Rabu, 08 Maret 2017

BERZIARAH KE MAKAM MBAH KYAI IMAM FAKIH SANG PENDIRI PONDOK PESANTREN MIFTAHUL HUDA DAN MENELUSURI SEKILAS TOKOH SEKARDANGAN LAINNYA


Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Mbah Kyai Imam Fakih Sang Pendiri Masjid dan Pesantren

Jumat di malam hari, 3 Maret 2017, kira-kira pukul 20.00 WIB, Keluarga Besar Midasapa Jaya dan Sebagian Pengurus Muslimat NU Sekardangan berziarah ke makam Mbah Kyai Imam Fakih yang berada di sebelah barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03, RW. 09, Papungan, Kanigoro, Blitar. Mbah Kyai Imam Fakih merupakan seorang ulama yang berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah. Konon pada akhir (dalam jangka sudah agak lama kurang lebih 30 tahunan) daripada peperangan Pangeran Diponegoro, Mbah Kyai Imam Fakih lalu hijrah dan mondok di Pondok Pesantren Nurul Huda Kuningan, Kanigoro, Blitar (yakni; sebuah pondok panggung yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan Kuningan). Di pondok tersebut, Mbah Kyai Imam Fakih diambil menantu oleh Mbah Kyai Abu Mansyur Kuningan. Dengan demikian, Mbah Kyai Imam Fakih termasuk saudara ipar Syaikh Muhammad Sholeh Al-Kuningani, yakni seorang ulama tauhid penulis “Kitab Nata’ijul Afkar”, artinya buah-buah dari berbagai pemikiran tauhid beliau.

Pada tahun 1900 masehi Mbah Kyai Imam Fakih beserta para kiai dan warga dusun Sekardangan bergotong- royong dan berhasil  mendirikan sebuah pesantren sebagai pengajaran pendidikan Islam yang lebih maju daripada institusi-institusi sebelumnya. Konon, seorang ulama yang sering disebut-sebut banyak berjasa membantu perjuangan pendirian pesantren pada waktu itu adalah Mbah Kyai Kasan Thohiran. Diceritakan pula bahwa Kiai Kasan Thohiran ini masih merupakan keponakan Mbah Kyai Imam Fakih, yang konon juga berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah. (Catatan: Bila makam Mbah Kyai Imam Fakih berada di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan beserta para keturunannya, maka Mbah Kyai Hasan Thohiran dimakamkan di “Pesarean Umum Sekardangan” yang letaknya paling ujung Barat, yakni sebelah baratnya Mbah Kyai Tirto Sentono, yakni salah satu tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah-Barat).

Setelah Mbah Kyai Imam Fakih bersama-sama para warga masyarakat kala itu berhasil membangun sebuah pesantren, tiga tahun kemudian beliau berniat membangun sebuah masjid yang bisa digunakan untuk shalat Jumat warga. Kala itu, Kiai Imam Fakih menjual tanah miliknya kepada Handels Vereniging Amsterdam (HVA) untuk dijadikan sebagai jalan trem (jalan kereta api)  pengangkut tebu milik Belanda. Dari hasil penjualan tanah tersebut kemudian Mbah Kyai Imam Fakih menggunakannya untuk membuat sebuah masjid. Beliau juga mewakafkan sebagian tanah miliknya untuk dibanguni sebuah masjid tersebut. Maka, pada tahun 1903 masehi, berdirilah sebuah masjid pertama di dusun Sekardangan yang diberi nama Masjid Miftahul Huda, yang berarti tempat sujud yang menjadi pembuka petunjuk bagi manusia. Namun seiring berjalannya waktu, setelah masjid itu direhab pada tahun 1984, maka nama masjid tersebut diganti dengan sebutan Masjid Baitul Makmur, artinya tempat sujud sebagai rumah Tuhan yang selalu ramai untuk beribadah.

Dalam tulisan kecil ini, perlu disebutkan pula beberapa tokoh sentral kepemimpinan atau Ketua Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan, Kanigoro, Blitar, dari generasi ke generasi. Berikut kepemimpinan ta’mir masjid tersebut dari generasi ke generasi:

1.    Mbah Kyai Imam Fakih (1900 M – 1923 M)
2.    Mbah Kyai Imam Syadzali (1923 M – 1925 M)
3.    Mbah Kyai Ahmad Shobiri (1925 M – 1951 M)
4.    Mbah Kyai Abbas Fakih (1951 M – 1960 M)
5.    Mbah Kyai Imam Mahdi (1960 M – 1997 M)
6.    Mbah Kyai Muhammad Hamzah (1997 M – 2002 M)
7.    Mbah Kyai Mashudi (2002 M – sekarang), dan dibantu oleh Kyai Muhammad Munib (Ketua Ta’mir II) dan Kyai Saik Saiful Hadi (Ketua Ta’mir III).

Sebenarnya, masih banyak lagi beberapa tokoh yang berkecimpung dalam struktur kepengurusan Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan dari generasi ke generasi. Namun tulusan ini tidak akan membahas secara lengkap struktur kepengurusan dari generasi ke generasi yang dimaksud. Sebab sudah ada dokumen khusus yang telah mencatat hal tersebut secara lengkap dari kepengurusan Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Selain itu, artikel ini memang ditulis untuk maksud yang sangat global dan serba terbatas. Wallahua’lam Bishawab.

Sekilas Tokoh yang Mbabat Sekardangan 

Apabila generasi Mbah Kyai Imam Fakih dan Mbah Kyai Hasan Thohiran hingga saat tulisan ini ditulis masih menempati urutan generasi keturunan ke-3 sampai ke-5, maka beda lagi dengan tokoh yang akan saya terangkan berikut. Para keturunan tokoh Sekardangan yang akan saya sebutkan nanti menempati urutan generasi ke-7 sampai 9.  Jadi, para tokoh yang akan saya sebutkan nanti yang sering dianggap sebagai orang yang “MBABAT” dusun Sekardangan masa Kerajaan Islam Mataram (yakni; Era Pangeran Prabu Lodoyo Sang Pembawa Gong Pradah, Lodoyo-Blitar, tahun 1700-an Masehi. Dan hal tersebut dihitung dari generasi ke berapakah keturunan yang saat ini ada dari orang-orang/tokoh-tokoh dari trah keturunan Pangeran Prabu yang sezaman dengan Paku Buwono I). Di sini saya akan membedakan orang yang “CIKAL BAKAL” dan orang yang “MBABAT” dusun atau desa. Sebab memang keduanya berbeda. Adapun sekelumit kisah tentang para tokoh yang dikisahkan oleh para sesepuh sebagai orang yang “MBABAT” dusun Sekardangan pada tahun 1700-an, antara lain:

1.   Mbah Kyai Atmo Setro
Beliau inilah tokoh yang “MBABAT” dusun Sekardangan dan yang konon menancapkan sebuah tongkat di tengah-tengah dusun Sekardangan hingga akhirnya tongkat tersebut melesat terbang ke Sekardangan bagian Selatan. Istri beliau seorang bakul jamu dari Ponorogo. Dia memiliki menatu yang bernama Mbah Ahmad Darim yang nantinya berganti nama dengan gelar Mbah Kyai Setro Kromo. Lha, Mbah Ahmad Darim (Mbah Kyai Setro Kromo) sendiri berasal dari Gajah-Papungan, yang juga masih saudara Mbah Kyai Setrojati (tokoh yang mbabat dusun Gajah; saat ini dijadikan nama jalan menuju balai desa Papungan). Mbah Kyai Setro Kromo memiliki empat anak, dan salah satunya menikah dengan anak dari Mbah Kyai Abu Yamin (Mbah Kyai Abdurrohim) yang konon dulu berasal dari Lodoyo-Blitar. Tokoh-tokoh ini semua dimakamkan di “Pemakaman Kuno” desa Gaprang bagian Elor. 

2.    Mbah Kyai Hasan Muhtar
Mbah Kyai Kasan Muhtar merupakan pendiri langgar pertama di Sekardangan bagian Utara. Keberadaan langgar yang beliau dirikan tersebut hingga kini sudah tidak ada bekasnya. Akan tetapi, beliau memiliki menantu bernama Mbah Kyai Abu Bakar yang meneruskan tongkat estafet pengajaran pendidikan Islam. Mbah Kyai Abu Bakar juga mendirikan sebuah langgar yang konon pada zaman Sekardangan belum memiliki sebuah bangunan masjid, langgar itulah yang dipakai untuk shalat Jum’at warga masyarakat. Setelah Mbah Kyai Kasan Muhtar dan istrinya wafat, jasad keduanya dimakamkan di “Pemakaman Kuno” Gaprang bagian Selatan, sebab pada masa itu dusun Sekardangan belum memiliki tempat pemakaman tersendiri. Di pemakaman kuno Gaprang, makam beliau berada paling Timur sendiri. Sementara itu, setelah Mbah Kyai Abu Bakar wafat, jasad beliau dimakamkan di “Pemakaman Keluarga” sebelah Barat langgar yang beliau dirikan berjarak kurang lebih seratus meter, yang di situ juga dimakamkan seorang tokoh kuno pula yang bernama Mbah Menthel. Konon hewan yang dipakai tunggangan Mbah Kyai Hasan Muhtar dulu adalah seekor macan.

3.    Mbah Kyai Abu Yamin (Mbah Kyai Abdurrohim)
Mbah Kyai Abu Yamin merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah-Barat bersama dengan Mbah Kyai Tirto Sentono. Mbah Kyai Abu Yamin (Mbah Kyai Abdurrohim) memiliki tiga anak yang semuanya juga membangun sebuah langgar sebagai tempat beribadah kepada Tuhan. Tiga anak tersebut adalah: (1) Mbah Kyai Abdurrahman; (2) Mbah Kyai Zainuddin; dan (3) Mbah Nyai Maryam (istri Mbah Kyai Barnawi, yakni seorang ulama yang mendirikan tempat ibadah pertama dan yang “MBABAT” dusun Sekardangan bagian Selatan bersama tokoh-tokoh lainnya). Setelah Mbah Kyai Abu Yamin (Mbah Kyai Abdurrohim) dan istrinya wafat, keduanya dimakamkan di “Pemakaman Kuno” Gaprang bagian Selatan, sebab pada waktu itu dusun Sekardangan belum memiliki tempat pemakaman sendiri. 

4.    Mbah Kyai Tirto Sentono
Diceritakan bahwa Mbah Kyai Tirto Sentono juga merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah bersama Mbah Kyai Abu Yamin (Mbah Kyai Abdurrohim). Diperkirakan, apabila Mbah Kyai Abu Yamin mbabat dusun Sekardangan Tengah sebelah Barat (yang bagian Utara), maka Mbah Kyai Tirto Sentono mbabat Sekardangan Tengah sebelah Barat (yang bagian Selatan). Konon Mbah Kyai Tirto Sentono juga memiliki saudara yang dimakamkan di Puncak Gunung Pegat (utara kecamatan Srengat). Setelah Mbah Kyai Tirto Sentono wafat, jasadnya dimakamkan di “Pemakaman Umum” dusun Sekardangan. Sementara istri Mbah Kyai Tirto Sentono menurut Bapak Muhari (Pemilik Patria Buah Kota Blitar) dimakamkan di “Pemakaman Kuno” Gaprang bagian Selatan.

5.    Mbah Kyai Suwiryo Diningrat
Dikisahkan bahwa Mbah Kyai Suwiryo ini merupakan tokoh yang “MBABAT” dusun Sekardangan bagian Utara da paling Timur. Saya belum mempelajari dari keturunan beliau tentang sekelumit atau secara keseluruhan dari kisahnya. Setelah wafat, jasad beliau dimakamkan di “Pemakaman Kuno” desa Gaprang bagian Utara, dan berada paling ujung Barat-Utara.

6.    Mbah Kyai Barnawi
Dikisahkan bahwa Mbah Kyai Barnawi merupakan menantu dari Mbah Kyai Abu Yamin yang konon merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Selatan, sebelah Utara jalan. Beliau inilah salah satu kyai yang mendirikan tempat ibadah berupa langgar pertama yang berada di dusun Sekardangan bagian Selatan. Hingga buku ini ditulis, langgar yang didirikan Mbah Kyai Barnawi tersebut sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Konon puing-puing pondasi mushalla (langgar) yang dibangun Mbah Kyai Barnawi tersebut dulunya dipugar dan digunakan sebagai tambahan membuat pondasi Masjid Baitul Makmur. Tidak diketahui secara jelas di mana makam Mbah Kyai Barnawi berada. Namun diperkirakan Mbah Kyai Barnawi dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur yang memang sejak dulu banyak bekas-bekas makam muslim yang sudah tidak dirawat oleh generasi berikutnya. Ada yang  menyatakan bahwa makam Mbah Kyai Barnawi berada di makam umum dusun Sekardangan. (Hingga kini, ada beberapa makam lama di sebelah barat Masjid Baitul Makmur yang berada paling Selatan sudah tidak lagi dirawat oleh trah keturunannya. Hal ini mungkin para keturunannya sudah tidak tahu menahu).

7.    Mbah Kyai Bontani
Tak diketahui secara pasti tentang bagaimana kisah Mbah Kyai Bontani yang makamnya berada di bawah “Pohon Jenar” sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Namun dari keterangan beberapa sesepuh, Mbah Kyai Bontani juga merupakan salah satu tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Selatan, sebelah Selatan jalan. Diceritakan pula bahwa Mabh Kyai Bontani memiliki saudara yang berada di daerah Talun dan dituakan di desa tersebut. Hingga saat artikel ini ditulis, keberadaan makam Mbah Kyai Bontani dan istrinya masih dirawat dengan baik oleh generasi keturunan berikutnya.

8.    Mbah Kyai Wongsopuro
Mbah Kyai Wongsopuro yang sering disebut “Mbah Sopuro” ini konon berasal dari Lodoyo yang hidup sezaman dengan Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) dan Raden Sutro Menggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) Lodoyo. Ada kisah menarik bahwa wirid yang diamalkan Kiai Sopuro berbunyi “Huk-Huk-Huk” dari kata “Huwa-Huwa-Huwa’, yang artinya Dia-Dia-Dia. Setelah Mbah Kyai Sopuro wafat, jasadnya dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur. Konon ketika Mbah Kyai Sopuro wafat, Masjid Baitul Makmur juga belum didirikan. Dan lokasi Barat Masjid Baitul Makmur tersebut diperkirakan sebagai areal pemakaman yang sudah ada sejak zaman tokoh “CIKAL BAKAL” dusun Sekardangan, yang makamnya berada di Sukoharjo-Solo, Jateng. (Di sinilah saya membedakan tokoh yang “MBABAT” dan tokoh yang “CIKAL BAKAL” memang berbeda). Ada banyak bukti dan informasi bahwa sebelum Masjid Baitul Makmur didirikan, terdapat banyak makam muslim di Barat masjid tersebut yang sudah tidak dirawat oleh generasi berikutnya.

Catatan: Point ke-6, 7, dan 8 (yakni Mbah Kyai Barnawi, Mbah Kyai Bontani, dan Mbah Kyai Wongsopuro masa hidupnya masih di bawah para tokoh pada point ke-1, 2, 3, 4, dan 5, namun masih tetap di atas masanya Mbah Kyai Imam fakih)

Sekelumit tentang Tokoh Cikal Bakal dusun Sekardangan

Sewaktu duduk di bangku Madrasah Aliyah, saya sering bertanya kepada para sesepuh dusun Sekardangan tentang apa kisah dari “Sadranan” atau “Petilasan” yang berada di Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan yang kurang lebih berjarak 200 meter. Mbah Yahdi menceritakan bahwa tokoh yang dulu mendirikan dusun Sekardangan bernama Nyai Gadhung Melati dan anaknya bernama Rara Sarionce (Rara Sekar Rinonce/Rara Tenggok/Endang Widuri; dalam studi saya). Mbah Yahdi menyatakan bahwa kedua tokoh ini kemudian kembali ke Solo-Jawa Tengah. Sependapat dengan Mbah Yahdi adalah Mbah Kyai Zainuddin yang juga menceritakan bahwa dulu Mbah Wedok (Mbah Gadhung Melati) membangun rumah (ngedegne omah; bhs Jawa) di tempat yang saat ini jadi petilasan/sadranan. Kata Mbah Kyai Zainuddin (Mbah Kyai Sakri) bahwa tokoh ini akhirnya pulang ke Solo-Jawa Tengah. Namun sebelum Mbah Wedok (Nyai Gadhung Melati) pulang ke Solo, beliau terlebih dulu pergi ke Malang-Jatim. (Yang kemungkian bersambang ke rumah anaknya yaitu Ki Ageng Gribig I/ Pangeran Kedhanyang).

Mbah Mayar seorang yang merawat dan melestarikan “Petilasan” atau yang lazim disebut “Sadranan” menceritakan dari Bapaknya Mbah Markalam yang menyatakan bahwa Mbah Wedok (Nyai Gadhung Melati/Mbah Nyai Kardinah) setelah hidup dan mendirikan dusun Sekardangan kemudian kembali lagi ke Solo-Jawa Tengah. Dan banyak para sesepuh dusun Sekardangan yang menyatakan bahwa Mbah Wedok dan anaknya kembali ke Solo-Jawa Tengah menyusul suaminya yang terlebih dahulu kembali ke sana. Hanya saja, ada beberapa nama yang hingga saat ini masih memiliki beragam versi tentang Nyai Gadhung Melati/ Nyai Kardinah. Ada yang mengatakan nama lain beliau adalah Nyai Sekardani, Nyai Sekartaji, dan lainnya. Selain itu, sebagian sesepuh juga menyatakan bahwa Nyai Gadhung Melati dan Rara Sarionce anaknya ada kaitan dengan “Petilasan Jati Kurung” Kanigoro.

Namun entah nama alias beliau yang ini dan itu, tidak menjadi sebuah masalah. Dan kalau memang kedua tokoh tersebut benar-benar kembali ke Solo, ada kemungkian pusat pemerintahan era beliau berada di Solo-Jateng. Dalam penelusuran saya, bila namanya adalah Nyai Gadhung Melati dan Rara Sarionce (Rara Tenggok), maka makam beliau berada di belakang masjid di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo. Makam beliau berdekatan dengan suaminya yang bernama Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru). Dan terkait masalah pohon yang dipakai tetenger atau sandi (tanda) oleh Kyai Purwoto Siddiq, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Tenggok adalah Pohon Jati dimanapun berada, termasuk di “Petilasan Jati Kurung” Kanigoro, Pohon Jati Kaligayam, Pohon Jati Bedug, Pohon Jati Gerot, Jati Dogong dan lain-lainnya, hingga beliau juga dimakamkan di desa Jatingarang (dengan istilah "Jati"). (Inilah yang banyak saya kaji dari tetenger atau sandi-sandi yang dipakai tiga tokoh: Nyai Gadhung Melati, Rara Sekar Rinonce (Rara Sari Once) dan Ki Kebo Kanigoro/ Kyai Purwoto Siddiq diberbagai tempat).

Mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati kita semua. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan harian (cahar) saya ini. Mudah-mudahan niat baik dari rombongan Keluarga Besar Midasapa Jaya dan Sebagian Pengurus Muslimat Nahdlatul Ulama Sekardangan yang baru saja berziarah ke makam Mbah Kyai Imam Fakih di barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan selalu mendapat berkah yang melimpah dari Tuhan Penguasa Alam semesta. Amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamiin. Semoga demikian adanya.

 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
 
Cungkup Areal Makam Mbah Kyai Imam Fakih di Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur (Sumber: www.inilahblitar.blogspot.com).
Makam Mbah Kyai Atmo Setro berada di "Pemakaman Kuno" desa Gaprang bagian Utara (Dokumentasi, 2016).
Makam Mbah Kyai Abu Yamin/ Mbah Kyai Abdurrohim di "Pemakaman Kuno" desa Gaprang bagin Utara (Dokumentasi, 2016)
 
Makam Mbah Kyai Tirto Sentono setelah dibangun pihak keluarga, dan berada di Barat makam Mbah Kyai Tirto Sentono, yakni makam paling ujung Barat adalah makam Mbah Kyai Hasan Thohiran (keponakan dan tokoh yang sering disebut-sebut sebagai teman seperjuangan Mbah Kyai Imam Fakih dalam mendirikan masjid dan pesantren) dan Nyai Saniyah istrinya.
Petilasan Jati Kurung berada di Kanigoro, pohon Jati merupakan pohon yang lazim dipakai Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru) di berbagai tempat yang beliau singgahi/tempati. (Dokumentasi, 2016)
Langgar Kuno Mbah Kyai Abu Bakar Sekardangan bagian Utara.
Makam Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) di dekat Masjid dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo, Jateng.




Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar