Sabtu, 13 Juni 2020

MENELUSURI SEPERCIK KISAH MBAH WALI PAPAK BANYUWANGI DAN MBAH WALI TUGU BLITAR


Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Telah dikisahkan bahwa Mbah Wali Papak Banyuwangi dan Mbah Wali Tugu Blitar masih saudara se-ayah namun beda ibu. Keduanya sama-sama cucu dari Hamengku Buwono II”. (Shofwan, 2020)


          Saya memulai kisah ini dari Mbah Wali Papak (Kyai Ageng RM. Djojopernomo) Banyuwangi yang dahulu pernah bermukim di daerah Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar. Beliau merupakan cucu dari Hamengku Buwono II dimana putra beliau yang bernama GPH. Mangkudiningrat menikah dengan Raden Ayu Rustinah (anak Nyi Ageng Serang [Pahlawan Nasional]). Ketika Mbah Wali Papak sampai di Mbrebesmili Santren, beliau menjadi anak angkat Kyai Ageng Ponco Suwiryo (Sayyid Bukhori Mukmin). Dalam beberapa tulisan, putra dari Kyai Ageng Ponco Suwiryo ada 9 termasuk Mbah Wali Papak (putra angkatnya yang paling ditresnani). Berikut penjelasannya:

1.    Mbah Wali Papak (Kyai Ageng R.M. Djojopoernomo), pendiri Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU), hijrah dan wafat di Tojo, Temuguruh, Banyuwangi.
2.    Mbah Siddiq, hijrah dan wafat di Banyuwangi.
3.    Mbah Tabri, hijrah dan wafat di Banyuwangi
4.    Mbah Baurejo, hijrah di daerah Karangkates dan wafat di sana.
5.    Mbah Joyodiguno, hijrah dan wafat di Sumberpucung, Malang.
6.    Mbah Jayus (Wakil Wirid PAMU), hijrah dan wafat di Sumberpucung, Malang.
7.    Mbah Kandar, hijrah dan wafat di Kediri.
8.    Mbah Wiryontono, merupakan salah satu tokoh yang mbabat dan mendirikan masjid lama di Plosorejo, Kademangan, Blitar.
9.    Mbah Abdullah Sulaiman, wafat dan dimakamkan di Mbrebesmili, Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar.

Dikisahkan bahwa saat di Mbrebesmili Santren dahulu kala, Mbah Wali Papak konon sering berkunjung ke rumah adiknya yang beda ibu, yakni Mbah Wali Tugu. Lha, Mbah Wali Tugu (Sragi, Talun, Blitar) sendiri merupakan putra angkat dari Mbah Hasan yang termasuk tokoh pembabat desa tersebut. Dalam satu kisah bahwa memang Mbah Wali Tugu aslinya adalah juga cucu dari Hamengku Buwono II dari putranya yang bernama GPH. Mangkudiningrat yang memang sejak kecil dititipkan kepada Mbah Hasan tersebut. Dengan demikian, Mbah Wali Papak dan Mbah Wali Tugu itu adalah saudara seayah beda ibu. Dalam hal ini, penulis belum mendalami lebih jauh siapa ibu dari Mbah Wali Tugu. Namun ada sebuah kisah bahwa masa perjuangan itu memang ada konsep "Silem Trah" artinya kurang lebih membuang atau menyamarkan trah keturunan di masa perjuangan agar tidak diketahui oleh Belanda kala itu sebagai penjajah negeri ini. Wallahua'lam.

Dituturkan bahwa dalam hal keilmuan, apabila ada orang yang ingin berguru ilmu kepada Mbah Wali Tugu, maka Mbah Wali Tugu selalu menyarankan untuk berguru kepada Mbah Wali Papak. Mengapa?. Sebab dalam perjalanan hidupnya, Mbah Wali Tugu memang tidak pernah mengangkat seorang murid. Mereka semua yang biasa sarasehan ataupun sowan ke Mbah Wali Tugu dianggap sebagai “warga”, bukan sebagai “murid”. Karena ya itu tadi, Mbah Wali Tugu sekali lagi tidak pernah mengangkat siapapun sebagai muridnya.

Saat di Mbrebesmili Santren, selain Mbah Wali Papak sering berkunjung ke Mbah Wali Tugu, dikisahkan oleh Ki Bambang Yuwono Pasirharjo-Talun bahwa Mbah Wali Papak dahulu juga sering berkunjung ke rumah ayahnya di Kesamben-Blitar yang bernama Mbah Hasan Munajat. Selain itu pula, disebutkan pula bahwa Mbah Wali Papak juga sering berkunjung di daerah Nglegok. Bahkan tongkat Mbah Wali Papak ini dahulu juga berada di Nglegok-Blitar. Entah siapa sekarang yang membawa. Di Nglegok ini, yang sering disebut-sebut Pak Nur Abadin Mbrebesmili adalah Almarhum Mbah Mbeng. 

Begitulah kiranya sedikit tulisan sebagai "ijtihad" saya dalam menelusuri keterkaitan Mbah Wali Papak Banyuwangi dan Mbah Wali Tugu Blitar. Disebutkan dalam salah satu hadist Nabi SAW bahwa: "Ijtihad itu kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah akan mendapat satu pahala". Hehehe. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan ini bila terdapat hal yang salah. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, kegiatan kami Komunitas Balitara dan semuanya saja, selalu membawa berkah sepanjang zaman, di kehidupan dunia dan akhirat. Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Gambar Mbah Wali Papak (Kyai Ageng R.M. Djojopoernomo) Tojo, Temuguruh, Banyuwangi dan Sri Sultan Hamenku Buwono II.
 
Foto Mbah Wali Papak (Kyai Ageng R.M. Djojopernomo) Banyuwangi
 
Foto Mbah Wali Papak (Kyai Ageng R.M. Djojopernomo) Banyuwangi dengan salah satu ulama dengan surban berwarna hijau yang disampirkan di pundaknya dan yang saya belum tahu siapa beliau ini.
 
Makam Mbah Wali Papak (Kyai Ageng R.M. Djojopernomo) di Tojo, Temuguruh, Banyuwangi
 
Saya, Mas Aji, dan Mas Ari saat berziarah ke makam Mbah Hasan Munajat Kesamben-Blitar yang dikisahkan oleh Ki Bambang Yuwono Pasirharjo (Difoto oleh Mbak Ika, cucu Mbah Hasan Munajat Kesamben)


Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria ini pada tahun 2020 oleh Mbah Jawoko di Komunitas Balitara (Blitar) juga disebut dengan sebutan “Ki Sarkub” yang bisa diartikan Sarjana Kuburan atau Santri Kuburan. Bagi pria tersebut, kuburan merupakan tempat belajar untuk mengingat kematian. Sebab pada akhirnya semua manusia (kaya, miskin, cantik, tampan, pintar, bodoh, dan sebutan lainnya) akan mengalami kematian dan ada banyak kemungkinan akan dikubur di kuburan. Pria yang suka wedang kopi tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar