Oleh: Arif Muzayin Shofwan
(Peneliti Sejarah-sejarah Lokal Nusantara)
Pada abad 17
masehi, jauh sebelum berdirinya Masjid
Baitul Makmur yang diprakarsai oleh Mbah Kyai Imam Fakih pada tahun 1900
masehi, Sekardangan merupakan sebuah dusun yang di babat oleh beberapa tokoh
agung, di antaranya: Mbah Kyai Raden Atmo
Setro dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo
(makam di Gaprang), Mbah Kyai Raden
Suwiryo (makam di Gaprang), Mbah
Kyai Raden Tirto Sentono (makam istrinya di Gaprang), Mbah Kyai Raden Abu Yamin (makam di Gaprang), Mbah Kyai Raden Hasan Muhtar (makam di Gaprang), diteruskan
generasi berikutnya yakni Mbah Kyai Abu
Bakar, Mbah Kyai Barnawi, Mbah Kyai Wongsopuro (makam terlama di Barat
Masjid Baitul Makmur), Mbah Bontani dan
lain-lainnya.
Lebih jauh
dari masa para pembabat dusun di atas, (yakni, pada zaman peralihan Dinasti
Kerajaan Islam Pajang-Mataram seputar tahun 1580 masehi), konon Sekardangan
merupakan sebuah dusun yang diproklamirkan
atau didirikan oleh Ki Ageng Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro),
Nyi Gadhung Melati, dan Roro Sekar. Ketiga tokoh ini sering
disebut dengan “Mbah Sekardangan”
saja. Setelah ketiga tokoh tersebut mendirikan dusun Sekardangan, lalu kembali
pulang ke daerah asal dan makamnya berada di dusun Sarehan, Jatingarang, Weru, Sukoharjo - Solo Raya. Perlu diketahui
bahwa Ki Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng
Banyubiru I) merupakan guru spiritual Jaka
Tingkir atau Sultan Hadiwijaya
(Pendiri Kerajaan Islam Pajang). Di dusun Sekardangan, maka ditempat
pendirian “Monumen Petilasan” inilah,
ketiga tokoh tersebut dulu mendirikan sebuah Sanggar/Langgar(Gasebo) dari kayu dan bambu.
Selanjutnya,
seputar abad 17 masehi, seorang tokoh yang pertama kali mendirikan tempat
ibadah di dusun Sekardangan adalah Mbah
Kyai Barnawi. Tempat ibadah yang disebut “Langgar” ini dahulu berada di tengah-tengah dusun Sekardangan, yang
di tempat itu dulu ada “Sumber Mata Air”-nya.
Namun langgar itu hingga kini sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Tokoh kedua
yang mendirikan sebuah “Langgar”
adalah Mbah Kyai Abu Bakar (penerus
langgar Mbah Kyai Raden Hasan Muhtar).
Langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini, hingga kini masih berdiri sesuai dengan ciri
khas “Langgar Zaman Mataraman”,
yakni masih terlihat “Logo Mataraman”
berada di tembok pengimaman langgar sebelah Barat. Langgar ini juga masih
berhiaskan simbol-simbol bunga di atas setiap pintu ataupun jendela. Konon,
langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini dahulu dipakai sebagai sarana “Shalat Jum’at” warga dusun Sekardangan.
Di era ini pula, menyusul berdirinya langgar yang diprakarsai oleh Mbah Kyai Abdurrahman, Mbah Kyai
Zainuddin (penerus Mbah Kyai Raden Abu Yamin), dan beberapa
langgar yang lain.
Pada era
selanjutnya, seputar abad 18 masehi datanglah seorang dari Bagelenan, Jawa
Tengah yang bernama Mbah Kyai Imam
Fakih, menantu dari Mbah Kyai Abu Mansyur Kuningan. Beliau membeli tanah yang
luas tepat berada di pojok dusun Sekardangan bagian Selatan, paling Timur.
Sebagian tanah itu pada tahun 1900 masehi dijual pada Kompeni Belanda untuk
jalan trem kereta api pengangkut tebu. Dari hasil penjualan itulah, digunakan
sebagai modal untuk mendirikan sebuah pesantren
dan masjid yang sekarang diberi nama
“Masjid Baitul Makmur”. Ide
pendirian pesantren dan masjid tersebut disokong warga Sekardangan, baik
material, tenaga, pikiran dan lainnya. Tersebut pula pada seputar era ini, di antaranya:
Mbah Kyai Hasan Thohiran (sahabat perjuangan Mbah Kyai Imam Fakih), Mbah Kyai
Ahmad Dasuqi, Mbah Kyai Hasyim, Mbah Kyai Sadzali, Mbah Kyai Shobiri dan
lain-lain. Era-era selanjutnya, seputar abad 19-20 masehi telah muncul beberapa
tokoh kyai diantaranya; Mbah Kyai Romli, Mbah Kyai Abbas Fakih, Mbah Kyai
Mahfudz (pejuang syahid), Mbah Kyai Imam Mahdi, Mbah Kyai Hamzah, Mbah Kyai
Mahrus Yunus, Mbah Kyai Nasruddin, Mbah Kyai Zainuddin, dan lainnya.
(Dikeluarkan Oleh: PUSAT STUDI
SEJARAH SEKARDANGAN (PUSKAR) Sekardangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar