Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Ki Kebo Kanigoro (Ki Ageng Purwoto Sidik)
memang spiritualis misterius. Beliau merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V.
Yakni anak dari Retno Pambayun Binti Brawijaya V yang dinikahi oleh Sri
Makurung Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh) yang makamnya berada di
Pengging, Boyolali”
(Shofwan,
2018)
Pemandangan yang memperlihatkan hampir semua benda
yang ada di kompleks Makam Ki Ageng Pengging Sepuh Boyolali. Makam Roro Endang
Widuri (Roro Sekar / Roro Tenggok) agak terpisah ada di ujung sana. Dalam kisah
“Nagasasra dan Sabuk Inten” karya
S.H. Mintardja, gadis bernama Roro Endang Widuri (Roro Sekar/ Roro Tenggok;
Pen) adalah anak Ki Kebo Kanigoro (Ki Ageng Purwoto Sidik), dan Roro Endang Widuri
kemudian menikah dengan Arya Salaka atau Ki Gede Banyubiru.
Berikut ini foto “Kitab Manuskrip Kuno” (lihat di bawah tulisan ini nantinya) dan
merupakan kitab kuno Sunan Tembayat tahun 1443 Saka yang dibawa oleh Raden Ayu
Linawati Djojodiningrat Solo sebagai sumber data yang menjelaskan bahwa Kyai
Ageng Purwoto Sidik / Ki Kebo Kanigoro memiliki anak bernama Ki Ageng Gribig
hingga menurunkan keturunan hingga kini.
Berdasarkan tulisan “Nagasasra dan Sabuk Inten” karya S.H. Mintardja[1]
dan “Kitab Manuskrip Kuno” Sunan
Tembayat tahun 1443 Saka yang dibawa oleh Raden Ayu Linawati Djojodiningrat
Solo tersebut dapat disimpulkan bahwa Kyai Purwoto Sidik atau Ki Kebo Kanigoro
(anak Ki Ageng Pengging Sepuh Boyolali) itu menikah dengan Nyi Gadhung Melati dan
memiliki beberapa putra-putri, antara lain:
1.
Ki Ageng Gribig I
(Pangeran Kedhanyang)
di Kota Malang. Dikisahkan oleh Mbah Kyai Zainuddin Sakri bahwa Mbah Wedok
bersama putrinya dulu sebelum pulang ke Solo Raya, Jawa Tengah, menyempatkan
diri berkunjung Kota Malang – Jawa Timur terlebih dahulu.
2.
Kyai Ageng Banyubiru
II
yang makamnya berada di Areal Makam Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II) Klaten,
Jawa Tengah merupakan putra dari Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro / Kyai
Putut Karang Jati) menurut informasi dari Raden Ayu Linawati Djojodiningrat
Solo.
3.
Roro Sekar / Roro
Tenggok / Roro Endang Widuri yang menikah dengan Arya Salaka atau Ki
Gede Banyubiru dan telah disebutkan oleh S.H. Mintardja sebagai putri sulung Ki
Kebo Kanigoro / Kyai Ageng Purwoto Sidik yang makamnya berada di dekat kakeknya
yakni Raden Sri Makurung Handayaningrat / Kyai Muhammad Kabungsuan II/ Ki Ageng
Pengging I (Sepuh) di Pengging Boyolali. Roro Endang Widuri inilah anak sulung
Ki Kebo Kanigoro dan Nyi Gadhung Melati yang sempat hilang ketika pergolakan
politik Demak-Pajang.
4.
Beberapa
keterangan atau riwayat menyatakan pula bahwa Ki Ageng Kebo Kanigoro atau Ki
Ageng Purwoto Sidik juga memiliki beberapa anak yang hijrah ke Bali dan
menurunkan beberapa keturunan di sana.
Demikianlah
kisah Ki Kebo Kanigoro, Nyi Gadhung Melati, Roro Sekar (Roro Tenggok / Roro
Endang Widuri) dan lainnya yang terkait dengan “Dusun Sekardangan” dan “Kelurahan
Kanigoro” (Blitar, Jawa Timur) khususnya. [] Yakni, era perpolitikan
Demak-Pajang, keluarga besar Ki Ageng Purwoto Sidik (Ki Ageng Kebo Kanigoro)
sempat terpisah hingga mereka mengembara ke berbagai daerah dan terdapat
petilasan-petilasannnya. Wallahu’alam.
Akhir kata, mungkin hanya ini catatan harian (cahar) saya
kali ini. Cahar ini hanya sebagai pengisi waktu di kala tidak ada
kegiatan-kegiatan yang lebih penting difokuskan. Jadi, karena sifatnya hanya
sebagai catatan harian berdasarkan hobi saya dalam mengkaji sejarah berbagai
orang tua, maka bila ada yang kurang komplit dalam hal ini, saya minta maaf
yang sebesar-besarnya khususnya kepada diri saya pribadi. Jadi, “SAYA MEMINTA
MAAF KEPADA DIRI SAYA PRIBADI. DAN ALHAMDULILLAH DIRI SAYA PRIBADI MEMAAFKAN
KESALAHAN SAYA”. Yah, suatu nikmat yang luar biasa apabila diri kita sendiri bisa
memaafkan diri kita. Diri saya sendiri bisa memaafkan diri saya sendiri. Yah, Semoga
dusun Sekardangan, sebuah tempat bersejarah yang telah melahirkan manusia yang
tukang mbambung seperti saya, selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Aamiin.
“If
you can dream it you can do it”
(Jika
kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria ini beralamatkan di Jl.
Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa
Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 bersama
kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I., Lussy Ana
Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad Miftakhul
Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat sebagai Tim
Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar
dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata Keluarga Islam;
(2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran Islam; dan (4)
Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan penggagas
pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS) Universitas
Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang yang sering
mengikuti berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi lintas agama
baik lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
[1] S.H. Mintardja, penulis buku sejarah rujukan
sekolah dan perintis cerita silat berdasarkan sejarah Jawa.
ko engga bisa dibaca gan. warna background nya begini
BalasHapusJaman boleh berubah akan tetapi mengerti sejarah dan budaya LELUHUR jgn di lupakan.
BalasHapusadanya masa kini dan nanti adalah pengaruh besar dari masa lalu...insha'allah kita semua senantiasa dalam lindungan Gusti Allah...insha'allah masa lalu bisa menjadi pelajaran dan suri tauladhan di langkah kita semua...jangan pernah melupakan sejarah...
BalasHapusBgmn dgn Mahesa Jenar ( Rangga Tohjaya?
BalasHapus