Senin, 22 Oktober 2018

ZIARAH SPIRITUAL CIKAL-BAKAL KADEMANGAN, SUNAN BUNGKUK, SITUS PLOSOREJO, DAN SITUS DARUNGAN


Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Hari Minggu, 21 Oktober 2018 saya bersama Mbah Agung, Mbah Jawoko, Gus Luki melakukan ziarah spiritual ke beberapa tempat, di antaranya: Cikal-Bakal Kademangan, Sunan Bungkuk, Situs Plosorejo, dan Situs Darungan
(Shofwan, 2017)

          Bermula dari media WA Mbah Jawoko Jatimalang yang mengajak saya untuk mengadakan ziarah spiritual ke berbagai makam dan petilasan. Yakni, tepat pada hari Minggu, 21 Oktober 2018 ketika saya berada di rumah Mbah Agung Sananwetan, saya dihubungi lagi oleh Mbah Jawoko Jatimalang untuk mengadakan ziarah spiritual ke berbagai tempat makam, situs atau petilasan. Saat itu pula, Gus Luki Gaprang pas nggak ada acara dan ingin ikut juga WA pada saya. Akhirnya saya katakan pada Gus Luki Gaprang agar ketemuan di depan kantor polisi Kademangan (yang berada di utara pasar Kademangan). Berikut adalah beberapa petilasan, makam, dan situs yang kami ziarahi atau kami datangi, serta ingin kami gali sejarahnya dari juru kunci (bila ada), para masyarakat sekitar, dan lainnya:

1.   Puri Cikal Bakal Kademangan
Perlu diketahui bahwa “Puri Cikal Bakal Kademangan” merupakan petilasan tokoh yang cikal-bakal Kelurahan Kademangan. Puri tersebut berada di “Kampung Danyangan”, tepatnya ada jalan gang selatan kantor polisi Kademangan belok ke Timur sekitar 100 meter. Puri cikal bakal Kademangan tersebut berada di dalam Musholla Al-Amin. Mbah Sumitro, seorang yang turun-temurun merupakan keturunan juru kunci puri tersebut menyatakan bahwa tokoh yang cikal-bakal Kademangan bernama Mbah Gadhung Melati. Tokoh ini hidup pada zaman Mataram Islam. Setelah berhasil menjadi cikal-bakal Kademangan tokoh ini kemudian melanglang buana hingga akhirnya kembali lagi ke Mataram. Begitulah cerita dari Mbah Sumitro yang rumahnya berada di sebelah utara Puri Cikal Bakal Kademangan dan imam shalat di Musholla Al-Amin. Ada beberapa tempat atau petilasan yang saya telusuri tentang Mbah Gadhung Melati ini, yaitu: (1) Kelurahan Kanigoro, Mbah Gadhung Mlati dikaitkan dengan Ki Kebo Kanigoro; (2) Dusun Sekardangan, Mbah Gadhung Melati dikaitkan dengan Ki Ageng Purwoto Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan Roro Sekar/Roro Tenggok; (3) Desa Dogong, Mbah Gadhung Melati dikaitkan dengan Roro Sari Once/Roro Sekar Rinonce; (5) Desa Maliran-Ponggok; (6) Desa Delonje-Talun; (7) Batu-Malang; (8) Desa Selokajang; Dan lainnya. Kata Mbah Sumitro bahwa para masyarakat sekitar kadang membakar dupa (Buhur atau Luban; bahasa Arab) di Puri Cikal-Bakal Kelurahan Kademangan di dalam musholla tersebut sekaligus membacakan Tahlil dan Yasin kepada tokoh yang cikal-bakal Kelurahan Kademangan. Dalam hal bakar dupa ini saya ingin menyatakan sebagai berikut. Dupa, Hioswa, Ratus, Kemenyan dalam bahasa Arab biasanya disebut dengan sebutan “BUHUR”, artinya Kemenyan Arab. Di dalam Buku Jilid II: “ANTOLOGI NU SEJARAH ISTILAH AMALIAH USWAH” karya H. Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos., yang diberi pengantar oleh KH. Abdul Muchith Muzadi dan diterbitkan oleh Penerbit “Khalista” Surabaya bekerjasama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNU) Jawa Timur pada halaman 124-125 telah disebutkan keterangannya demikian: “Buhur artinya Kemenyan. Disebut juga dengan Kemenyan Arab. Baunya harum kemanis-manisan.  Berfungsi untuk menenangkan pikiran dan mengharumkan ruangan. Buhur biasa dipakai oleh sebagian warga NU (Nahdlatul Ulama) – khususnya Kaum Habaib (Para Habib) – yang suka melakukan Riyadlah (lelaku spiritual) tertentu sebagai sarana menambah konsentrasi. Tidak semua orang NU mengenal dan suka memakai harum-haruman jenis Buhur ini. Hanya mereka yang akrab dengan dunia mistik dan supranatural melalui rangkaian doa-doa yang disusun Para Ulama Pendahulu (misalnya Ratib, Hizib dan Wirid) yang suka mempergunakan. Penggunaan Buhur adalah dengan cara dibakar. Karena berasal dari Arab, biasanya alat bakar juga dibeli di toko-toko Arab sekitar daerah Ampel, Surabaya. Bagi mereka yang tidak suka dengan kemenyan bakar, ada juga yang menggunakan Hioswa (Kemenyan Cina). Sesuai dengan namanya, barang ini biasanya dibeli di toko-toko Cina dalam bentuk kotak. Sedangkan Hioswa lebih banyak berbentuk batangan seperti sapu lidi. Baik Buhur maupun Hioswa, (Dupa, Ratus; Pen) kadang terbuat dari bahan yang sama”. Berdasarkan keterangan di atas, tradisi membakar Buhur, Dupa, Hioswa, Ratus, Kemenyan, dan semacamnya merupakan sebuah tradisi sebagian Kaum Habaib (Para Habib) dan tradisi sebagian penempuh spiritual di belahan dunia manapun, serta termasuk sebagian budaya atau tradisi Amaliyah Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi, dalam berbagai kitab mu’tabaroh NU banyak disebutkan bahwa sebuah wirid maupun zikir disarankan memakai atau dengan membakar Dupa, Ratus, Hioswa, Buhur, Kemenyan Arab dan semacamnya. Kitab tersebut antara lain: (1) Kitab Syamsul Ma’arif Al-Kubro dan Kitab Manba’u Ushulil Hikmah, karya Syaikh Abul Abbas Bin Ali Al-Buni; (2) Kitab Sirrul Jalil, karya Syaikh Abul Hasan As-Syadzili; (3) Kitab Khozinatul Asror, karya Syaikh Muhammad Haqqi An-Nazili; dan lain sebagainya. Semoga tulisan ini bermanfaat menambah pengetahuan kita tentang tradisi Buhur, Hioswa, Ratus, Dupa, Kemenyan Arab, Jawa, Cina, India, Jepang, Myanmar, dan semacamnya.

2.   Makam Sunan Bungkuk (Syaikh Bungkuk)
Setelah kami berempat ziarah spiritual di Puri Cikal Bakal Kademangan, kemudian kami berziarah ke makam Sunan Bungkuk yang berada di puncak Gunung Gamping perbatasan antara Blitar dan Tulungagung. Kami berempat sempat bertanya kepada dua orang warga masyarakat yang dekat makam tersebut. Kata Mbah Agung: “Dimana ya lokasi makam Sunan Bungkuk?”. Seorang warga lalu menunjukkan jalannya. Namun kami sempat tersesat jalan hingga kurang lebih setengah jam mencari lokasi tersebut tidak ketemu. Kemudian kami bertanya lagi kepada orang yang berada di kebun jeruk dekat makam Sunan Bungkuk. Orang itu lalu menunjukkan bahwa makam Sunan Bungkuk berada di puncak Gunung Gamping (sambil menudingkan jari telunjuknya). Orang tersebut malah sempat cerita bahwa dahulu ada pemuda yang menangis-nangis di makam Sunan Bungkuk/Syaikh Bungkuk. Setelah pemuda itu ditanya alasan menangisnya. Pemuda itu menjawab bahwa dirinya menangis-nangis karena ingin berhenti dari perbuatan mabuk-mabukan. Wal khasil, konon akhirnya pemuda itu kemudian berhenti total dari mabuk-mabukan. (Inilah kisah orang yang kami tanyai di kebun jeruk tersebut). Wallohua’lam. Masyarakat sekitar sering menyebut bahwa makam itu adalah makam Sunan Bungkuk atau Syaikh Bungkuk. Dan ketika kami bertanya-tanya, ternyata tidak banyak yang tahu-menahu tentang sejarah kisah siapa Sunan Bungkuk atau Syaikh Bungkuk ini sebenarnya. Apakah beliau ini tokoh penyebar Islam di daerah Kademangan atau tokoh apa, ternyata belum ada yang menelitinya. Cumak bila dilihat batu-bata yang berserakan di areal makam Sunan Bungkuk (Syaikh Bungkuk), tampak bahwa batu-bata makam itu merupakan batu-bata merah yang besar-besar pada jaman Kerajaan Majapahit akhir. Wallohu’alam Bishowab.

3.   Situs Plosorejo
Kelihatan bahwa Situs Plosorejo (yang berada di Desa Plosorejo, Kademangan, Blitar) ini merupakan ukiran-ukiran pada batu Andesit bergambar Bunga Teratai (Padma). Dalam hal ini, kami menduga bahwa situs ini merupakan peninggalan agama Buddha. Sebab Bunga Teratai memang identik dengan simbol-simbol agama Buddha yang diajarkan oleh Sang Buddha Gautama dari Kerajaan Sakya, Nepal, India. Dalam ajaran agama Buddha disebutkan bahwa simbol bunga memiliki arti ketidak-kekalan. Artinya, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. Susah adalah tidak kekal. Bungah juga tidak kekal. Kaya tidaklah kekal. Miskin juga tidak kekal. Jabatan apapun yang ada di dunia ini juga tidak kekal. Semua datang silih berganti bagaikan roda. Roda kadang di atas, kadang juga di bawah. Dalam tradisi agama Buddha, biasa Patung Sang Buddha selalu berada di atas Bunga Teratai. Namun dalam Situs Plosorejo tampaknya patung tersebut sudah tak ada lagi entah kemana. Inilah dugaan-dugaan dari kami yang bukan ahli, namun suka dengan cagar budaya Nusantara. Wallohu’alam.

4.   Situs Darungan
Situs Darungan berada di desa Darungan tepat di sebelah selatan sungai Serut. Di tempat ini kami berempat sempat berdiskusi tentang situs tersebut. Dalam diskusi tersebut, kami berempat menduga bahwa “Situs Darungan” merupakan gapura, gerbang atau pintu masuk ke sebuah tempat yang lebih besar. Sebab situs yang berbahan batu-bata merah besar-besar seperti jaman Majapahitan tersebut memang kayak semacam pintu gerbang, gapura, atau semacamnya. Tentu saja karena ini hanya dugaan, tentu kebenarannya harus diteliti oleh para ahli dalam bidang tersebut. Wallohualam.

Demikianlah kiranya perjalanan ziarah spiritual kami berempat (yakni: Arif Muzayin Shofwan, Mbah Agung Sananwetan, Mbah Jawoko Jatimalang, dan Gus Luki Gaprang) pada hari ini. Usai melakukan ziarah spiritual, kemudian kami berempat makan “Bakso Urat” yang berada di sebelah Utara bendungan Serut-Lodoyo. Setelah itu kami pulang menuju rumah Mbah Agung Sananwetan. Di rumah Mbah Agung Sananwetan ini kami nunut mandi sore hari sekaligus melakukan shalat Ashar. Setelah melakukan shalat Ashar, akhirnya kami mohon undur diri kepada Mbah Agung untuk pamit pulang ke rumah masing-masing.

Begitulah kiranya, mungkin ini saja tulisan catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan ini bila terdapat hal yang salah. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, kegiatan Mbah Agung Sananwetan, Mbah Jawoko Jatimalang, Gus Luki Gaprang dan semuanya saja, selalu membawa berkah sepanjang zaman, di kehidupan dunia dan akhirat. Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Gapuro masuk "Kampung Danyangan" Kelurahan Kademangan, Blitar (Dokumentasi, 2018)
 
Papan nama: Puri Cikal Bakal, Aula Serba Guna, dan Musholla Al-Amin (Dokumentasi, 2018)
 
Tulisan Puri Cikal Bakal Kademangan (Dokumentasi, 2018)
 
Raden Bagus Kunting/Muhammad Hafidz sedang berdzikir di Puri Cikal Bakal Kademangan (Dokumentasi, 2018)
 
Monumen Petilasan Puri Cikal Bakal Kademangan dilihat dari dekat (Dokumentasi, 2018)
 
Makam Sunan Bungkuk/Syaikh Bungkuk di Puncak Gunung Gamping perbatasan Blitar-Tulungagung (Dokumentasi, 2018)
 
Situs Plosorejo yang ukiran di batu itu berupa Bunga Teratai (Padma) yang condong sebagai simbol agama Buddha (Dokumentasi, 2018)
Situs Plosorejo dilihat dari dekat (Dokumentasi, 2018)
Situs Darungan (Dokumentasi, 2018)


Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 bersama kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I., Lussy Ana Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad Miftakhul Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat sebagai Tim Inti Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata Keluarga Islam; (2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran Islam; dan (4) Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan penggagas pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang yang sering mengikuti berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi lintas agama baik lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

1 komentar: