Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang
membutuhkan.”
(Anonim)
Minggu,
5 Maret 2017, kira-kira pukul 09.00 WIB, saya dan Keluarga Besar Midasapa Jaya
dan Sebagian Pengurus Muslimat NU Sekardangan berziarah ke makam Engkong
Bong Swie Hoo. Perlu diketahui bahwa Engkong Bong Swie Hoo merupakan
nama Chinese dari Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) Surabaya. Istilah “Engkong”
biasa dipakai orang China yang memiliki arti “Embah” atau “Eyang”.
Jadi, dengan menyebut “Engkong Bong Swie Hoo” sama dengan menyebut “Mbah
Bong Swie Hoo” atau “Eyang Bong Swie Hoo”. Dikisahkan bahwa Raden
Rahmatullah alias Engkong Bong Swie Hoo lahir pada tahun 1401 Masehi di Champa
(Kamboja). Beliau tiba di Jawa pada tahun 1443 Masehi. Dan pada tahun 1479,
beliau bersama Walisongo mendirikan Masjid Demak serta merencanakan berdirinya
kerajaan Islam pertama yang beribu kota di Bintoro Demak dengan mengangkat
Raden Fatah/ Raden Hasan alias Chen Jinwen atau Pangeran Tan Jin Bun sebagai
sultan/raja pertama.
Salah
satu versi menyatakan bahwa ayah dari Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel)
bernama Syaikh Maulana Malik Ibrahim/ Engkong Bong Tak Keng (menantu
Sultan Champa dan ipar dari Dewi Dwarawati) yang akhirnya disebut Sunan Gresik.
Namun diperjelas dalam versi lain bahwa Engkong Bong Tak Keng (Syaikh Maulana
Malik Ibrahim) adalah kakek Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel), bukan ayahnya.
Sedangkan ayah beliau adalah Syaikh Ibrahim Asmaraqandi di Gisik Harjo.
Tersebut dalam catatan Kronik Cina di Kelenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel memang
dikenal dengan sebutan Bong Swie Hoo. Beliau adalah cucu (yah; cucu
bukan anak lho) dari Engkong Bong Tak Keng (Syaikh Maulana Malik Ibrahim),
seorang Tionghoa, suku Hui beragama Islam madzhab Hanafi, yang ditugaskan
sebagai pimpinan komunitas China di Champa oleh Sam Po Bo. Engkong Bong Swie
Hoo memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari pihak ibundanya. Sedangkan leluhur
ayah dari Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel) merupakan trah Para
Haba’ib keturunan langsung dari Sayyid Ahmad Al-Muhajir Hadramaut.
Dengan demikian Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel) dari pihak ayah termasuk
keluarga besar Saadah Ba Alawi (Alawiyyah).
Adapun
istri dan putra-putri dari Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel/ Raden
Rahmatullah) dapat disebutkan dalam artikel ini, antara lain:
1. Istri
pertama bernama Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo
Tejo Al-Abbasyi, berputra:
1) Raden
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang/ Engkong Bong Ang)
2) Raden
Syarifuddin/ Raden Qasim (Sunan Drajat)
3) Siti
Syarifah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran, yakni istri dari Sunan Kudus
4) Siti
Mut’mainah
5) Siti
Hafsah
2. Istri
kedua bernama Dewi Karimah binti Ki Ageng Kembang Kuning Surabaya,
berputra:
1) Dewi
Murtasiyah, yakni istri dari Sunan Giri
2) Dewi
Murtasimah/ Dewi Asyiqah, yakni istri Raden Fatah/ Raden Hasan (Pangeran Tan
Jin Bun Sultan Demak Bintoro)
3) Raden
Husamuddin (Sunan Lamongan)
4) Raden
Zainal Abidin (Sunan Demak)
5) Raden
Maulana Hamzah (Pangeran Tumapel), merupakan ayah dari Raden Hasan Nawawi
(Sunan Tembayat/ Sunan Pandanaran II) Klaten, Jawa Tengah dan Sayyid Kalkum
Wotgaleh Ing Ponorogo alias Panembahan Agung/ Adipati Ponorogo II (anak angkat
Bathoro Kathong bin Brawijaya V/ Sunan Kathong/ Adipati Ponorogo I).
6) Raden
Fakih (Sunan Ampel II)
Salah satu wejangan dari Engkong Bong Swie Hoo (Sunan
Ampel/ Raden Rahmatullah) dalam “Kitab
Primbon Attasadhur Adammakna”
yakni sebuah kitab yang menerangkan cara-cara laku spiritual yang dihimpun oleh
RW. Soembogo, dan diterbitkan oleh Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, yang
ditujukan kepada anak cucunya dan para santrinya yang sedang melakukan
perjalanan spiritual, di antaranya:
1. Turua yen arep
nepsu! (Apabila muncul nafsu
keinginan hendaknya ditidurkan)
2. Nepsua yen arep
perang! (Apabila akan melakukan
perang melawan hawa nafsu hendaknya nafsu tersebut dikerahkan semua)
3. Peranga yen arep
mangan! (Apabila muncul keinginan
untuk makan hendaknya diperangi)
4. Mangana yen arep
lumaku! (Apabila akan bepergian
hendaknya makan secukupnya terlebih dahulu)
5. Lumakua yen arep
turu! (Apabila muncul rasa kantuk
hendaknya segera dipakai untuk berjalan-jalan).
Adapaun
ajaran falsafah dari Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel/ Raden Rahmatullah)
lainnya yang terkenal adalah “Falsafah Molimo” yakni “Moh” (tidak mau),
“Limo” adalah lima hal yang harus dihindari, antara lain:
1. Moh Mabuk, yakni tidak mau
minum-minuman keras yang memabukkan.
2. Moh Main, yakni tidak mau melakukan
permainan yang berupa taruhan, judi dan semacamnya.
3. Moh Madon, yakni tidak melakukan
zina dan sejenisnya.
4. Moh Madat, yakni tidak mau
menggunakan candu, narkoba dan semacamnya.
5. Moh Maling, yakni tidak mau mencuri,
merampok, korupsi dan semacamnya.
Ah, mungkin
ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini, sebagai kenangan pernah
berziarah ke makam Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel/ Raden Rahmatullah)
Surabaya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati kita semua. Mudah-mudahan
Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan
Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan
harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan niat baik dari rombongan Keluarga Besar
Midasapa Jaya dan Sebagian Pengurus Muslimat Nahdlatul Ulama Sekardangan yang
baru saja berziarah ke makam Engkong Bong Swie Hoo (Sunan Ampel/ Raden
Rahmatullah) di barat Masjid Ampel Surabaya selalu mendapat berkah melimpah
dari Tuhan Penguasa Alam semesta. Amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamiin. Semoga
demikian adanya.
“If you can dream it you can do it”
(Jika
kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Makam Engkong Bong Swie Hoo (Raden Rahmatullah/ Sunan Ampel) Surabaya |
Makam Engkong Bong Swie Hoo (Raden Rahmatullah/ Sunan Ampel) dan Nyai Condrowati binti Arya Tejo, istri pertama beliau. |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing,
maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam
bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW.
09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh
Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki
Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean”
(karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh
yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar