Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Hari
Minggu, 21 Oktober 2018 saya bersama Mbah Agung, Mbah Jawoko, Gus Luki
melakukan ziarah spiritual ke beberapa tempat, di antaranya: Cikal-Bakal
Kademangan, Sunan Bungkuk, Situs Plosorejo, dan Situs Darungan”
(Shofwan,
2017)
Bermula
dari media WA Mbah Jawoko Jatimalang yang mengajak saya untuk mengadakan ziarah
spiritual ke berbagai makam dan petilasan. Yakni, tepat pada hari Minggu, 21
Oktober 2018 ketika saya berada di rumah Mbah Agung Sananwetan, saya dihubungi
lagi oleh Mbah Jawoko Jatimalang untuk mengadakan ziarah spiritual ke berbagai
tempat makam, situs atau petilasan. Saat itu pula, Gus Luki Gaprang pas nggak
ada acara dan ingin ikut juga WA pada saya. Akhirnya saya katakan pada Gus Luki
Gaprang agar ketemuan di depan kantor polisi Kademangan (yang berada di utara
pasar Kademangan). Berikut adalah beberapa petilasan, makam, dan situs yang
kami ziarahi atau kami datangi, serta ingin kami gali sejarahnya dari juru
kunci (bila ada), para masyarakat sekitar, dan lainnya:
1. Puri Cikal Bakal Kademangan
Perlu diketahui bahwa “Puri Cikal Bakal Kademangan”
merupakan petilasan tokoh yang cikal-bakal Kelurahan Kademangan. Puri tersebut
berada di “Kampung Danyangan”,
tepatnya ada jalan gang selatan kantor polisi Kademangan belok ke Timur sekitar
100 meter. Puri cikal bakal Kademangan tersebut berada di dalam Musholla Al-Amin.
Mbah Sumitro, seorang yang turun-temurun merupakan keturunan juru kunci puri
tersebut menyatakan bahwa tokoh yang cikal-bakal Kademangan bernama Mbah Gadhung Melati. Tokoh ini hidup
pada zaman Mataram Islam. Setelah berhasil menjadi cikal-bakal Kademangan tokoh
ini kemudian melanglang buana hingga akhirnya kembali lagi ke Mataram.
Begitulah cerita dari Mbah Sumitro yang rumahnya berada di sebelah utara Puri
Cikal Bakal Kademangan dan imam shalat di Musholla Al-Amin. Ada beberapa tempat
atau petilasan yang saya telusuri tentang Mbah Gadhung Melati ini, yaitu: (1)
Kelurahan Kanigoro, Mbah Gadhung Mlati dikaitkan dengan Ki Kebo Kanigoro; (2)
Dusun Sekardangan, Mbah Gadhung Melati dikaitkan dengan Ki Ageng Purwoto
Sidik/Ki Kebo Kanigoro dan Roro Sekar/Roro Tenggok; (3) Desa Dogong, Mbah
Gadhung Melati dikaitkan dengan Roro Sari Once/Roro Sekar Rinonce; (5) Desa Maliran-Ponggok;
(6) Desa Delonje-Talun; (7) Batu-Malang; (8) Desa Selokajang; Dan lainnya. Kata
Mbah Sumitro bahwa para masyarakat sekitar kadang membakar dupa (Buhur atau Luban; bahasa Arab) di Puri Cikal-Bakal Kelurahan Kademangan di
dalam musholla tersebut sekaligus membacakan Tahlil dan Yasin kepada tokoh yang
cikal-bakal Kelurahan Kademangan. Dalam hal bakar dupa ini saya ingin
menyatakan sebagai berikut. Dupa, Hioswa, Ratus, Kemenyan dalam
bahasa Arab biasanya disebut dengan sebutan “BUHUR”, artinya Kemenyan Arab. Di
dalam Buku Jilid II: “ANTOLOGI NU
SEJARAH ISTILAH AMALIAH USWAH” karya H. Soelaiman Fadeli dan Mohammad
Subhan, S.Sos., yang diberi pengantar oleh KH. Abdul Muchith Muzadi dan
diterbitkan oleh Penerbit “Khalista” Surabaya bekerjasama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama
(LTNU) Jawa Timur pada halaman 124-125 telah disebutkan keterangannya demikian:
“Buhur artinya Kemenyan. Disebut juga
dengan Kemenyan Arab. Baunya harum kemanis-manisan. Berfungsi untuk menenangkan pikiran dan
mengharumkan ruangan. Buhur biasa dipakai oleh sebagian warga NU (Nahdlatul
Ulama) – khususnya Kaum Habaib (Para
Habib) – yang suka melakukan Riyadlah
(lelaku spiritual) tertentu sebagai sarana menambah konsentrasi. Tidak semua
orang NU mengenal dan suka memakai harum-haruman jenis Buhur ini. Hanya mereka
yang akrab dengan dunia mistik dan supranatural melalui rangkaian doa-doa yang
disusun Para Ulama Pendahulu (misalnya Ratib, Hizib dan Wirid) yang suka
mempergunakan. Penggunaan Buhur adalah dengan cara dibakar. Karena berasal dari
Arab, biasanya alat bakar juga dibeli di toko-toko Arab sekitar daerah Ampel,
Surabaya. Bagi mereka yang tidak suka dengan kemenyan bakar, ada juga yang
menggunakan Hioswa (Kemenyan Cina). Sesuai dengan namanya, barang ini biasanya
dibeli di toko-toko Cina dalam bentuk kotak. Sedangkan Hioswa lebih banyak
berbentuk batangan seperti sapu lidi. Baik Buhur maupun Hioswa, (Dupa, Ratus;
Pen) kadang terbuat dari bahan yang sama”. Berdasarkan keterangan di atas,
tradisi membakar Buhur, Dupa, Hioswa, Ratus, Kemenyan, dan semacamnya merupakan
sebuah tradisi sebagian Kaum Habaib (Para Habib) dan tradisi sebagian penempuh
spiritual di belahan dunia manapun, serta termasuk sebagian budaya atau tradisi
Amaliyah Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi, dalam berbagai kitab mu’tabaroh NU
banyak disebutkan bahwa sebuah wirid maupun zikir disarankan memakai atau
dengan membakar Dupa, Ratus, Hioswa, Buhur, Kemenyan Arab dan semacamnya. Kitab
tersebut antara lain: (1) Kitab Syamsul
Ma’arif Al-Kubro dan Kitab Manba’u
Ushulil Hikmah, karya Syaikh Abul Abbas Bin Ali Al-Buni; (2) Kitab Sirrul Jalil, karya Syaikh Abul
Hasan As-Syadzili; (3) Kitab Khozinatul
Asror, karya Syaikh Muhammad Haqqi An-Nazili; dan lain sebagainya. Semoga
tulisan ini bermanfaat menambah pengetahuan kita tentang tradisi Buhur, Hioswa,
Ratus, Dupa, Kemenyan Arab, Jawa, Cina, India, Jepang, Myanmar, dan semacamnya.
2. Makam Sunan Bungkuk (Syaikh Bungkuk)
Setelah kami berempat ziarah spiritual di
Puri Cikal Bakal Kademangan, kemudian kami berziarah ke makam Sunan Bungkuk
yang berada di puncak Gunung Gamping perbatasan antara Blitar dan Tulungagung.
Kami berempat sempat bertanya kepada dua orang warga masyarakat yang dekat
makam tersebut. Kata Mbah Agung: “Dimana ya lokasi makam Sunan Bungkuk?”.
Seorang warga lalu menunjukkan jalannya. Namun kami sempat tersesat jalan
hingga kurang lebih setengah jam mencari lokasi tersebut tidak ketemu. Kemudian
kami bertanya lagi kepada orang yang berada di kebun jeruk dekat makam Sunan
Bungkuk. Orang itu lalu menunjukkan bahwa makam Sunan Bungkuk berada di puncak
Gunung Gamping (sambil menudingkan jari telunjuknya). Orang tersebut malah
sempat cerita bahwa dahulu ada pemuda yang menangis-nangis di makam Sunan
Bungkuk/Syaikh Bungkuk. Setelah pemuda itu ditanya alasan menangisnya. Pemuda
itu menjawab bahwa dirinya menangis-nangis karena ingin berhenti dari perbuatan
mabuk-mabukan. Wal khasil, konon akhirnya pemuda itu kemudian berhenti total
dari mabuk-mabukan. (Inilah kisah orang yang kami tanyai di kebun jeruk
tersebut). Wallohua’lam. Masyarakat sekitar sering menyebut bahwa makam itu
adalah makam Sunan Bungkuk atau Syaikh Bungkuk. Dan ketika kami
bertanya-tanya, ternyata tidak banyak yang tahu-menahu tentang sejarah kisah
siapa Sunan Bungkuk atau Syaikh Bungkuk ini sebenarnya. Apakah beliau ini tokoh
penyebar Islam di daerah Kademangan atau tokoh apa, ternyata belum ada yang
menelitinya. Cumak bila dilihat batu-bata yang berserakan di areal makam Sunan
Bungkuk (Syaikh Bungkuk), tampak bahwa batu-bata makam itu merupakan batu-bata
merah yang besar-besar pada jaman Kerajaan Majapahit akhir. Wallohu’alam
Bishowab.
3. Situs Plosorejo
Kelihatan bahwa Situs Plosorejo (yang berada di Desa
Plosorejo, Kademangan, Blitar) ini merupakan ukiran-ukiran pada batu Andesit bergambar
Bunga Teratai (Padma). Dalam hal
ini, kami menduga bahwa situs ini merupakan peninggalan agama Buddha. Sebab Bunga
Teratai memang identik dengan simbol-simbol agama Buddha yang diajarkan oleh
Sang Buddha Gautama dari Kerajaan Sakya, Nepal, India. Dalam ajaran agama
Buddha disebutkan bahwa simbol bunga
memiliki arti ketidak-kekalan.
Artinya, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. Susah adalah tidak
kekal. Bungah juga tidak kekal. Kaya tidaklah kekal. Miskin juga tidak kekal. Jabatan
apapun yang ada di dunia ini juga tidak kekal. Semua datang silih berganti
bagaikan roda. Roda kadang di atas, kadang juga di bawah. Dalam tradisi agama
Buddha, biasa Patung Sang Buddha selalu berada di atas Bunga Teratai. Namun
dalam Situs Plosorejo tampaknya patung tersebut sudah tak ada lagi entah
kemana. Inilah dugaan-dugaan dari kami yang bukan ahli, namun suka dengan cagar
budaya Nusantara. Wallohu’alam.
4. Situs Darungan
Situs Darungan berada di desa Darungan tepat di sebelah selatan sungai
Serut. Di tempat ini kami berempat sempat berdiskusi tentang situs tersebut.
Dalam diskusi tersebut, kami berempat menduga bahwa “Situs Darungan” merupakan gapura, gerbang atau pintu masuk ke
sebuah tempat yang lebih besar. Sebab situs yang berbahan batu-bata merah
besar-besar seperti jaman Majapahitan tersebut memang kayak semacam pintu
gerbang, gapura, atau semacamnya. Tentu saja karena ini hanya dugaan, tentu
kebenarannya harus diteliti oleh para ahli dalam bidang tersebut. Wallohualam.
Demikianlah
kiranya perjalanan ziarah spiritual kami berempat (yakni: Arif Muzayin Shofwan,
Mbah Agung Sananwetan, Mbah Jawoko Jatimalang, dan Gus Luki Gaprang) pada hari
ini. Usai melakukan ziarah spiritual, kemudian kami berempat makan “Bakso Urat” yang berada di sebelah
Utara bendungan Serut-Lodoyo. Setelah itu kami pulang menuju rumah Mbah Agung
Sananwetan. Di rumah Mbah Agung Sananwetan ini kami nunut mandi sore hari
sekaligus melakukan shalat Ashar. Setelah melakukan shalat Ashar, akhirnya kami
mohon undur diri kepada Mbah Agung untuk pamit pulang ke rumah masing-masing.
Begitulah
kiranya, mungkin ini saja tulisan catatan harian (cahar) saya hari ini. Mudah-mudahan
Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberkati apa yang saya tulis ini. Mudah-mudahan
Tuhan Yang Maha Pengasih selalu mengasihi semua hamba-Nya. Mudah-mudahan Tuhan
Yang Maha Pengampun selalu mengampuni kesalahan saya dalam menulis catatan ini
bila terdapat hal yang salah. Mudah-mudahan kegiatan saya hari ini, kegiatan Mbah
Agung Sananwetan, Mbah Jawoko Jatimalang, Gus Luki Gaprang dan semuanya saja, selalu
membawa berkah sepanjang zaman, di kehidupan dunia dan akhirat. Amin, amin, amin, Yaa Rabbal Alamiin.
“If
you can dream it you can do it”
(Jika
kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Gapuro masuk "Kampung Danyangan" Kelurahan Kademangan, Blitar (Dokumentasi, 2018) |
Raden Bagus Kunting/Muhammad Hafidz sedang berdzikir di Puri Cikal Bakal Kademangan (Dokumentasi, 2018) |
Makam Sunan Bungkuk/Syaikh Bungkuk di Puncak Gunung Gamping perbatasan Blitar-Tulungagung (Dokumentasi, 2018) |
Situs Plosorejo yang ukiran di batu itu berupa Bunga Teratai (Padma) yang condong sebagai simbol agama Buddha (Dokumentasi, 2018) |
Situs Plosorejo dilihat dari dekat (Dokumentasi, 2018) |
Situs Darungan (Dokumentasi, 2018) |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria ini beralamatkan di Jl.
Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa
Timur. Pria ini pada akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 bersama
kawan-kawannya (seperti Yaoma Tertibi, SH., Winarto, M.Pd.I., Lussy Ana
Anggarani, M.Pd., Alfiah, SE., Eka Rahmawati, M.Pd., Mohammad Miftakhul
Rochman, M.Pd., Muhammad Zainal Abidin, M.Ag dan lainnya) tercatat sebagai Tim Inti
Pendiri Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar
dengan empat program studi, antara lain: (1) Prodi Hukum Tata Keluarga Islam;
(2) Prodi Perbankan Syariah; (3) Prodi Komunikasi Penyiaran Islam; dan (4)
Prodi Ekonomi Islam. Selain itu, pria pecinta teh ini juga merupakan penggagas
pertama Pusat Studi Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (PUSDEMAS) Universitas
Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar bersama Yaoma Tertibi, SH. Pria yang yang sering mengikuti
berbagai kajian kebebasan beragama dan HAM serta diskusi lintas agama baik
lokal maupun nasional tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Oke
BalasHapus