuddin untuk mengisi kajian tentang jalan
menuju Tuhan. Sebenarnya saya juga agak ragu untuk mengkaji topik semacam itu.
Bagaiamana tidak ragu, saya sendiri juga belum pernah menuju dan bertemu Tuhan.
Namun, kesempatan yang diberikan Mas Mawan tersebut saya gunakan semaksimal
mungkin. Saya masih ingat, bahwa kajian tersebut terangkai pada bulan Ramadhan
menjelang Maghrib dan menjelang makan sahur. Ada banyak kawan yang mengikuti
kajian tersebut di antaranya; beberapa aktifis Perhimpunan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), ustadzah dari MAMNU Blitar, ustadz Madrasah Diniyah (MADIN),
guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan aktifis-aktifis lainnya. Adapun yang paling
menyenangkan, kajian tersebut juga dihadiri empat inteljen dari pihak
kepolisian Resort Blitar.
Pengalaman mengisi kajian di The Post Institute tersebut,
saya awali manakala memberikan materi bertema “Jalan Menuju Tuhan Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef Kedunglo Kediri”.
Dalam kajian tersebut, saya mengupas biografi Kiai Haji Abdoel Madjid yang
merupakan penyusun shalawat Wahidiyyah. Saya menceritakan bahwa Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef lahir pada
tahun 1920 masehi. Beliau merupakan salah satu putra Kiai Haji Muhammad
Ma’roef, seorang kiai pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri. Saya
ceritakan pula bahwa kedua tokoh tersebut merupakan orang yang berpengaruh di
kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Begitu pula, Kiai Haji Abdoel Madjid
Ma’roef pernah menjabat sebagai anggota Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Kodya
Kediri.
Setelah saya menceritakan biografi Kiai Haji Abdoel
Madjid Ma’roef sebagaimana di atas, lalu saya menceritakan bagaimana awal mula
beliau menyusun shalawat Wahidiyyah. Saya ceritakan bahwa, bermula pada bulan
Juli 1959, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef menerima isyarah gaib dalam keadaan terjaga dan sadar agar dirinya
“mengangkat nasib masyarakat”. Dalam isyarah
gaib tersebut, Kiai Abdoel Madjid Ma’roef diperintah agar memperbaiki dan
membangun mental masyarakat khususnya dengan jalan bathiniyyah berupa kesadaran (makrifat)
kepada Allah swt dan Rasul-Nya saw. Mula-mula dia mendapat isyarah gaib agar memperbanyak shalawat Badawiyah karya Syaikh Ahmad al-Badawi, shalawat Nariyah karya Syaikh Abdul Wahab
al-Tazi, shalawat Munjiyat karya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan shalawat Masyisiyah
karya Syaikh Abdus Salam bin Masyisyi untuk memperbaiki dan membangun mental
masyarakat. Selanjutnya muncul isyarah
gaib kedua agar dia segera berusaha memperbaiki dan membangun mental masyarakat
melalui rangkaian bacaan shalawat yang pada akhirnya dikenal dengan nama
shalawat Wahidiyah.
Saya juga menerangkan dalam
kajian tersebut bahwa Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef memiliki “Enam Ajaran
Wahidiyah” dalam menuju Tuhan, yaitu: Pertama, li Allah: artinya segala amal perbuatan apa saja, baik yang
berhubungan langsung kepada Allah dan Rasul-Nya saw, maupun yang berhubungan
dengan masyarakat luas, dengan sesama makhluk pada umumnya, baik yang wajib,
sunnah atau boleh (wenang; Jawa),
asal bukan perbuatan yang merugikan atau bukan perbuatan yang tidak diridhai
Allah harus diniati untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan ikhlas tanpa
pamrih. Yakni li Allah (semata-mata
karena Allah), bukan li ghair Allah
(selain Allah). Dari sini, tentu saja saya berharap mudah-mudahan apa yang
dilakukan para aktifis The Post Institute selalu didasari dengan niat li Allah, artinya hanya karena Allah
semata dan bukan yang lainnya.
Kedua, bi Allah: artinya kapan dan dimanapun berada senantiasa menyadari
bahwa segala sesuatu termasuk gerak gerik dirinya, baik lahir maupun bathin
disebabkan atas pertolongan Allah swt semata. Seorang hamba tidak boleh mengaku
atau merasa bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah atas kekuatan dan kemampuan
dirinya. Melalui ajaran ini, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef ingin mengajak
pada semua manusia agar selalu menerapkan prinsip “Laa Haula wa Laa Quwwata illa bi Allah” yang artinya tiada daya dan
kekuatan melaksanakan segala sesuatu melainkan atas pertolongan Allah swt. Dari
prinsip itulah muncul ajaran “bi Allah”
(segala sesuatu yang dikerjakan atas pertolongan Allah swt semata). Bagi saya,
ajaran ini mengajarkan betapa manusia memang tidak memiliki kekuatan apapun di
hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Ketiga, li al-Rasul: yakni sebuah ajaran yang mengajak manusia agar
senantiasa menyadari bahwa segala amal perbuatan apa saja, asal bukan perbuatan
keji dan mungkar, bukan perbuatan yang melanggar syariat, baik lahir maupun bathin,
hendaknya diniati karena mengikuti Rasulullah saw semata. Dalam hal ini, saya
jelaskan pula bahwa ajaran li al-Rasul
(karena mengikuti Rasulullah saw) tersebut oleh Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef
didasarkan pada firman Allah swt: “Dan
taatlah kepada Allah (li Allah) dan Rasulnya (li al-Rasul), jika kalian semua
orang-orang yang beriman” (QS. Al-Anfal: 1) dan “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah (li Allah) dan
taatlah kepada Rasul (li al-Rasul) dan janganlah kalian semua merusakkan amal-amal
kalian” (QS. Muhammad: 33). Bagi saya, ajaran ini mengajarkan bagiamana
orang Islam bisa secara utuh (kaffah)
mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
Keempat, ajaran bi al-Rasul: yakni sebuah ajaran yang
mengajarkan agar senantiasa menyadari dan merasa bahwa segala ibadah lahir
maupun bathin yang dilakukan seorang hamba merupakan buah jasa dari Rasulullah
saw. Seorang hamba hingga sekarang ini bisa melaksanakan syariat Islam sebab
jasa-jasa perjuangan Rasulullah saw. Untuk itu, seorang hamba harus sadar “bi al-Rasul” dalam melaksanakan ibadah
apapun, baik lahir maupun bathin. Dalam hal ini, saya juga menyebutkan bahwa
firman Allah swt yang menunjukkan bahwa seorang hamba harus menyadari jasa-jasa
Rasulullah saw tercermin dalam ayat “wa
maa arsalnaaka illa rahmatan li al-alamiin”, artinya dan tiada Aku mengutus
Engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat atau kasih sayang bagi
seluruh alam semesta (QS. Al-Anbiya’: 107). Dengan demikian, bagi saya,
diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam hendaknya harus
selalu disyukuri oleh seorang hamba.
Kelima, yukti kulla dzii haqqin haqqahu: yakni sebuah ajaran yang
mengajarkan agar seseorang senantiasa berusaha memenuhi segala bidang kewajiban
kepada yang berhak. Seseorang hendaknya mengutamakan pemenuhan kewajiban di
segala bidang yang dia lakukan sehari-hari, baik kewajiban kepada Allah swt,
Rasul-Nya, maupun segala kewajiban yang berhubungan dengan sesama. Kewajiban kepada
Allah swt misalnya seorang hamba wajib melaksanakan segala perintah-Nya,
disamping dia juga memiliki hak untuk mendapatkan pahala dari sisi-Nya.
Kewajiban kepada sesama manusia, misalnya seorang suami mempunyai kewajiban
menafkahi seorang istri di samping dia juga mempunyai hak memperoleh pelayanan
seorang istri tersebut dengan baik. Bagi saya, ajaran ini bisa pula diterapkan
bagi para aktifis NGO yang harus terus berusaha memberikan layanan sebaik
mungkin kepada mereka yang berhak menerima pendampingan.
Keenam, taqdim al-aham fa al-aham tsumma al-anfa’ fa al-anfa’: yakni sebuah
ajaran yang mengajarkan bahwa seseorang yang melaksanakan melaksanakan
kewajiban-kewajiban atau tugas-tugasnya, hendaknya mendahulukan yang lebih
penting (al-aham). Apabila keduanya
sama-sama penting, maka harus memilih yang lebih bermanfaat (al-anfa’). Kemudian apabila keduanya
sama-sama lebih bermanfaat, maka harus memilih yang lebih bermanfaat lagi, dan
seterusnya. Dalam hal ini, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef menyatakan bahwa
hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt dan Rasul-Nya saw, terutama sesuatu
yang wajib dipandang sebagai hal yang lebih penting (al-aham). Begitu pula, hal-hal yang bermanfaat bagi umat mengenai
ajaran Islam, harus dipandang sebagai hal yang lebih bermanfaat (al-anfa’) dibanding yang lain. Bagi
saya, seorang aktifis NGO sudah selayaknya mendahulukan hal-hal yang lebih
penting (al-aham). dan lebih bermanfaat
(al-anfa’) dalam kehidupan dunia dan
akhiratnya.
Setelah kajian di atas usai, maka
pada minggu kedua saya memberikan kajian lagi dengan tema “Kajian Kitab Syarh al-Hikam: Jalan Menuju Tuhan Syaikh Ahmad bin Athaillah
al-Sakandari”, tepatnya saat malam menjelang sahur di bulan Ramadlan. Kitab
yang saya sebut ini sering dikaji oleh Kiai Haji Imron Jamil di Radio
Mayangkara Blitar dan areal Makam Syaikh Dimyati Baran, Selopuro, Blitar. Perlu
diketahui pula bahwa kiai satu ini merupakan murid Kiai Haji Abdul Jalil
Mustaqim, seorang mursyid tharikah Syadziliyah dan pengasuh Pondok PETA Tulungagung.
Selanjutnya, sudah menjadi ciri khas bagi saya, bahwa manakala memberikan
kajian, tentu terlebih dahulu memberikan pembahasan tentang biografi tokoh
tersebut. Sebab bagi saya, biografi seorang tokoh sangat penting dipelajari
manakala seseorang ingin menempuh perjalanan spiritual darinya.
Saya menguraikan dalam kajian
tersebut bahwa nama lengkap Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari adalah
Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn
Abdurrahman ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al- Judzami al-Maliki
al-Sakandari. Dia merupakan keturunan Arab yang diperkirakan lahir pada tahun
658 Hijriyah di kota Iskandariah, Mesir. Dia disebut “al-Judzami” sebab dinisbatkan kepada nenek moyangnya yang berasal
dari Judzam, sebuah kabilah Kahlan yang bermuara pada Ya’rib ibn Qahthan, Arab.
Sementara disebut “al-Maliki” sebab
dia merupakan penganut madzhab Imam Malik. Adapun sebutan “al-Syadzili” sebab dia merupakan penganut tharikat Syadziliyah. Dia
berguru tharikah tersebut kepada Syaikh Abu al-Abbas al-Mursy, yakni murid sang
pendiri tharikah Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M).
Selanjutnya, saya juga
menguraikan perjalanan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari dalam menapaki berbagai
ilmu pengetahuan hingga menjadi ahli tasawuf terkenal. Saat remaja, Ahmad bin
Athaillah belajar fikih kepada seorang ulama terkenal bernama Syaikh
Nashiruddin al-Mimbar al-Judzami. Pada mulanya Ahmad bin Athaillah sangat
menentang ajaran tasawuf, sebab dia memang dilahirkan dari keluarga yang anti
tasawuf. Sebelum Ahmad bin Athaillah berguru kepada Syaikh Abu al-Abbas
al-Mursy, dia merupakan salah satu orang yang menentang ajaran al-Mursy. Namun
setelah Ahmad bin Athaillah mendatangi majelis pengajian al-Mursy, dia lalu
merasakan bagaimana indahnya ajaran tasawuf. Dari al-Mursy inilah, dia akhirnya
berfokus pada ajaran tasawuf dan menjadi seorang sufi. Bagi saya, kisah ini
mengajarkan indahnya perjalanan hidup manusia yang penuh makna. Ada sebagian
orang yang dari awal sangat alergi, tetapi justru pada akhirnya malah menggauli
bahkan bersenggama dengan ajaran tersebut sampai akhir hayatnya.
Saya juga menjelaskan bahwa
Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari menyusun tak kurang dari 22 kitab
lebih, di antaranya: Kitab Al-Hikam
al-Atha’iyyah, Kitab al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, Kitab Lata’if al-Minan fi
Manaqib al-Syaikh Abi al-Abbas al-Mursy wa Syaikhihi al-Syadzili Abi al-Hasan,
Kitab Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, Kitab Miftah al-Falah wa Misbah
al-Arwah fi Dzikri Allah al-Karim al-Fattah, dan Kitab Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Kitab yang saya
sebutkan terakhir inilah konon memang dirancang untuk menghadapi serangan
Syaikh Ibnu Taimiyyah yang menolak ajaran tasawuf. Bagi saya, apa yang
dilakukan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari manakala menyusun kitab
terakhir tersebut sudah tepat. Artinya, pemikiran (al-fikrah) harus dilawan dengan pemikiran (al-fikrah) pula, bukannya dilawan dengan fisik seperti yang dilakukan
para penganut Islam radikal atau garis keras sebagaimana yang sering ditayangkan
di televisi atau tertulis di majalah dan koran.
Setelah panjang lebar saya
menceritakan biografi Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari, lalu saya
lanjutkan mengkaji “Kitab Syarh al-Hikam”
karya monumentalnya. Dalam kajian tersebut saya sampaikan bahwa kitab tersebut
memuat 127
kata mutiara. Secara garis besar saya jelaskan bahwa walau kitab tersebut tidak
membicarakan secara sistematis ajaran tasawuf sebagaimana ulama tasawuf lain,
tetapi di dalamnya membahas maqam
spiritual dengan ciri khas bahasa hikmahnya, antara lain: (1) maqam taubat, yakni merupakan makam
pertama yang harus dilalui penempuh spiritual dalam menuju Tuhan; (2) maqam zuhud, yakni tidak berlebihan dari
segi apapun; (3) maqam sabar, yakni
sabar menempuh jalan Tuhan dan semacamnya; (4) maqam syukur, yakni mensyukuri segala nikmat Tuhan; (5) maqam khauf, yakni merasa takut akan
sirnanya hal atau maqam yang diberikan oleh Tuhan; (6) maqam raja’, yakni selalu mengharapkan
adanya hal dan maqam dari Tuhan dengan segala usahanya; (7) maqam ridha, yakni rela menerima takdir Tuhan baik ataupun buruk.; (8)
maqam tawakkal, yakni berserah diri
pada Allah bahwa segala sesuatu bertumpu pada kehendak (iradah) Allah swt semata ; (9) maqam
mahabbah, yakni mencintai Tuhan, sebuah makam tertinggi dalam pandangan
kaum sufi (ahli tasawuf). Bagi saya,
teramat sulit di era globalisasi seperti sekarang untuk mencapai maqam-maqam tersebut. Namun tentu saja
doa dan usaha tetap harus saya lakukan semaksimal mungkin untuk mencapai hal
tersebut.
Tentu saja, dalam kajian
tersebut saya juga banyak mencuplik ungkapan-ungkapan Syaikh Ahmad bin
Athaillah al-Sakandari tentang maqam-maqam tersebut. Dalam maqam taubat, saya
mencuplik ungkapan “min ‘alamat maut
al-qalb ‘adam al-huzn ‘ala ma fataka min al-muwafaqat wa tark al-nadam ‘ala ma
fa’altahu min wujud al-zallat”,
artinya di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya kesedihan atas
kesempatan beribadah yang dilewatkan, dan tiadanya penyesalan atas kesalahan
yang dilakukannya. Bagi saya, ungkapan tersebut mengajarkan akan pentingnya
waktu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia agar dia menggunakannya dengan
sebaik-baiknya. Berdasarkan ungkapan tersebut, tentu saja mereka yang
berprofesi sebagai penulis misalnya, akan menggunakan waktunya untuk menulis
dengan baik. Begitu pula, mereka yang memilih sebagai aktifis NGO misalnya,
tentu saja akan menggunakan waktu tersebut untuk memperjuangkan hak-hak kaum
lemah (dlu’afa’) sebaik mungkin
dengan penuh tanggungjawab.
Selain itu, saya mencuplik
ungkapan Syiakh Ahmad bin Athaillah “ma
basaqat aghshanuhu dzull illa ‘ala bidzri thama’in”, artinya tidak akan
tumbuh dahan-dahan kehinaan kecuali dari benih ketamakan. Bagi saya, ungkapan
ini mengajarkan kepada manusia agar tidak tamak kepada manusia lainnya. Sebab
ketamakan akan membawa kehinaan yang tak terhingga. Para aktifis NGO yang
benar-benar mapan hatinya, tentu saja tidak akan rela bila hatinya dipenuhi
dengan sifat ketamakan. Tamak bisa menjangkiti siapa saja, termasuk para
aktifis NGO yang konon selalu memperjuangkan masyarakat tertindas (dlu’afa’). Mungkin ada aktifis NGO bila
lembaga lain mendapat kucuran dana dari funding,
merasa iri hati dan dengki. Tentu saja, sifat yang demikian ini akan merusak
niat semula untuk memperjuangkan rakyat tertindas (dlu’afa). Hal ini kalau dibiarkan tentu saja akan membawa NGO
tersebut jatuh ke dalam kehinaan. Tak masuk akal bila manusia yang diliputi
sifat ketamakan akan memperjuangkan hak-hak masyarakat tertindas (dlu’afa’), dan justru karena ketamakan
tersebut dia akan hanya memperkaya diri pribadinya.
Ungkapan Syaikh Ahmad bin
Athaillah al-Sakandari lain yang saya sampaikan adalah “liyukhaffif alam al-bala’ ‘alaika ilmuka bi annahu subhanahu wa ta’ala
huwa al-mubli laka. Fa alladzi wajahatka minhu al-aqdar huwa alladzi ‘awwadaka
husna al-ikhtiyar”, artinya pedihnya ujian dapat diringankan dengan
pengetahuanmu bahwa Allah yang memberi ujian. Yang mendatangkan ujian (takdir)
kepadamu adalah Dia (Allah) yang tentu menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik
buatmu. Bagi saya, ungkapan tersebut mengajarkan sebuah kesabaran manakala
mendapat ujian dari Tuhan. Mereka yang menjadi aktifis NGO tentu saja banyak
mendapat ujian berupa caci maki dari berbagai pihak yang tidak suka. Tentu
saja, hal tersebut harus disikapi dengan kesabaran yang tanpa batas. Bisa jadi
ujian tersebut merupakan anugerah terbaik dari Tuhan yang diberikan kepada para
aktifis NGO yang benar-benar memperjuangkan masyarakat tertindas (dlu’afa’).
Selain itu, saya juga menyampaikan ungkapan Syaikh
Ahmad bin Athaillah al-Sakandari berikut “al-faqad
busuth al-mawahib”, artinya bermacam-macam ujian yang diberikan Tuhan pada
hakekatnya merupakan sebuah hamparan pemberian. Masih sebagaiamana hal di atas,
ungkapan ini mengajarkan kepada manusia untuk terus bersikap sabar. Sebab
ujian-ujian dari Tuhan pada manusia pada hakekatnya merupakan pemberian. Bisa
jadi melalui serangkain ujian-ujian tersebut seorang hamba akan mendapatkan
hikmah-hikmah tersembunyi dibaliknya. Para aktifis NGO tentu tidak lepas dari
berbagai macam ujian manakala mendampingi masyarakat tertindas (dlu’afa’). Ujian tersebut bisa berupa
hinaan, cemoohan, bahkan cacian yang menyudutkan dirinya. Dalam hal ini, Syaikh
Ahmad bin Athaillah al-Sakandari menawarkan bagaimana mengatasi ujian-ujian
tersebut dengan terus berfokus pada kehendak (iradat) Allah swt semata. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa
Dia-lah yang memberikan ujian, dan Dia pulalah yang akan menghilangkan ujian
tersebut sesuai kehendak-Nya.
Terkait kajian tersebut, saya
juga menyampaikan ungkapan Gus Dur yang sering mengatakan bahwa nama Nahdlatul
Ulama (NU) diilhami oleh kalimat Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari yang
berbunyi “laa tas’khab man la yunhiduka
ila Allahi haluhu wa la yadulluka ilaihi maqaluhu”, artinya jangankan kau
jadikan sahabat atau guru, orang yang perbuatannya tidak membangkitkan kamu
kepada Allah, serta perkataannya tidak menunjukkan kepada-Nya. Kata “yunhidu” artinya membangkitkan dan yang
bisa membangkitkan kepada Allah adalah seorang ulama. Dari sini, maka lahirlah
nama Nahdlatul Ulama (NU). Istilah “Nahdlatul Ulama” yang berarti “kebangkitan
para ulama” diharapkan benar-benar membangkitkan umat muslim agar senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah swt. Bagi
saya, tentu hal ini merupakan hal yang sangat substantif bagi mereka yang
benar-benar menjadi ulama. Mereka yang menjadi ulama, sudah selayaknya harus
benar-benar bisa membangkitkan umat manusia menuju jalan Tuhan. Bukan malah
meraih keuntungan dengan menjual ayat-ayat Tuhan dan memperkaya diri dengan
menjual umat manusia melalui partai politik yang seakan-akan merupakan perintah
Tuhan.
Usai kajian di atas, kemudian
saya diberi kepercayaan oleh Mawan Mahyuddin untuk memberi kajian dengan tema “Kajian Kitab Minhaj al-Abidin: Jalan Menuju
Tuhan Syaikh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali”, tepatnya pada minggu ketiga
bulan Ramadlan. Saya pernah mempelajari kitab tersebut kepada Kiai Haji
Muhammad Arsyad Bushoiri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng,
Sumbergempol, Tulungagung. Selain itu, saya juga pernah belajar kitab tersebut
kepada Kiai Haji Muhammad Hafidz Syafii, pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul
Hidayah, Tlogo, Kanigoro, Blitar dan Kiai Haji Nasruddin, pengasuh Pondok
Pesantren Miftahul Huda, Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Kepada ketiga kiai
inilah saya berdoa, mudah-mudahan Tuhan senantiasa memberikan kasih sayang yang
tak terhingga.
Sebagaimana
kajian sebelumnya, saya terlebih dahulu juga menyampaikan biografi Syaikh Abu
Hamid Muhammad al-Ghazali tersebut. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Syafii al-Ghazali. Dia lahir
pada tahun 450H/1058M di desa Thus, Khurasan, Iran. Tambahan istilah “al-Syafii” sebab dia menganut madzhab
Imam Syafii. Adapun istilah “al-Ghazali”
dengan menbaca ringan (tahfif) huruf
“za”-nya merupakan nisbat pada sebuah
desa Ghazalah, yang merupakan wilayah dari desaThus, Iran. Sedangkan istilah “al-Ghazzali” dengan membaca berat (tadh’if) huruf “za”-nya, yang kadang
juga dinisbatkan padanya, merupakan nisbat terhadap pekerjaan ayahnya sebagai
pemintal wol. Ada banyak gelar yang disematkan kepada al-Ghazali antara lain:
(1) Hujjatul Islam, yakni bukti
kebenaran agama Islam; (2) Zainuddin,
yakni hiasan agama; (3) Bahrul Mughriq,
yakni samudera yang menghanyutkan, dan lain-lain. Bagi saya, gelar-gelar yang
disematkan kepada al-Ghazali tersebut bukan karena dia gila gelar. Akan tetapi,
dia memang layak mendapat gelar-gelar tersebut.
Saya menyampaikan pula bahwa ayah
al-Ghazali adalah seorang yang wara’
yang menafkahi keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri. Di waktu senggang
ayah al-Ghazali selalu menyempatkan diri mendatangi tokoh agama dan ahli fikih
serta mendengarkan nasehat-nasehatnya. Sang ayah wafat ketika al-Ghazali dan
adiknya masih usia kanak-kanak. Menjelang wafat, ayah al-Ghazali berwasiat
kepada salah seorang temannya yang ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan
kedua anak tersebut. Ayah al-Ghazali menitipkan pada temannya yang ahli sufi
tersebut dan menyerahkan harta yang dia tinggal untuk mengurus kedua putra
tersebut. Sang sufi tersebut memegang amanah ayah al-Ghazali, sehingga sampai
harta dari ayahnya tersebut habis, lalu sang sufi menyarankan al-Ghazali dan
adiknya agar pergi sekolah dan mencari biaya sendiri. Bagi saya, kisah derita
al-Ghazali tersebut mengajarkan bahwa sebuah kesuksesan harus diraih dengan
kesungguhan hati dan kerja keras. Begitu pula, keberhasilan para aktifis NGO
dalam mendampingi kaum tertindas (dlu’afa’)
tentu tidak akan bisa lepas dari kesungguhan hati dan kerja keras.
Setelah itu, saya menyampaikan
bahwa setelah al-Ghazali mendapat saran dari ahli sufi kawan ayahnya, dia dan
adiknya kemudian menuntut ilmu pada sebuah madrasah di Thus serta memperoleh
makanan dan pendidikan disana. Konon, di madrasah inilah awal mula perkembangan
pemikiran dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti hingga akhir hayatnya. Di
madrasah tersebut, al-Ghazali mempelajari ilmu fikih kepada Ahmad bin Muhammad
al-Razikani dan mempelajari tasawuf kepada Yusuf al-Nasaj hingga usia 20 tahun.
Setelah itu dia lalu belajar ilmu fiqih dan bahasa Arab di Jurjan kepada Abu
Nasr al-Ismaili, akan tetapi tidak diketahui berapa lama dia belajar disana.
Namun karena ilmu yang dimiliki dari Thus dan Jurjan tidak mencukupi, dia lalu
pindah ke Naisabur belajar ilmu madzhab fikih, ilmu kalam, ilmu usul, filsafat
dan disiplin ilmu lain kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang tokoh teologi
Asyariyah paling terkenal dan guru besar di madrasah Nidzamiyah. Bagi saya,
kisah ini sangat menginspirasi siapapun dalam menuntut ilmu. Tentu saja bagi
aktifis NGO, tentu saja sudah sepatutnya untuk terus mempelajari disiplin ilmu
yang signifikan dengan aktifitasnya semaksimal mungkin.
Memang ada banyak kisah menarik
manakala membahas biografi al-Ghazali. Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai
seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan sangat berhasrat mencari kebenaran
hakiki, walau selalu dilanda duka cita. Suatu hari di hari libur madrasah,
al-Ghazali pulang ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan al-Ghazali
dihadang oleh segerombolan perampok yang mengambil semua kitab yang
dimilikinya. Al-Ghazali sendiri pernah mengatakan bahwa kebiasaan untuk mencari
hakekat kebenaran sesuatu merupakan kebiasaan dan favoritnya sejak kanak-kanak
dan masa muda. Menurutnya, hal tersebut merupakan insting dan bakat yang
dilimpahkan Allah swt pada dirinya dan
bukan merupakan usaha rekayasa. Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan bahwa
ternyata suatu hasrat, insting, dan bakat memang tidak bisa dipaksakan. Dalam
konteks NGO, seorang yang mendedikasikan diri sebagai aktifis yang terus mau
mendampingi kaum lemah (dlu’afa’),
tentu saja merupakan pilihan luhur yang tidak bisa lepas dari insting dan bakat
yang dilimpahkan Tuhan.
Kisah menarik lain yang sampaikan
dalam kajian tersebut adalah sebelum Abu al-Ma’ali al-Juwaini wafat, dia sempat
memperkenalkan al-Ghazali kepada perdana menteri Nizam al-Mulk, yang merupakan
pendiri madrasah Nidzamiyah. Maka setelah Abu al-Ma’ali al-Juwaini wafat,
al-Ghazali lalu berangkat ke al-Asykar mengunjungi perdana menteri Nizam
al-Mulk dari pemerintahan Bani Saljuk tersebut. Dia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai ulama besar dan dipertemukan dengan para ulama besar
lainnya. Tahun 1091 M al-Ghazali diutus perdana menteri Nizam al-Mulk untuk
menjadi guru besar di madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad. Dia
menjadi salah satu orang yang terkenal di Baghdad dan selama empat tahun
memberi kuliah kepada lebih dari 300 mahasiswa di sana. Pada saat yang sama
al-Ghazali menekuni kajian filsafat secara otodidak lewat bacaan buku pribadi
serta menulis sejumlah buku. Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan bahwa
menekuni ilmu secara otodidak ternyata bisa menghasilkan hasil yang cemerlang.
Tentu saja, bila hal tersebut ditarik dalam dunia NGO, sudah selayaknya aktifis
NGO terus mempertajam pengetahuannya baik secara formal maupun lainnya. Aktifis
NGO yang sangat sibuk mendampingi masyarakat tertindas (dlu’afa’), tentu bisa mensiasati belajar secara otodidak, melalui
diskusi-diskusi, dan semacamnya.
Bagi saya, mengkaji biografi
al-Ghazali, sama persis mendalami perjalanan spiritual beliau secara utuh (kaffah). Dalam kajian tersebut, saya
terus saja menyampaikan kisah al-Ghazali, sebab banyak peserta yang juga
tertarik akan kisak tersebut. Atas prestasi yang diraih, maka
al-Ghazali yang saat itu dalam usia 43 tahun diangkat sebagai pimpinan madrasah
Nidzamiyah. Ibnu Rusn menyatakan bahwa al-Ghazali menjadi pemimpin madrasah
Nidzamiyah sekitar empat tahun. Setelah itu al-Ghazali mengalami krisis rohani,
krisis keraguan (skeptis) yang meliputi akidah dan segala jenis makrifat. Dia
lalu meninggalkan Baghdad menuju Syam (Syiria) secara diam-diam. Untuk
mengelabuhi kawan-kawannya di madrasah Nidzamiyah, al-Ghazali mengatakan kepada
mereka pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mulai dari sinilah
al-Ghazali mulai meninggalkan pekerjaan sebagai pengajar dan dia memulai hidup
baru menjauh dari lingkungan manusia serta menempuh kehidupan yang penuh zuhud.
Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan perjalanan rumpil seorang al-Ghazali yang
ingin terus mencari kebenaran. Bagi saya, dalam konteks NGO, tentu saja ada
saat-saat tertentu bagi para aktifis untuk mengadakan refleksi ke dalam. Namun
tentu saja tidak harus melakukan sebagaimana yang al-Ghazali lakukan.
Walhasil, dalam kajian terbatas
yang diadakan di The Post Institute Blitar tersebut saya segera meringkas
cerita al-Ghazali. Setelah sekian lama al-Ghazali untuk mengabdikan diri untuk
ilmu pengetahuan dan mendapatkan kebenaran hakiki pada akhir hayatnya, dia lalu
meninggal dunia di Thus pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505H/1111M menjelang
matahari terbit dan dimakamkan di Zhahir Tabiran, ibu kota Thus, Iran. Konon,
al-Ghazali wafat dihadapan adiknya yang bernama Ahmad Mujiduddin dan
meninggalkan tiga anak perempuan, sedangkan anak laki-lakinya yang bernama
Hamid telah meninggal dunia sebelum al-Ghazali wafat. Oleh karena al-Ghazali
mempunyai anak laki-laki bernama Hamid inilah, maka al-Ghazali diberi julukan
“Abu Hamid, yang berarti ayah si Hamid. Saya juga menyampaikan bahwa Kitab Minhaj al-Abidin yang dikaji pada
kesempatan tersebut merupakan karya terakhir al-Ghazali tentang tasawuf.
Demikian sekilas pengalaman saya di The Post Institute Blitar, mudah-mudahan
berguna dalam kehidupan kini dan mendatang. Berikut saya akhiri dengan sabda
Nabi Muhammad saw:
“Barangsiapa disibukkan zikir
kepada-Ku, hingga lupa meminta kepada-Ku,
maka akan Ku berikan kepadanya sesuatu
yang lebih baik daripada yang Ku berikan
kepada mereka yang meminta” (HR.
Tirmidzi).
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan
Jl.
Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan
Kanigoro Blitar Jawa Timur. HP. 085649706399
Perjalanan menuju Tuhan
BalasHapus