Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Puncak Jabalkat merupakan puncak tertinggi
di seputar Gunung Cokrokembang Klaten. Puncak Jabalkat merupakan tempat Sunan Kalijago
memberikan wejangan kepada Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II/Syaikh Kasan
Nawawi). Ada tulisan menarik pada puncak tersebut: “Ojo Rumongso Bisa,
Biso-a Rumongso. Jowo Digowo, Arab Digarab” (Kata-kata atau kalimat yang kadang dikutip Emha Ainun Najib atau Cak Nun). Di Puncak Jabalkat tersebut, rombongan
Komunitas Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS) melakukan dzikir, wirid, semedi,
meditasi, tafakur, dan lainnya. Sungguh khusuk dalam melakukan hal tersebut
(Shofwan, 2018)
Pada hari Sabtu, 28 April 2018 setelah shalat Maghrib para
pemuda yang terkumpul dalam wadah insidentil bernama KOMUNITAS PECINTA BUMI
SEKARDANGAN (KPBS) mengadakan wisata spiritual di beberapa tempat. Ada 19
pemuda yang ikut dalam wisata spiritual tersebut, antara lain: Arif Muzayin
Shofwan, Mas Ahmad Mansuri (Gus Komeng), Mas Dian Kebo (Ki Kebo Marcuet), Mas Muhammad
Hafidz (Sunan Kunting [bukan Sunan Kuning lho]), Pak Ikbal Santosa (Sang Dosen
STKIP PGRI Kota Blitar), Mas Komaruddin (Bengkel Motor), Mas Sulaiman (alias
“Uuu”), Mas Pri Wildan Ahmad (Gus Ngantol Sang Driver/Sopir), Mas Muhammad
Fakih (Ki Pekik Suro/Pengrajin Jok), Mas Syahrul Hujat (Ki Kujat Akbar), Mas
Agus Bin Sukri (Mebel Sekardangan), Mas Agus Syuhadak (bermukim di rumah dan
padepokan/pesanggrahan Mbah Kyai Syuhadak), Mas Kanil (Pengusaha kayu), Mas Burhanuddin (Ki
Bagus Bogang), Mas Ipul (Sumberagung), Mas Lukie (Gaprang), Mas Sidik
(Satreyan), Mbah Haji Agung (Jl. Riau Blitar, Mantan Kabag BNI Kota Blitar),
Mbah Haji Sugeng (Surabaya, mantan pegawai BNI Surabaya).
Puncak wisata spiritual tersebut pada dasarnya ada dua
makam yang akan menjadi fokus utama, yaitu makam Sunan Tembayat Klaten (Sunan Pandanaran II) dan Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro)
di dusun Sarean, desa Jatingarang, kecamatan Weru, Sukoharjo-Solo. Ada dua
alasan terkait kedua makam itu harus menjadi fokus.
Pertama,
Sunan Tembayat yang merupakan murid kinasih Sunan Kalijogo harus menjadi fokus
karena beliau mengajarkan “Patembayatan” atau “Pirukunan” dalam
patembayatan-nya. Beliau mengajarkan patembayatan kepada semua masyarakat tanpa
pandang bulu, tanpa melihat dan membedakan suku, ras, budaya, agama, dan
semacamnya. Kami semua ingin belajar “PATEMBAYATAN” atau “PIRUKUNAN” yang diajarkan
oleh Sunan Tembayat pada santri-santrinya. Inilah tujuan kami, sehingga kami
harus naik ke Puncak Jabalkat, yakni sebuah puncak di mana Sunan Kalijogo
memberi wejangan pada Sunan Tembayat. Dan puncak di mana Sunan Tembayat
melakukan tapa brata dan uzlah mengasingkan diri mendapatkan pencerahan agung. Dan puncak di mana Sunan Kalijogo menguji tekad Sunan Tembayat untuk bisa berguru kepadanya. Juga, puncak "Kat" atau "Ahad", yakni pucak ke-TAUHID-an Sunan Tembayat dalam menggapai spiritualnya.
Kedua,
Kyai
Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro/Kyai Sidik Urip/Kyai Sidik Perwito Sari/Kyai
Buyut Banyubiru/Kyai Ageng Banyubiru) yang sebagian besar diyakini sebagai tokoh
PENDIRI KECAMATAN KANIGORO (BLITAR) dan SALAH SATU TOKOH CIKAL-BAKAL YANG
MERESMIKAN DUSUN SEKARDANGAN bersama Nyai Gadhung Melati dan Roro Sekar
Rinonce/Roro Tenggok/Endang Widuri/Roro Sari Once harus diziarahi pula. Ini
sebab keterkaitan kami dengan tiga tokoh tersebut yang telah menjadi
CIKAL-BAKAL DUSUN SEKARDANGAN, dan meresmikannya berdirinya dusun Sekardangan.
Dan perlu diketahui, Dusun Sekardangan yang berada di kecamatan Kanigoro-Blitar
diperingati tiap hari Selasa Kliwon bulan Suro/Muharrom. Semoga dusun
Sekardangan selalu mendapatkan restu dari para leluhur dan mendapat anugerah
yang luar biasa dari Tuhan untuk masa ke depan. Amiin.
Kami semua, yakni semua yang terkumpul dalam komunitas
insidentil yang diberi nama “Komunitas
Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS)” dalam acara wisata ritual ini berziarah ke
berbagai makam, mulai dari Blitar, Tulungagung, Klaten-Jateng, hingga Ponorogo.
Beberapa makam yang kami ziarahi pada hari tersebut (28-29 April 2018) secara
urut dapat kami jelaskan sebagai berikut, antara lain:
1.
Makam
Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Sutro Menggolo) Lodoyo, Blitar
Ada yang menyatakan bahwa Syaikh Abu Naim
Fathullah (Raden Sutro Menggolo) ini merupakan sosok sepuh yang berasal dari
Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Konon beliau merupakan seorang tokoh yang pernah
membantu Pangeran Prabu (Pembawa Gong Pradah) pada masa-masa sulitnya. Dulu
konon beliau pernah mendirikan sebuah masjid di desa Bacem. Namun masjid
tersebut hingga kini sudah tak ada bekasnya lagi. Kemudian beliau hijrah di
dekat makamnya sekarang dan wafat serta dimakamkan di tempat tersebut.
2.
Makam
Sunan Kuning, Macanbang, Tulungagung
Dimakam Sunan Kuning ini, Muhammad Hafidz
(Sunan Kunting) dan Mbah Haji Agung mendapatkan “Wesi Kuning” yang sangat
indah. Yah, ketepatan tiga hari sebelumnya, Muhammad Hafidz memang sudah
bertirakat puasa. Puasa hari terakhir, dia harus “NGEBLENG” berbuka pada waktu
Subuh di makam Sunan Tembayat. Saya lihat, Mas Hafidz (Sunan Kunting) berbuka
di utara Masjid Golo Mbayat dengan makanan yang dibawanya.
3.
Ritual
Makam Malam dan Ngopi di depan Masjid Agung Ponorogo
Sampai di depan Masjid Agung Ponorogo,
rombongan KOMUNITAS PECINTA BUMI SEKARDANGAN (KPBS) berhenti untuk makan malam.
Saya membawa nasi kotak dari rumah yang telah saya pesan dari Warung Mbak Nurul
dengan lauk-pauk Ikan Lele Goreng, Lalapan + Sambel, dan lainnya. Semua ikut
makan, kecuali Mas Muhammad Hafidz (Sunan Kunting) sebab dia harus berpuasa dan
berbuka pagi hari (Shubuh) di makam Sunan Tembayat. Dan semua juga ngopi dan
njahe sambil rokokan. Wedang kopi dan wedang jahe dipesan di pojokan Masjid
Agung Ponorogo bagian pojok Selatan berada di sebelah selatan Gapuro Masjid
Agung Ponorogo. Dan di situlah kami biasanya mampir Ngopi, Njahe, Ngopi-Susu,
dan menyantap gorengan (tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng, jerohan goreng,
dan semacamnya) manakala kami berziarah ke makam Sunan Tembayat (Sayyid Kasan
Nawawi/Sunan Pandanaran II) yang berada di Bayat, Klaten, Jawa tengah.
4.
Makam
Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II) Klaten, Jateng
Sampai di makam Sunan Tembayat ini pas pukul
03.00 WIB (pagi hari). Kami lalu bersama-sama naik ke Puncak Gunung
Cokrokembang tempat Sunan Tembayat disemayamkan. Kami sebagian masuk ke bilik
makam Sunan Tembayat. Setelah itu, kami semua naik menuju “PUNCAK JABALKAT”
yakni puncak di mana Sunan Tembayat menerima wejangan dari Sunan Kalijogo. Di
Puncak Jabalkat, kami semua mengadakan wirid, semedi/meditasi, dan semacamnya.
5.
Makam
Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) Sukoharjo-Solo Raya
Sampai ke makam Kyai Purwoto Sidik sekitar
pukul 07.00 WIB. Kami lalu masuk makam dan mengadakan ritual tahlil dan
semacamnya. Kami kemudian berbincang-bincang dengan Mbah Widodo Sang juru kunci
makam. Kami diskusi tentang Nyi Gadhung Melati yang menjadi istri Kyai Purwoto
Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan Roro Tenggok/Roro Sekar Rinonce/Endang Widuri yang
menjadi putri dari Kyai Purwoto Sidik + Nyi Gadhung Melati. Saya menjelaskan
pula bahwa Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kedanyang di Malang, Jawa Timur) juga
merupakan putra dari Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) + Nyai Gadhung
Melati. Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) ini juga diyakini sebagian warga
Kanigoro sebagai CIKAL-BAKAL KECAMATAN KANIGORO (BLITAR), bersama Nyai Gadung
Melati (istrinya) dan Roro Tenggok (Roro Sekar Rinonce/Endang Widuri), yakni
salah satu putri keduanya, selain Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kedhanyang)
Malang, Jatim. Karena perpolitikan Demak-Pajang lah yang menyebabkan Kyai
Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) bersama keluarga harus pindah-pindah tempat
mencari ketentraman hidup dan keselamatan jiwa-raganya. Maka tak heran apabila
petilasan ketiga tokoh ini berada di berbagai tempat. Yah, tentu karena
perpolitikan Demak-Pajang saat itu yang sangat gentingnya. S.H. Mintardjo
menyatakan bahwa Endang Widuri (alias Roro Tenggok atau Roro Sekar Rinonce; Pen)
putri dari Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dalam salah satu novel-nya
dimakamkan di areal makam Sri Makurung Handayaningrat di Pengging. Makam Endang
Widuri/Roro Tenggok/Roro Sekar Rinonce berada di dekat pagar yang mengitari
makam Sri Makurung Handayaningrat tersebut. Dan Sri Makurung Handayaningrat ini
merupakan ayah dari Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan merupakan kakek
dari Endang Widuri/Roro Sekar Rinonce/Roro Tenggok/Roro Sari Once. Memang ada versi yang menyatakan bahwa Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) tidak menikah seperti yang dikatakan Mbah Widodo. Namun ada beberapa versi yang menyatakan bahwa Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) menikah dan memiliki anak bernama Ki Ageng Gribik dan Roro Sekar Rinonce (Roro Tenggok) atau disebut Roro Endang Widuri seperti yang dinyatakan oleh S.H. Mintardjo dalam salah satu novelnya.
6.
Makam
Bathoro Kathong, Sentono, Ponorogo
Kami semua sampai ke makam Bathoro Kathong
Ponorogo pas waktu Dhuhur. Bathoro Kathong merupakan ayah dari Nyai Ageng
Kaliwungu dan salah satu mertua dari Sunan Tembayat/Sayyid Kasan Nawawi (Sunan
Pandanaran II), Klaten, Jawa Tengah. Tepat di utara makam Bathoro Kathong,
terdapat ke-4 makam istri beliau. Sementara itu, berada di selatan makam
Bathoro Kathong terdapat makam Ki Ageng Mirah yang kata juru kuncinya merupakan
seorang ulama yang sangat ampuh.
7.
Makam
Kyai Ageng Muhammad Besari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo
Kami semua shalat Dhuhur di “Masjid Jami
Kyai Ageng Muhammad Besari” Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Di tempat ini, kami
juga berziarah ke makam Kyai Kasan Besari, yakni cucu Kyai Ageng Muhammad
Besari yang menjadi guru dari Raden Ngabehi Ronggowarsito (Pujangga Terakhir
Kerajaan Surakarta).
8.
Makam
Syaikh Basyaruddin Bolorejo, Tulungagung
Syaikh Basyaruddin merupakan putra dari Syaikh
Abdurrohman. Syaikh Basyaruddin dan Syaikh Abdurrohman (ayahnya) juga
dimakamkan di arel makam Srigading, Kauman, Tulungagung.
Sebenarnya,
masih ada dua makam tokoh yang akan kami ziarahi saat ini, yaitu: (1) Makam
Kyai Ageng Donopuro Wonokreto, Sentono, Jetis, Ponorogo; dan (2) Makam Syaikh
Ahmad Cimande, Kunir Wonodadi Blitar. Ada beberapa alasan hingga kami semua
Komunitas Pecinta Bumi Sekardangan (KPBS) tidak berziarah ke makam tersebut.
Alasan itu antara lain:
Pertama,
Makam Kyai Ageng Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari) tidak saya
ziarahi karena yang memegang penuh areal Masjid Baiturrohman (peninggalan Kyai
Ageng Donopuro, Kyai Ageng Wongsopuro, dan Kyai Ageng Noyopuro) adalah orang yang terkadang mengharamkan ziarah kubur. Dan kalau banyak yang
berziarah kubur di areal makam Kyai Ageng Donopuro terkadang juga tidak
diperbolehkan. Bahkan mengucapkan "Amiin.. Amiin.. Amiin" dengan keras di makam Kyai Ageng Donopuro pun juga tidak diperbolehkan. Padahal Kyai Ageng Donopuro itu juga merupakan leluhur saya. Inilah
yang saya prihatinkan secara pribadi. Silsilah saya adalah: (1) Kyai Ageng Donopuro, berputra; (2) Raden Taklim, berputra; (3) Kyai Muhammad Kasiman, berputra; (4) Kyai Syakban Gembrang Serang, berputra; (5) Kyai Muhammad Asrori, berputra; (6) Nyai Tsamaniyah Muhtar, berputra; (7) Nyai Artijah Thahir, berputra; (8) Mbah Tamam Thahir, berputra; (9) Arif Muzayin Shofwan.
Kedua, makam Syaikh Ahmad
Cimande Kunir, Wonodadi, Blitar tidak kami ziarahi sebab kami sudah kemalaman
untuk ziarah ke makam tersebut. Kami sampai di Kunir sudah waktu Maghrib. Kami
tidak merasa enak, bila pada waktu-waktu tersebut berziarah ke makam Syaikh
Ahmad Cimande. Akhirnya kami teruskan perjalanan mencari makan malam di barat
Rumah Sakit Mardi Waluyo Blitar. Karena rasa lapar yang sudah sangat, kami semua makan dengan lahap di Warung Barat Rumah Sakit Mardi Waluyo tersebut, kecuali Mbah Haji Agung yang saat itu melakukan puasa. Kalau hari kemarin yang berpuasa Mas Muhammad Hafidz (yang saya sebut Sunan Kunting), sekarang yang melakukan puasa adalah Mbah Haji Agung. Alhamdulillah, group ini ada yang kuat puasa dan tirakat. Dan satu lagi yang tidak ikut makan malam ini, yaitu Mas Dian Kebo (yang saya sebut Ki Kebo Marcuet) sebab dia tidak ikut pulang ke Blitar. Namun singgah di Pogalan, Trenggalek di tempat istrinya. Kata Mas Dian Kebo: "Saya harus singgah ke rumah istri saya. Nyi Ageng Kebo Marcuet" (dikatakan saat berada di dalam mobil ELEP. Hehehe).
Mungkin ini
saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa
selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha
Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha
Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar)
saya ini. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, yakni berziarah ke berbagai
makam leluhur dan semuanya saja, selalu membawa berkah sepanjang zaman, di
kehidupan dunia dan akhirat. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu merahmati para
cikal-bakal dusun Sekardangan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, propinsi
Jawa Timur. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati KOMUNITAS PECINTA BUMI
SEKARDANGAN (KPBS). Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin.
“If you can dream it you can do it”
(Jika
kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Petilasan Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat/Sunan Pandanaran II (Dokumentasi, 2018) |
Mas Sidik Satreyan berfoto di depan makam Kyai Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro Sukoharjo-Solo Raya, yang diyakini sebagian orang sebagai cikal-bakal Kanigoro-Blitar (Dokumentasi, 2018) |
Bersama Mbah Widodo (juru kunci makam Kyai Purwoto Sidik Sukoharjo) dan Mas Iman Widodo (Pelatih Pencak Silat Pagar Nusa Bayat), Mbah Agung, Mbah Sugeng (Dokumentasi, 2018) |
Makam Kyai Kasan Besari Tegalsari Ponorogo Guru dari Raden Ngabehi Ronggowarsito (Dokumentasi, 2018) |
Berziarah ke makam Bathoro Kathong Ponorogo (Dokumentasi, 2018) |
Arif Muzayin Shofwan dan Mas Komaruddin dalam areal makam Syaikh Basyaruddin Srigading Kauman Tulungagung (Dokumentasi, 2018) |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang dalam komunitas
Padepokan Padang Jiwo sering dijuluki “Ki
Bagus Arief” dan dalam komunitas lain sering disebut “Mbah Pasarean” atau “Mbah Sambang
Kuburan” atau “Ki Bagus Dupo Wangi”
atau “Ki Bagus Menyan Arab” ini
beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan,
Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun
2017 bersama kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I.,
Lussy Ana Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad
Miftakhul Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat
sebagai Tim Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama
(UNU) Blitar dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata
Keluarga Islam; (2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran
Islam; dan (4) Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan
penggagas dan inisiator pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS)
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang
yang sering mengikuti berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi
lintas agama baik lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar