Kamis, 18 Oktober 2018

WIRID SULUK SUNAN TEMBAYAT


Wirid Suluk
SUNAN TEMBAYAT

Disusun oleh
Arif Muzayin Shofwan

Kata Pengantar
H. Muhammad Agung Priyokusumo



Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI SPIRITUAL”
Blitar - Jawa Timur

 


Judul Buku:
“WIRID SULUK SUNAN TEMBAYAT”
Disusun oleh:
Arif Muzayin Shofwan

Kata Pengantar
H. Muhammad Agung Priyokusumo

Penyunting: Sulaiman
Penyelaras Akhir: Ahmad Mansuri
Tim Kreatif: Muhammad Hafidz

Untuk Kalangan Sendiri

Cetakan Pertama, 2018

Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI SPIRITUAL”
Blitar - Jawa Timur

 

KATA PENGANTAR DARI MBAH HAJI MUHAMMAD AGUNG PRIYOKUSUMO

Segala puji hanya milik Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, para ahli bait dan sahabatnya. Dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Rukun agawe santosa. Crah agawe bubrah”, mungkin inilah kalimat yang seiring dan senafas dengan wejangan patembayatan wali agung Sunan Tembayat.

Dengan senang hati saya menyambut hadirnya buku berjudul “Wirid Suluk Sunan Tembayat” yang disusun oleh Saudara Arif Muzayin Shofwan ini. Saya sendiri sangat senang apabila patembayatan/pirukunan semua agama, bangsa, dan negara bisa terwujud di bumi Nusantara ini. Sudah seharusnya, wejangan Sunan Tembayat berupa “patembayatan/pirukunan” menjadi sebuah nilai yang harus disebarluaskan bersama.

Selain itu, saya juga merekomendasikan bagi penempuh spiritual agar membaca buku berjudul “Kitab Suluk Rumekso Ing Napas” yang saya susun bersama Saudara Arif Muzayin Shofwan. Sebab buku tersebut sangat mendukung bagi para penempuh tarekat yang ingin menata patembayatan lahir dan batin-nya. 

Blitar, 26 Juni 2018

(Mbah Haji Muhammad Agung Priyokusumo)

DAFTAR ISI

Judul Buku ~ 1
Kata Pengantar Dari Mbah Haji Muhammad Agung Priyokusumo ~ 3
Daftar Isi ~ 4
Bab I: Wejangan Sangkan Paraning Dumadi ~ 5
Bab II: Wejangan Syahadat Patembayatan ~ 7
Bab III: Wejangan Pambukaning Tata Malige Ing Baitul Muharom ~ 9
Bab IV: Wejangan di Puncak Jabalkat ~ 11
Bab V: Niat Ikut Menebar Nafas Patembayatan ~ 13
Daftar Bacaan - 16

BAB I
WEJANGAN SANGKAN PARANING DUMADI

Dalam “Serat Babad Demak” disebutkan tentang wejangan (petuah) Sunan Kalijogo kepada Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II/ Raden Kasan Nawawi) dalam bentuk Tembang Dhandanggulo berikut: 

Urip iku neng ndonya tan lami. Umpamane jebeng menyang pasar. Tan langgeng neng pasar bae. Tan wurung nuli mantuk. Mring wismane sangkane uni.
Ing mengko aja samar. Sangkan paranipun. Ing mengko podo weruha.Yen asale sangkan paran duk ing nguni. Aja nganti kesasar.”

Terjemahan Bebas:
Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Ibarat kita pergi ke pasar. Kita tidak akan selamanya di pasar. Tapi kita pasti akan pulang. Ke rumah asalnya. Janganlah kau ragu. Asal-mulanya (dari pasar ke rumah). Dan ketahuilah. Kalau asalnya dari rumah, maka kembali atau pulang lagi ke rumah. Janganlah sampai tersesat.

Wejangan Sunan Kalijogo kepada Sunan Tembayat di atas berisi tentang ajaran “Sangkan Paraning Dumadi”, artinya asal mula dan tempat kembalinya segala sesuatu. Dalam istilah lain bisa dikatakan “Ilmu Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun”, artinya ilmu yang menjelaskan akan adanya Kita ini milik Allah, dan Kita akan kembali kepada Allah. Artinya, kalau kita berasal dari Allah, maka kita nanti kembali kepada Allah, bukan kembali kepada selain Allah. Terusan wejangan di atas adalah sebagai berikut: 

Yen kongsiho sasar jeroning pati. Dadya tiwas uripe kesasar. Tanpo pencokan sukma-ne. Separan-paran nglangut. Kadya mega katut ing angin. Wekasan dadi udan. Mulih marang banyu. Dadi bali muting wadag. Ing wajibe sukma tan kena ing pati. Langgeng donya akherat.”

Terjemahan Bebas:
Apabila sampai tersesat dalam kematian. Maka, jadilah hidupnya tersesat. Jiwa (sukma)-nya tak punya pegangan. Kemana-mana terhanyut. Seperti mega terbawa angin. Akhirnya jadi hujan. Kembali pada air. Jadi kembali ke asalnya. Padahal seharusnya jiwa (sukma) itu tak pernah mati. Kekal di dunia dan akhirat.

Jadi, apabila Jiwa (Sukma) tak punya Pegangan (Pencokan), maka dia akan terhanyut pada kesenangan-kesenangan inderawi, yang bila dituruti tidak akan membawa kepuasan batin. Bahkan akan terus seperti roda berputar: “Setelah senang, timbul susah3x dan seterusnya. Padahal Sukma (Jiwa/Batin) itu dari awalnya Tidak mengalami Susah dan Senang. Sifat Sukma (Jiwa/Batin) adalah: KEKAL/LANGGENG. Arti “Kekal” yaitu “Tidak Mengalami Pergantian Senang-Susah”. Kondisi inilah tempat kita kembali yang sejati. []

BAB II
WEJANGAN SYAHADAT PATEMBAYATAN

Disebut dengan “Sunan Tembayat” sebab beliau merupakan wali yang selalu mengadakan patembayatan atau pirukunan atau gotong-royong atau musyawarah tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, budaya dan semacamnya. Bahkan Sunan Tembayat dalam hal ini memiliki sebuah syahadat yang disebut dengan “SYAHADAT TEMBAYAT”, yang intinya adalah:

Saya bersaksi bahwa tiada hidup yang lebih indah dan membawa kedamaian sesama manusia kecuali dengan mengadakan patembayatan (pirukunan/ gotong-royong/ musyawarah) dalam hal apapun dan dengan siapapun di kolong dunia ini, tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, budaya, dan semacamnya.

Dengan syahadat (persaksian diri) seperti di atas, maka tak heran bila Sunan Tembayat tidak pernah memusuhi Syaikh Siti Jenar (Syaikh Hasan Ali) dan santri-santrinya yang pada saat itu dianggap sesat oleh pihak yang tidak menyukainya. Justru Sunan Tembayat bisa merangkul para santri Syaikh Siti Jenar dalam “Patembayatan”-nya untuk musyawarah atau sarasehan akan paham Ketuhanan yang ada. Tidak lantas memberi stigma sesat dan menyesatkan terhadap paham lainnya. Maka tak heran bila setelah kematian Syaikh Siti Jenar, banyak sekali murid-murid Syaikh Siti Jenar yang lantas bergabung dalam “Patembayatan”-nya Sunan Tembayat.

Dalam “Babad Nagari Semarang” disebutkan bahwa Sunan Tembayat memiliki banyak murid salah satunya adalah Ki Ageng Gribig. Sedangkan dalam “Serat Centini” dinyatakan bahwa Sunan Tembayat juga memiliki murid bernama Syaikh Sekar Delima. Nama tersebut merupakan julukan yang diberikan oleh Sunan Tembayat yang nama aslinya adalah Raden Joko Bluwo salah satu putra Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.

Dinyatakan pula bahwa Sunan Tembayat dalam memberikan wejangan (petuah) tidak banyak mengguna-kan dalil-dalil atau ayat-ayat yang menyusahkan bagi orang Jawa. Sunan Tembayat lebih suka memberi petuah (wejangan) dengan “RASA” dan “SIMBOL”. Sebab Sunan Tembayat mengetahui bahwa kebanyakan orang Jawa lebih kuat dan senang memahami “RASA” dan “SIMBOL” daripada diberi penjelasan dalil-dalil atau ayat-ayat yang menyusahkan. Menurut Sunan Tembayat dengan memahami “RASA” dan “SIMBOL” inilah orang Jawa malah bisa memahami dan menangkap apa yang diajarkan ajaran agama Islam tanpa perlu disajikan dengan disertai dalil-dalil yang menyusahkan.

Sunan Tembayat menamakan masjidnya dengan “MASJID GOLO” yang artinya bahwa “GOLO” itu Sengkalan Jawa yang bermakna 17. Jadi, “MASJID GOLO” merupakan “SIMBOL” didirikannya shalat sehari semalam sebanyak 17 rakaat di dalam masjid tersebut. Ini juga merupakan bagian cara memberi wejangan (petuah) Sunan Tembayat kepada masyarakat Jawa melalui “SIMBOL”, tanpa harus memberi dalil-dalil pada mereka dengan berbagai dalil yang menyusahkan dan menjlimetkan. Akhirnya, mudah-mudahan kita bisa melakukan patembayatan/pirukunan terhadap sesama.[]

BAB III
WEJANGAN PAMBUKANING TATA MALIGE ING BAITUL MUHAROM

Dalam “Kitab Hidayat Jati” karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang nama aslinya adalah Raden Bagus Burhanuddin, seorang pujangga terakhir Keraton Surakarta dan murid Kyai Kasan Besari Ponorogo disebutkan bahwa Sunan Tembayat (Raden Kasan Nawawi) telah direstui oleh Sunan Kalijogo untuk memberikan wejangan “Pambukaning Tata Malige Ing Baitul Muharom” berikut kalimatnya:

“Sejatine Ingsun anata malige sajroning Betal Muharom, iku omah ênggoning lelarangan Ingsun, jumênêng ana ing Dhadha-ning Adam. Kang ana sajroning Dhadha iku Ati, kang ana antaraning Ati iku Jantung, sajroning Jantung iku Budi, sajroning Budi iku Jinêm, yaiku Angen-angen, sajroning Angen-angen iku Sukma, sajroning Sukma iku Rahsa, sajroning Rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun. Dzat Kang Anglimputi ing Kahanan Jati.”

Terjemahan:
Sesungguhnya Aku menata terus-menerus mahligai di dalam Baitul Muharom, di sanalah rumah larangan-Ku, berada di dalam dada Adam. Yang ada di dalam Dada adalah Hati, di antara Hati adalah Jantung, di dalam Jantung adalah Budi, di dalam Budi adalah Jinem, yaitu Angan-angan, di dalam Angan-angan adalah Sukma, di dalam Sukma adalah Rahsa, di dalam Rahsa adalah Aku. Tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat Yang Menyelimuti kondisi kesejatian.

Penjelasannya adalah “BAIT” artinya “RUMAH” dan “MUHAROM” artinya “LARANGAN”. Maknanya, apa yang ada dalam batin ini merupakan sesuatu larangan dibabarkan kepada orang lain. Sebab batin (jantung/ hati) merupakan “ALAM RASA/HAWA SUCI” tempat melakukan DZIKIR SIRRI (ELING RAHASIA). Dalam berbagai kajian disebutkan sebagai berikut:

1.   Baitul Makmur (Rumah Keramaian) berada di KEPALA MANUSIA => HAWA SARI/ALAM PIKIR
2.   Baitul Muharom (Rumah Larangan) berada di DADA MANUSIA => HAWA SUCI/ALAM RASA
3.   Baitul Muqoddas (Rumah Yang Disucikan) berada di ALAT VITAL MANUSIA => HAWA KOTOR/ALAM DUNIA

Dari sini bisa dipahami bahwa sangat cocok apabila Sunan Tembayat lebih menggunakan nilai “RASA” dalam memberikan wejangan (petuah) terhadap masyarakat Jawa. Sunan Tembayat yang ahli olah “RASA” (HAWA SUCI/ALAM RASA/BAITUL MUHAROM) menjadikan beliau lebih mementingkan nilai “RASA” dalam meberikan wejangan kepada masyarakat Jawa. Makanya, memberi wejangan (petuah) melalui “NGUDO RASA(musyawarah/ dari hati ke hati) lebih memberi hasil maksimal di banding dengan memberi wejangan (petuah) memakai dalil-dalil yang menyusahkan. []

BAB IV
WEJANGAN DI PUNCAK JABALKAT

Bila kita pernah naik ke Puncak Jabalkat, maka di tempat itulah Sunan Kalijogo dulu memberi wejangan (petuah) pada Sunan Tembayat. Mbah Kyai Mawardi (Bayat, Klaten, Jateng), seorang kyai keturunan ke-14 dari Sunan Tembayat menyatakan bahwa kata “Jabal” berasal dari bahasa Arab artinya: Gunung. Sedangkan kata “Kat” aslinya berasal dari bahasa Arab “Ahad” artinya adalah: Esa atau Ke-Esa-an atau Ke-Tauhid-an. Jadi, Puncak Jabalkat berarti puncak penempuhan ke-TAUHID-an Sunan Tembayat dibawah arahan serta bimbingan Sunan Kalijogo.

Menurut Mbah Kyai Mawardi bahwa di puncak tersebut sebenarnya Sunan Tembayat telah menguasai dan merasakan ilmu-ilmu makrifat ketuhanan seperti yang dirasakan oleh Syaikh Siti Jenar (Syaikh Hasan Ali), Ki Ageng Pengging, dan murid-muridnya. Oleh karena Sunan Tembayat sudah mengusai dan merasakan  Puncak Gunung Ke-Esa-an” (Puncak Jabalkat), lalu Sunan Kalijogo memerintah Sunan Tembayat agar turun ke bawah membuat masjid bernama “Masjid Golo” yang ada di Gunung Cokrokembang (yang saat ini berada). 

Jadi, dalam hal ini Sunan Tembayat telah menapaki jalan “Awalu Wajibin Alal Insani Makrifatul Ilahi Bistiqoni” (awal mula yang wajib bagi manusia adalah Makrifat Pada Tuhan dengan yakin). Setelah beliau merasakan Puncak Ilmu Makrifat atau Puncak Gunung Ke-Esa-an, baru kemudian beliau turun gunung dan mengajarkan syariat dengan mendirikan MASJID GOLO (Artinya: Masjid Tujuh Belas), sebagai SIMBOL shalat bagi orang Islam sebanyak 17 rakaat setiap hari.

Di Masjid Golo itulah, kemudian Sunan Kalijogo merestui Sunan Tembayat untuk memberikan wejangan TATA MALIGE BAITUL MUHAROM, yakni sebuah ILMU RASA/ILMU BATIN/ILMU HAWA SUCI yang dipakai “NGUDO ROSO”/“SARASEHAN” atau “MUSYAWARAH” atau “PATEMBAYATAN” atau “PIRUKUNAN” terhadap semua masyarakat Jawa kala itu, tanpa memandang golongan dan paham yang dianut. Dengan model “Patembayatan”/“Sarasehan” inilah yang akhirnya menjadikan manusia tidak merasa Islam-nya paling benar di hadapan Tuhan, paling suci kelakuan-nya dan “Paling-Paling” yang lainnya.

Oleh karena hal di atas, makanya di Puncak Jabalkat terpampang tulisan: “Ojo Rumongso Biso. Biso-a Rumongso. Jowo Digowo. Arab Digarab”, terjemahan bebasnya adalah: “Janganlah kita merasa paling bisa atau paling benar Islamnya. Namun sebisanya kalian harus bisa merasa (menggali RASA dalam diri pribadimu masing-masing). Tatanan masyarakat Jawa yang sudah bagus harus tetap dibawa atau dipertahankan. Sedangkan budaya atau prilaku Arab dalam masyarakat yang tidak benar harus pula digarab”. Sebab ada orang yang merasa berpakaian Ke-Arab-Araban, kemudian merendahkan orang yang berpakaian adat Jawa. Bahkan orang yang berpakaian adat Jawa dalam televisi sering dimunculkan sebagai tokoh jahat.[]

BAB V
NIAT IKUT MENEBARKAN NAFAS PATEMBAYATAN

Pada bab ini saya ingin menyajikan silsilah saya yang bersambung hingga Sunan Tembayat. Penyajian silsilah ini bukan untuk berniat memamerkan bahwa saya keturunan seorang sunan atau lainnya. Saya hanya berniat, bahwa karena saya merupakan keturunan trah Sunan Tembayat, maka saya berniat meneruskan “Wejangan Patembayatan” yang telah diajarkan Sunan Tembayat dengan harapan patembayatan/ pirukunan segala bangsa dan agama ini bisa terwujud, sehingga terciptalah kebahagiaan dan kedamaian bersama. Hanya itulah maksud saya menyajikan silsilah saya. 

Silsilah nasab saya hingga kepada Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah menempati dua jalur keturunan. Yakni, dari jalur Mbah Kyai Raden Taklim (Lereng Gunung Pegat, Srengat, Blitar), saya menempati generasi ke-15 dari Sunan Tembayat. Sedangkan dari jalur Mbah Kyai Raden Witono/Syaikh Hasan Ghozali (Kauman, Kalangbret, Tulungagung), saya menempati generasi ke-16 dari Sunan Tembayat. 

Silsilah dari jalur Mbah Kyai Raden Taklim Srengat Blitar adalah: (1) Sunan Tembayat + Nyai Ageng Kaliwungu Binti Bathoro Kathong, berputra: (2) Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing Tembayat, berputra: (3) Panembahan Minang Kabul Ing Tembayat, berputra: (4) Pangeran Ragil Kuning (Raden Ragil Sumendi), Wonokerto, Ponorogo, berputra: (5) Pangeran Wongsodriyo/Raden Wongsopuro Wonokreto Ponorogo, berputra: (6) Kyai Ageng Raden Nojo/Noyopuro Wonokreto Ponorogo, berputra: (7) Kyai Ageng Raden Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo) Wonokreto Ponorogo, berputra: (8) Mbah Kyai Raden Taklim (penghulu Srengat), Srengat Blitar, berputra: (9) Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim (Eyang Kasiman), Pendiri Masjid Agung Kota Blitar, makam di Srengat, berputra: (10) Mbah Kyai Muhammad Syakban atau biasa dikenal dengan sebutan “Mbah Syakban Gembrang Serang” atau “Mbah Syakban Tumbu” (makamnya berada di Makam Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar), berputra: (11) Mbah Kyai Muhammad Asrori, yakni pendiri dan cikal-bakal “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar, berputra: (12) Mbah Nyai Tsamaniyah (istri dari Mbah Kyai Imam Muhtar atau Kyai Hasan Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra: (13) Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir dari Wonodadi) dan bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar, berputra; (14) Mbah Haji Tamam Thahir (suami dari Nyai Hj. Siti Rofiah Sekardangan, Kanigoro, Blitar), berputra; (15) Arif Muzayin Shofwan Sekardangan.

Adapun silsilah dari jalur Mbah Kyai Raden Witono Tulungagung adalah: (1) Sunan Tembayat + Nyai Ageng Kaliwungu Binti Bathoro Kathong, berputra: (2) Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing Tembayat, berputra: (3) Panembahan Minang Kabul Ing Tembayat, berputra: (4) Pangeran Ragil Kuning (Raden Ragil Sumendi) Wonokerto, Ponorogo, berputra: (5) Pangeran Wongsodriyo/Raden Wongsopuro Wonokreto Ponorogo, berputra: (6) Kyai Ageng Raden Nojo/Noyopuro Semanding Wonokreto Ponorogo, berputra: (7) Kyai Ageng Raden Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo) Wonokreto Ponorogo, berputra: (8) Mbah Kyai Mangun Witono/ Sayyid Hasan Ghozali, makamnya berada di belakang “Masjid Tiban Al-Istimrar” Kauman, Kalangbret, Tulungagung, berputra: (9) Mbah Kyai Nur Ali Rahmatullah Kalangbret Tulungagung, berputra: (10) Mbah Kyai Ali Muntoho (cikal-bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungagung), berputra: (11) Nyai Mursiyah (istri dari Mbah Kyai Muhammad Syakban/ Mbah Syakban Gembrang Serang/ Mbah Syakban Tumbu bin Kyai Muhammad Qosim Penghulu Pertama Blitar), berputra: (12) Mbah Kyai Muhammad Asrori pendiri “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar (suami dari Nyai Haditsah Binti Muhammad Yunus Srengat), berputra: (13) Mbah Nyai Tsamaniyah (istri dari Mbah Kyai Hasan Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra; (14) Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir dari Wonodadi, Srengat, Blitar) dan bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar, berputra: (15) Mbah Haji Tamam Thahir (suami dari Nyai Hj. Siti Rofiah Sekardangan, Kanigoro, Blitar), berputra; (16) Arif Muzayin Shofwan Sekardangan.

Demikianlah silsilah nasab penulis hingga Sunan Tembayat disajikan dengan harapan semoga penulis dapat meneruskan “Wejangan Patembayatan” dari Sunan Tembayat untuk kebahagiaan semua bangsa dan agama, bahkan untuk kebahagiaan semua makhluk hidup. Kata kyai saya, meneruskan prilaku-prilaku baik leluhur merupakan wujud dari berbakti kepada mereka.[]

DAFTAR BACAAN

Abu Naufal bin Taman At-Thahir (2011). Silsilah Sunan Tembayat Hingga Syaikh Muhammad Sya’ban Al-Husaini. Blitar: Penerbit Mbrebesmili Center.
Anonim (1994). Sejarah Mbah Kyai Asror Pakisrejo Srengat. Dikeluarkan oleh Panitia Haul Akbar pada tanggal 15 Juli 1984.
Arif Muzayin Shofwan (2008). Para Sesepuh Tongkat Estafet Sunan Tembayat. Blitar: Penerbit Mbrebesmili Center.
Raden Ayu Linawati (2016). Ranji Walisongo Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” dan disusun oleh Mas Muhammad Shohir Izza, Solo: t.p.
Arif Muzayin Shofwan dan Putu Ari Sudana (2016). Silsilah Nasab Kyai Soeroredjo Kauman Blitar. Blitar: Komunitas Sarkubiyah.
Pengurus Yayasan (t.t). Lembaran Silsilah “Keluarga Kyai Raden Muhammad Qosim/ Eyang Kasiman” yang tersimpan di Yayasan Kyai Raden Muhammad Kasiman sebelah Utara Masjid Agung Kota Blitar.
KH. M. Amin, BR (t.t). Pembangunan Layang Jiwo Kalimosodo. Surabaya: CV. Amin.

1 komentar:

  1. Ngapuntene, Bade tangklet, Ny. Ageng Kaliwungu niku Npo putro sangking botoro katong Ponorogo?
    Amergi Teng serat Babat Tanah Ponorogo kok benten...

    BalasHapus