Senin, 06 Maret 2017

BERZIARAH BERSAMA KELUARGA BESAR MIDASAPA JAYA DAN SEBAGIAN PENGURUS MUSLIMAT NU SEKARDANGAN DI MAKAM “BATU AMPAR” SAMPANG, MADURA



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Di pagi hari Sabtu, 4 Maret 2017, sekitar pukul 06.00 WIB, saya bersama rombongan Keluarga Besar Midasapa Jaya dan Sebagian Pengurus Muslimat NU Blitar telah sampai di Makam “Batu Ampar” Sampang, Madura. Sesampai di tempat tersebut, saya bersama rombongan mengadakan “Ritual Agung Sarapan Pagi” di depan petilasan Syaikh Muhammad Romli (Mbah Kyai Romli). Tampaknya, sarapan pagi tersebut dengan hidangan sesajen lalapan kubis plus kemangi dengan sambal tomat. Adapun lauk-pauknya berupa ikan Lele dan Mudjair (Pak Mudjair, penemu ikan Mujair ketepatan makamnya berada di desa kami). Minumannya berupa teh manis botol dan aqua gelas plus botol tanggung. Tinggal pilih mana saja yang disukai. Bagi yang punya penyakit diabetis (kencing manis) bisa memilih air aqua yang tawar, dan bagi yang tidak punya keluhan penyakit tersebut bisa memilih minuman teh manis botol. Dan bagi yang tidak ingin minum, bisa tidak memilih dari salah satu dari kedua minuman tersebut. Enak kan?. Hehehe.

Oya, dalam tradisi Jawa biasanya ada istilah “Kirata Basa” yakni dikira-kira pokok cetho/jelas/mathuk, walau perkiraan tersebut kadang tidak jelas/konyol. Hehehe. Oleh karena itu, saya ingin meng-Kitara-Basa-kan menu sarapan pagi di depan petilasan rumah Syaikh Muhammad Romli (Batu Ampar) tersebut.

Pertama, lalapan “kubis” artinya sebelum sarapan pagi kudu Bismillah. 

Kedua, lalapan “kemangi” artinya ojo siro kewaregen mangan, sebab iso marakne gampang ngising (maaf; kata tersebut terlalu jorok, bisa diganti berak/buang air besar). Sebab kalau dalam perjalanan jauh seperti ke Madura, kita selalu ingin saja kudu berak/buang air besar alias “ngising”, iya tentu banyak merepotkan Pak Sopir dan teman-teman lainnya. Iya kan?. (Khusus yang “kemangi” ini, saya mohon maaf sebab tidak bisa meng-Kirata Basa-kan dengan kata-kata yang lebih halus dan indah dari hal di atas).

Ketiga, istilah “tomat” artinya apabila akan berzikir ke makam Auliya/Para Waliyullah harus terlebih dahulu tobat dari maksiat. (Kayak judul lagu salah satu Band di Indonesia).

Keempat, lauk pauknya berupa ikan “Lele” artinya lek wis bar mangan ayo podo leleyehan dhisik. (Plus sinambi rokokan bagi yang suka). 

Kelima, lauk pauknya berupa ikan “Mujair” artinya sakwuse muangan (istilah “muangan” dengan tambahan huruf “u” berarti mangan tenanan) terus njaluk air (untuk diminum agar tidak kesereten). Lha, pilihan air minuman pagi itu ada dua macam, yaitu air teh botol dan air putih, hal ini menunjukkan bahwa dalam hidup ini, seseorang pasti ada pilihan-pilihan. Seseorang boleh memilih hidup yang manis atau yang tawar. 

(Hehehe. Cukup di sini saja dalam saya mempraktekkan “Ilmu Kirata Basa” yang menjadi bagian dari mata pelajaran Bahasa Jawa yang saya ampu. Hehehe. Ya, karena namanya saja “Kirata Basa” rumusnya iya cumak satu yaitu: dikira-kira pokok cetho/mathuk antara penggalan kata dengan penggalan kata lainnya. Ya, salahnya sendiri saya harus mengajar Bahasa Jawa yang ada “Kirata Basa”-nya. Konon, siapa yang bisa mengamalkan ilmu, maka Allah akan memberikan ilmu lainnya yang lebih tinggi. Amiin. Hehehe).

Yah, kembali fokus kepada tokoh yang diziarahi di Makam “Batu Ampar” Sampang, Madura. Konon areal makam “Batu Ampar” Sampang Madura, sejak dahulu kala merupakan tempat untuk uzlah atau mengasingkan diri para Waliyullah dari keramaian masyarakat agar mereka dapat berfokus berzikir dan menghadap kepada Allah swt. Ada banyak tokoh yang dimakamkan di areal Makam “Batu Ampar” Sampang, Madura tersebut, antara lain:

1.    Syaikh Abdul Manan (Bujuk Kesambi)
2.    Syaikh Basyaniyah (Bujuk Tumpeng)
3.    Syaikh Abu Syamsuddin/ Syaikh Su’adi (Bujuk Lathong).
Dikisahkan bahwa Syaikh Abu Hasan (di Kuningan, Kanigoro, Blitar, Jatim) masih “NAK NDULUR” dengan Syaikh Abu Syamsuddin (Batu Ampar) ini. Lha istilah “NAK NDULUR” inilah yang saya masih kurang tahu. Apakah yang dimaksud “NAK NDULUR” itu berarti; saudara kandung; saudara sepupu (misanan; Jw); saudara ipar; atau saudara apalah namanya, saya hingga saat ini juga masih belum tahu. (Dikisahkan oleh Mbah Kyai Ali Amir Gaprang, Mbah Kyai Zainuddin Sekardangan, dan lainnya).
4.    Syaikh Husain
5.    Syaikh Muhammad Romli
6.    Syaikh Damanhuri
7.    Beserta para keturunan para tokoh di atas dan lainnya.

Adapun istilah “Bujuk” artinya adalah sesepuh atau cikal bakal tempat di mana beliau mbabat desa/dusun atau tempat tersebut. Demikian jawaban kawan saya yang bernama Mas Romadhon AS (Asluhu Sampang) yang saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Kanjuruhan Malang (UNIKAMA) dan Mas Mukhtir alumni Magister/S2 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Bila saja istilah “Bujuk” berarti demikian, maka padanan/persamaan istilah dalam tradisi Jawa adalah “Dhanyang” artinya cikal-bakal atau yang mbabat suatu tempat, desa, dusun, dan semacamnya. Misalnya kata “Bujuk Kesambi” berarti sesepuh yang cikal-bakal daerah Kesambi. “Bujuk Tumpeng” berarti sesepuh yang cikal-bakal daerah Tumpeng. “Bujuk Lathong” artinya sesepuh yang cikal-bakal daerah Lathong. Di Madura sebenarnya ada banyak ratusan makam seorang “Bujuk” atau “Dhanyang” (dalam istilah Jawa), namun hanya makam “Bujuk” tertentu saja yang diziarahi orang dari luar Madura karena dipercaya memiliki keistimewaan tertentu pula.

Saya ingat pada saat mengaji “Kitab Hikam” karya Syaikh Ibnu Athoillah as-Sakandari kepada Mbah Kyai Nasruddin (salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Sekardangan) yang mengatakan bahwa kalau seseorang memiliki hajat yang penting, sebaiknya berziarah dan menghatamkan Al-Qur’an di Makam “Batu Ampar” Sampang, Madura. Mbah Kyai Nasruddin juga bercerita bahwa beliau dahulu berziarah ke Makam “Batu Ampar” dengan berjalan kaki dari Blitar ke Madura, dan di sana beliau menghatamkan Al-Qur’an dengan niat/hajat bisa berhaji ke Makah sebelum beliau menikah. Dan Kyai Nasruddin Sekardangan mengucapkan syukur terima kasih kepada Allah karena cita-cita beliau berhaji di Makah dikabulkan pada saat beliau belum menikah. Inilah kisah dari guru/kyai saya yang bernama Mbah Kyai Nasruddin Sekardangan, Kanigoro, Blitar.

Lain lagi dengan hal di atas, guru saya yang bernama Mbah Kyai Zainuddin Bin Kyai Ahmad Dasuki (menantu Mbah Kyai Ridwan Karangsono) yang bermukim di dusun Sekardangan mengatakan bahwa kebiasaan orang yang berziarah ke Makam “Batu Ampar” Sampang Madura adalah menghatamkan Al-Qur’an, sebab tokoh yang dimakamkan tersebut kebanyakan senang/hobi membaca wirid Al-Qur’an. Maka dari itu, di makam tersebut diharapkan bagi penziarah untuk memperbanyak menghatamkan Al-Qur’an. Mbah Kyai Nasruddin menambahkan pula bahwa apabila berziarah ke makam Auliya/Para Wali yang sangat hobi/gemar bershalawat, maka penziarah sebaiknya memperbanyak bacaan shalawat di makam tersebut. Hal ini pernah diamalkan oleh Mbah Kyai Hamzah (salah satu pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Sekardangan) di makam Mbah Kyai Dimyathi Baran, Selopuro, Blitar, yang memiliki kesukaan/hobi wirid shalawat.

Mbah Kyai Ahmad Dasuqi Sekardangan (ayah dari Mbah Kyai Zainuddin) mengatakan bahwa orang yang telah meninggal dunia itu ibarat orang yang pergi ke sawah. Apabila saat di rumah kesukaan orang tersebut makan nasi pecel, iya sebaiknya ketika di sawah iya dikirim nasi pecel. Jangan kesukaannya di rumah itu nasi pecel, malah ketika di sawah dikirim makanan lain yang tidak dia sukai. Begitu juga, ketika tokoh yang dimakamkan itu sewaktu di dunia memiliki hobi/kesukaan wirid shalawat, maka ketika dia telah wafat sebaiknya iya dikirim wirid shalawat. (Sama seperti kisah orang yang suka nasi pecel di atas). Inilah yang dikisahkan guru saya yang bernama Mbah Kyai Zainuddin Bin Ahmad Dasuqi kepada saya saat mengaji “Kitab Ta’limul Muta’allim” karya Syaikh Az-Zarnuji. Konon hal tersebut juga pernah disampaikan pula oleh Mbah Kyai Sibaweh Baghowi (pendiri Pondok Pesantren Al-Muslihuun, Tlogo, Kanigoro, Blitar).

Salah satu kyai yang pernah bertirakat selama dua puluh lima (25) tahun di makam “Batu Ampar” adalah Mbah Kyai Imam Hambali Arifin Sang Pendiri Majelis Zikrul Fatihin di Srengat, Blitar. Sayangnya, kyai yang di maksud telah meninggal dunia pada bulan September tahun 2016, dan dimakamkan di dalam kediaman rumahnya. Dan perlu diketahui bahwa Mbah Kyai Imam Hambali Arifin ini juga merupakan salah satu murid dari Mbah Kyai Raden Abdul Fattah (Sang Pendiri Pondok Pesantren Menara Al-Fattah, Mangunsari, Tulungagung, Jawa Timur). Dikisahkan bahwa Mbah Kyai Dimyathi Baran, Selopuro, Blitar, ketika ada orang Blitar yang ingin berziarah ke Makam “Batu Ampar” beliau selalu kirim salam kepada Mbah Kyai Imam Hambali Arifin tersebut. Mbah Kyai Dimyati Selopuro mengatakan: “Titip salamku marang wong sing biasa ning ngisor Al-Qur’an ning Makam Batu Ampar”. Yang dimaksud “wong sing biasa ning ngisor Al-Qur’an” iya Mbah Kyai Imam Hambali Arifin dari Srengat tersebut.

Tak jauh dari itu, Mbah Haji Abdul Fatah Sekardangan (yakni; sesepuh yang mengimami tahlil dalam ziarah rombongan kami ini) menceritakan bahwa beliau dulu pernah bertemu dengan Syaikh Muhammad Romli (Batu Ampar). Ceritanya, Syaikh Muhammad Romli mengatakan bahwa tahun depan Mbah Haji Abdul Fatah akan bisa berhaji ke Mekah. Mbah Haji Abdul Fatah sempat tidak percaya kata-kata atau ungkapan Syaikh Muhammad Romli tersebut. Sebab bagaimana mungkin tahun depan bisa berangkat haji, lha wong uang saja dia tidak punya gambaran. Lha ternyata, Mbah Haji Abdul Fatah tahun depannya benar-benar bisa naik haji atas biaya anaknya yang bernama Agus Mustaqim. Mbah Haji Abdul Fatah akhirnya benar-benar percaya bahwa “mukasyafah” Syaikh Muhammad Romli (Batu Ampar) benar-benar manjur, bisa terjadi dalam kehidupan ini, bukan hanya isapan jempol belaka. Mungkin ini salah satu karomah tokoh tersebut.

Ah, Saudara-saudari, mungkin hanya sampai di sini dulu catatan harian (cahar) saya kali ini. Mengenai kisah makam “Batu Ampar” lainnya bisa di googling pada situs-situs lain yang telah bertebaran di internet. Di internet ada yang menyatakan bahwa antara tokoh bernama Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al-Hasani (di Talango, Sumenep), para tokoh yang dimakamkan di “Asta/Makam Tinggi” Sumenep, tokoh yang dimakamkan di “Batu Ampar” Sampang Madura dan lainnya sebenarnya masih saling berkaitan. Oleh karena itu, silahkan bagi para pembaca untuk lebih rajin mengunjungi berbagai situs yang telah mengkaji tentang tokoh makam “Batu Ampar” Sampang Madura dan lainnya tersebut. Akhir kata, mudah-mudahan catatan harian (cahar) saya ini bermanfaat bagi saya pribadi dan umumnya bagi mereka yang senang tirakat, riadloh, ritual, dan kegiatan spiritual lainnya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Esa memberkati kita semua. Amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamiin.

 “If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Berfoto di depan Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Tempat penginapan para penziarah di Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Foto Makam Ibu Nyai Buyut Syaikh Syamsuddin Beruk di dalam areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
 
Salah satu tulisan yang terpampang di areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Salah satu tulisan yang terpampang di areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Makam Bujuk Toroy dalam areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Kitab Al-Qur'an dan Buku Yasin Tahlil yang terdapat dalam areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Penulis dan Gus Gundala usai dari makam, berada di depan petilasan rumah Syaikh Muhammad Romli yang biasanya untuk tempat makan rombongan (Dokumentasi, 2017)
Makam Syaikh Buddiman Bin Syaikh Syamsuddin Bujuk Beruk dalam areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)
Foto Makam KH. Ach. Fauzi Damanhuri dalam areal Makam Batu Ampar Sampang Madura (Dokumentasi, 2017)

Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

1 komentar: