Senin, 30 April 2018

ZIARAH SPIRITUAL KOMUNITAS PECINTA BUMI SEKARDANGAN (KPBS) HINGGA PUNCAK JABALKAT, KLATEN, JATENG


Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 Puncak Jabalkat merupakan puncak tertinggi di seputar Gunung Cokrokembang Klaten. Puncak Jabalkat merupakan tempat Sunan Kalijago memberikan wejangan kepada Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II/Syaikh Kasan Nawawi). Ada tulisan menarik pada puncak tersebut: “Ojo Rumongso Bisa, Biso-a Rumongso. Jowo Digowo, Arab Digarab” (Kata-kata atau kalimat yang kadang dikutip Emha Ainun Najib atau Cak Nun). Di Puncak Jabalkat tersebut, rombongan Komunitas Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS) melakukan dzikir, wirid, semedi, meditasi, tafakur, dan lainnya. Sungguh khusuk dalam melakukan hal tersebut (Shofwan, 2018)


          Pada hari Sabtu, 28 April 2018 setelah shalat Maghrib para pemuda yang terkumpul dalam wadah insidentil bernama KOMUNITAS PECINTA BUMI SEKARDANGAN (KPBS) mengadakan wisata spiritual di beberapa tempat. Ada 19 pemuda yang ikut dalam wisata spiritual tersebut, antara lain: Arif Muzayin Shofwan, Mas Ahmad Mansuri (Gus Komeng), Mas Dian Kebo (Ki Kebo Marcuet), Mas Muhammad Hafidz (Sunan Kunting [bukan Sunan Kuning lho]), Pak Ikbal Santosa (Sang Dosen STKIP PGRI Kota Blitar), Mas Komaruddin (Bengkel Motor), Mas Sulaiman (alias “Uuu”), Mas Pri Wildan Ahmad (Gus Ngantol Sang Driver/Sopir), Mas Muhammad Fakih (Ki Pekik Suro/Pengrajin Jok), Mas Syahrul Hujat (Ki Kujat Akbar), Mas Agus Bin Sukri (Mebel Sekardangan), Mas Agus Syuhadak (bermukim di rumah dan padepokan/pesanggrahan Mbah Kyai Syuhadak), Mas Kanil (Pengusaha kayu), Mas Burhanuddin (Ki Bagus Bogang), Mas Ipul (Sumberagung), Mas Lukie (Gaprang), Mas Sidik (Satreyan), Mbah Haji Agung (Jl. Riau Blitar, Mantan Kabag BNI Kota Blitar), Mbah Haji Sugeng (Surabaya, mantan pegawai BNI Surabaya).

          Puncak wisata spiritual tersebut pada dasarnya ada dua makam yang akan menjadi fokus utama, yaitu makam Sunan Tembayat Klaten (Sunan Pandanaran II) dan Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) di dusun Sarean, desa Jatingarang, kecamatan Weru, Sukoharjo-Solo. Ada dua alasan terkait kedua makam itu harus menjadi fokus.

Pertama, Sunan Tembayat yang merupakan murid kinasih Sunan Kalijogo harus menjadi fokus karena beliau mengajarkan “Patembayatan” atau “Pirukunan” dalam patembayatan-nya. Beliau mengajarkan patembayatan kepada semua masyarakat tanpa pandang bulu, tanpa melihat dan membedakan suku, ras, budaya, agama, dan semacamnya. Kami semua ingin belajar “PATEMBAYATAN” atau “PIRUKUNAN” yang diajarkan oleh Sunan Tembayat pada santri-santrinya. Inilah tujuan kami, sehingga kami harus naik ke Puncak Jabalkat, yakni sebuah puncak di mana Sunan Kalijogo memberi wejangan pada Sunan Tembayat. Dan puncak di mana Sunan Tembayat melakukan tapa brata dan uzlah mengasingkan diri mendapatkan pencerahan agung. Dan puncak di mana Sunan Kalijogo menguji tekad Sunan Tembayat untuk bisa berguru kepadanya. Juga, puncak "Kat" atau "Ahad", yakni pucak ke-TAUHID-an Sunan Tembayat dalam menggapai spiritualnya.

Kedua, Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro/Kyai Sidik Urip/Kyai Sidik Perwito Sari/Kyai Buyut Banyubiru/Kyai Ageng Banyubiru) yang sebagian besar diyakini sebagai tokoh PENDIRI KECAMATAN KANIGORO (BLITAR) dan SALAH SATU TOKOH CIKAL-BAKAL YANG MERESMIKAN DUSUN SEKARDANGAN bersama Nyai Gadhung Melati dan Roro Sekar Rinonce/Roro Tenggok/Endang Widuri/Roro Sari Once harus diziarahi pula. Ini sebab keterkaitan kami dengan tiga tokoh tersebut yang telah menjadi CIKAL-BAKAL DUSUN SEKARDANGAN, dan meresmikannya berdirinya dusun Sekardangan. Dan perlu diketahui, Dusun Sekardangan yang berada di kecamatan Kanigoro-Blitar diperingati tiap hari Selasa Kliwon bulan Suro/Muharrom. Semoga dusun Sekardangan selalu mendapatkan restu dari para leluhur dan mendapat anugerah yang luar biasa dari Tuhan untuk masa ke depan. Amiin.

          Kami semua, yakni semua yang terkumpul dalam komunitas insidentil yang diberi nama “Komunitas Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS)” dalam acara wisata ritual ini berziarah ke berbagai makam, mulai dari Blitar, Tulungagung, Klaten-Jateng, hingga Ponorogo. Beberapa makam yang kami ziarahi pada hari tersebut (28-29 April 2018) secara urut dapat kami jelaskan sebagai berikut, antara lain:

1.   Makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Sutro Menggolo) Lodoyo, Blitar
Ada yang menyatakan bahwa Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Sutro Menggolo) ini merupakan sosok sepuh yang berasal dari Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Konon beliau merupakan seorang tokoh yang pernah membantu Pangeran Prabu (Pembawa Gong Pradah) pada masa-masa sulitnya. Dulu konon beliau pernah mendirikan sebuah masjid di desa Bacem. Namun masjid tersebut hingga kini sudah tak ada bekasnya lagi. Kemudian beliau hijrah di dekat makamnya sekarang dan wafat serta dimakamkan di tempat tersebut.

2.   Makam Sunan Kuning, Macanbang, Tulungagung
Dimakam Sunan Kuning ini, Muhammad Hafidz (Sunan Kunting) dan Mbah Haji Agung mendapatkan “Wesi Kuning” yang sangat indah. Yah, ketepatan tiga hari sebelumnya, Muhammad Hafidz memang sudah bertirakat puasa. Puasa hari terakhir, dia harus “NGEBLENG” berbuka pada waktu Subuh di makam Sunan Tembayat. Saya lihat, Mas Hafidz (Sunan Kunting) berbuka di utara Masjid Golo Mbayat dengan makanan yang dibawanya.

3.   Ritual Makam Malam dan Ngopi di depan Masjid Agung Ponorogo
Sampai di depan Masjid Agung Ponorogo, rombongan KOMUNITAS PECINTA BUMI SEKARDANGAN (KPBS) berhenti untuk makan malam. Saya membawa nasi kotak dari rumah yang telah saya pesan dari Warung Mbak Nurul dengan lauk-pauk Ikan Lele Goreng, Lalapan + Sambel, dan lainnya. Semua ikut makan, kecuali Mas Muhammad Hafidz (Sunan Kunting) sebab dia harus berpuasa dan berbuka pagi hari (Shubuh) di makam Sunan Tembayat. Dan semua juga ngopi dan njahe sambil rokokan. Wedang kopi dan wedang jahe dipesan di pojokan Masjid Agung Ponorogo bagian pojok Selatan berada di sebelah selatan Gapuro Masjid Agung Ponorogo. Dan di situlah kami biasanya mampir Ngopi, Njahe, Ngopi-Susu, dan menyantap gorengan (tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng, jerohan goreng, dan semacamnya) manakala kami berziarah ke makam Sunan Tembayat (Sayyid Kasan Nawawi/Sunan Pandanaran II) yang berada di Bayat, Klaten, Jawa tengah.

4.   Makam Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II) Klaten, Jateng
Sampai di makam Sunan Tembayat ini pas pukul 03.00 WIB (pagi hari). Kami lalu bersama-sama naik ke Puncak Gunung Cokrokembang tempat Sunan Tembayat disemayamkan. Kami sebagian masuk ke bilik makam Sunan Tembayat. Setelah itu, kami semua naik menuju “PUNCAK JABALKAT” yakni puncak di mana Sunan Tembayat menerima wejangan dari Sunan Kalijogo. Di Puncak Jabalkat, kami semua mengadakan wirid, semedi/meditasi, dan semacamnya.

5.   Makam Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) Sukoharjo-Solo Raya
Sampai ke makam Kyai Purwoto Sidik sekitar pukul 07.00 WIB. Kami lalu masuk makam dan mengadakan ritual tahlil dan semacamnya. Kami kemudian berbincang-bincang dengan Mbah Widodo Sang juru kunci makam. Kami diskusi tentang Nyi Gadhung Melati yang menjadi istri Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan Roro Tenggok/Roro Sekar Rinonce/Endang Widuri yang menjadi putri dari Kyai Purwoto Sidik + Nyi Gadhung Melati. Saya menjelaskan pula bahwa Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kedanyang di Malang, Jawa Timur) juga merupakan putra dari Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) + Nyai Gadhung Melati. Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) ini juga diyakini sebagian warga Kanigoro sebagai CIKAL-BAKAL KECAMATAN KANIGORO (BLITAR), bersama Nyai Gadung Melati (istrinya) dan Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce/Endang Widuri), yakni salah satu putri keduanya, selain Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kedhanyang) Malang, Jatim. Karena perpolitikan Demak-Pajang lah yang menyebabkan Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) bersama keluarga harus pindah-pindah tempat mencari ketentraman hidup dan keselamatan jiwa-raganya. Maka tak heran apabila petilasan ketiga tokoh ini berada di berbagai tempat. Yah, tentu karena perpolitikan Demak-Pajang saat itu yang sangat gentingnya. S.H. Mintardjo menyatakan bahwa Endang Widuri (alias Roro Tenggok atau Roro Sekar Rinonce; Pen) putri dari Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dalam salah satu novel-nya dimakamkan di areal makam Sri Makurung Handayaningrat di Pengging. Makam Endang Widuri/Roro Tenggok/Roro Sekar Rinonce berada di dekat pagar yang mengitari makam Sri Makurung Handayaningrat tersebut. Dan Sri Makurung Handayaningrat ini merupakan ayah dari Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan merupakan kakek dari Endang Widuri/Roro Sekar Rinonce/Roro Tenggok/Roro Sari Once. Memang ada versi yang menyatakan bahwa Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) tidak menikah seperti yang dikatakan Mbah Widodo. Namun ada beberapa versi yang menyatakan bahwa Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) menikah dan memiliki anak bernama Ki Ageng Gribik dan Roro Sekar Rinonce (Roro Tenggok) atau disebut Roro Endang Widuri seperti yang dinyatakan oleh S.H. Mintardjo dalam salah satu novelnya.

6.   Makam Bathoro Kathong, Sentono, Ponorogo
Kami semua sampai ke makam Bathoro Kathong Ponorogo pas waktu Dhuhur. Bathoro Kathong merupakan ayah dari Nyai Ageng Kaliwungu dan salah satu mertua dari Sunan Tembayat/Sayyid Kasan Nawawi (Sunan Pandanaran II), Klaten, Jawa Tengah. Tepat di utara makam Bathoro Kathong, terdapat ke-4 makam istri beliau. Sementara itu, berada di selatan makam Bathoro Kathong terdapat makam Ki Ageng Mirah yang kata juru kuncinya merupakan seorang ulama yang sangat ampuh.

7.   Makam Kyai Ageng Muhammad Besari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo
Kami semua shalat Dhuhur di “Masjid Jami Kyai Ageng Muhammad Besari” Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Di tempat ini, kami juga berziarah ke makam Kyai Kasan Besari, yakni cucu Kyai Ageng Muhammad Besari yang menjadi guru dari Raden Ngabehi Ronggowarsito (Pujangga Terakhir Kerajaan Surakarta).

8.   Makam Syaikh Basyaruddin Bolorejo, Tulungagung
Syaikh Basyaruddin merupakan putra dari Syaikh Abdurrohman. Syaikh Basyaruddin dan Syaikh Abdurrohman (ayahnya) juga dimakamkan di arel makam Srigading, Kauman, Tulungagung.

Sebenarnya, masih ada dua makam tokoh yang akan kami ziarahi saat ini, yaitu: (1) Makam Kyai Ageng Donopuro Wonokreto, Sentono, Jetis, Ponorogo; dan (2) Makam Syaikh Ahmad Cimande, Kunir Wonodadi Blitar.  Ada beberapa alasan hingga kami semua Komunitas Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS) tidak berziarah ke makam tersebut. Alasan itu antara lain:

Pertama, Makam Kyai Ageng Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari) tidak saya ziarahi karena yang memegang penuh areal Masjid Baiturrohman (peninggalan Kyai Ageng Donopuro, Kyai Ageng Wongsopuro, dan Kyai Ageng Noyopuro) adalah orang yang terkadang mengharamkan ziarah kubur. Dan kalau banyak yang berziarah kubur di areal makam Kyai Ageng Donopuro terkadang juga tidak diperbolehkan. Bahkan mengucapkan "Amiin.. Amiin.. Amiin" dengan keras di makam Kyai Ageng Donopuro pun juga tidak diperbolehkan. Padahal Kyai Ageng Donopuro itu juga merupakan leluhur saya. Inilah yang saya prihatinkan secara pribadi. Silsilah saya adalah: (1) Kyai Ageng Donopuro, berputra; (2) Raden Taklim, berputra; (3) Kyai Muhammad Kasiman, berputra; (4) Kyai Syakban Gembrang Serang, berputra; (5) Kyai Muhammad Asrori, berputra; (6) Nyai Tsamaniyah Muhtar, berputra; (7) Nyai Artijah Thahir, berputra; (8) Mbah Tamam Thahir, berputra; (9) Arif Muzayin Shofwan.

Kedua, makam Syaikh Ahmad Cimande Kunir, Wonodadi, Blitar tidak kami ziarahi sebab kami sudah kemalaman untuk ziarah ke makam tersebut. Kami sampai di Kunir sudah waktu Maghrib. Kami tidak merasa enak, bila pada waktu-waktu tersebut berziarah ke makam Syaikh Ahmad Cimande. Akhirnya kami teruskan perjalanan mencari makan malam di barat Rumah Sakit Mardi Waluyo Blitar. Karena rasa lapar yang sudah sangat, kami semua makan dengan lahap di Warung Barat Rumah Sakit Mardi Waluyo tersebut, kecuali Mbah Haji Agung yang saat itu melakukan puasa. Kalau hari kemarin yang berpuasa Mas Muhammad Hafidz (yang saya sebut Sunan Kunting), sekarang yang melakukan puasa adalah Mbah Haji Agung. Alhamdulillah, group ini ada yang kuat puasa dan tirakat. Dan satu lagi yang tidak ikut makan malam ini, yaitu Mas Dian Kebo (yang saya sebut Ki Kebo Marcuet) sebab dia tidak ikut pulang ke Blitar. Namun singgah di Pogalan, Trenggalek di tempat istrinya. Kata Mas Dian Kebo: "Saya harus singgah ke rumah istri saya. Nyi Ageng Kebo Marcuet" (dikatakan saat berada di dalam mobil ELEP. Hehehe).

Mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, yakni berziarah ke berbagai makam leluhur dan semuanya saja, selalu membawa berkah sepanjang zaman, di kehidupan dunia dan akhirat. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu merahmati para cikal-bakal dusun Sekardangan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, propinsi Jawa Timur. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati KOMUNITAS PECINTA BUMI SEKARDANGAN (KPBS). Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin. 


 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
 
Mas Muhammad Hafidz (Sunan Kunting), Arif Muzayin Shofwan, Mas Sulaiman (Dokumentasi, 2018)
 
Tulisan terpampang di Padepokan Puncak Jabalkat (Dokumentasi, 2018)
Petilasan Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat/Sunan Pandanaran II (Dokumentasi, 2018)
 
Mbah Haji Agung bermeditasi di Padepokan Jabalkat (Dokumentasi, 2018)
 
Mas Sidik Satreyan berfoto di depan makam Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro Sukoharjo-Solo Raya, yang diyakini sebagian orang sebagai cikal-bakal Kanigoro-Blitar (Dokumentasi, 2018)
 
Mas Lukie Gaprang berfoto di depan bilik makam Sunan Tembayat (Dokumentasi, 2018)
 
Makam Syaikh Abu Naim Fathullah/Raden Sutro Menggolo Lodoyo-Blitar (Dokumentasi, 2018)
 
Bersama Mbah Widodo (juru kunci makam Kyai Purwoto Sidik Sukoharjo) dan Mas Iman Widodo (Pelatih Pencak Silat Pagar Nusa Bayat), Mbah Agung, Mbah Sugeng (Dokumentasi, 2018)
 
Makam Kyai Kasan Besari Tegalsari Ponorogo Guru dari Raden Ngabehi Ronggowarsito (Dokumentasi, 2018)

Berziarah ke makam Bathoro Kathong Ponorogo (Dokumentasi, 2018)
Arif Muzayin Shofwan dan Mas Komaruddin dalam areal makam Syaikh Basyaruddin Srigading Kauman Tulungagung (Dokumentasi, 2018)
  
Tentang Penulis



Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang dalam komunitas Padepokan Padang Jiwo sering dijuluki “Ki Bagus Arief” dan dalam komunitas lain sering disebut “Mbah Pasarean” atau “Mbah Sambang Kuburan” atau “Ki Bagus Dupo Wangi” atau “Ki Bagus Menyan Arab” ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 bersama kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I., Lussy Ana Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad Miftakhul Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat sebagai Tim Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata Keluarga Islam; (2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran Islam; dan (4) Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan penggagas dan inisiator pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang yang sering mengikuti berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi lintas agama baik lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar