KITAB
KIMIYA’UL JAWIYAH
Fi Bayani Ba’dil Amaliyah
Min Majelis
Al-Mudzakaroh
Al-Balitariyah
Dr.
Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Dikeluarkan
oleh
“MAJELIS
DISKUSI BALITARA”
Blitar
Raya – Jawa Timur
|
Judul Buku:
“KITAB
KIMIYA’UL JAWIYAH”
Disusun oleh:
Dr. Arif
Muzayin Shofwan, M.Pd.
Penyunting:
Siti Nur Azizah
Tim Perumus:
Mohammad
Aditya Saputra
Muhammad
Azis Anshori
Yuan Adi
Kusuma
Doni
Indradi
Dkk.
Untuk
Kalangan Sendiri
Cetakan
Pertama, 2019
Dikeluarkan
oleh
“MAJELIS
DISKUSI BALITARA”
Blitar Raya
– Jawa Timur
MUQODIMAH
Segala
puji hanya milik Allah Yang Menguasai Alam semesta. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, ahli baitnya, sahabatnya, dan semua
umatnya. Allah Tuhan Yang Maha Pengasih telah berfirman: “Apabila kalian sudah menyelesaikan
shalat, maka berzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk
dan di waktu berbaring”. (QS. An-Nisa: 103). Amma Ba’du.
Kitab ini saya
namakan “Kitab Kimiya’ul Jawiyah”
yang menjelaskan tentang sebagian amalan zikir (wirid/ tafakur/ meditasi/
semedi) yang dilakukan dalam Majelis Diskusi Balitara. Tentu saja, dalam hal
ini saya sangat berterima kasih kepada semua kawan-kawan sinau bareng Majelis
Diskusi Balitara yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk menyusun kitab
ini disertai dalil-dalil dan perkataan ulama.
Oleh karena
kitab ini hanyalah sebuah tulisan kecil untuk pedoman wirid atau zikir, tentu
saja ada banyak kekurangan di sana-sini. Dengan demikian, ada saran dari saya
untuk terus mengkaji kitab-kitab yang lain untuk menambah wawasan demi
pengembangan diri ke arah yang lebih baik dan mencerahkan. Akhir kata, ada
kurang dan lebihnya saya minta maaf.
Blitar,
2 Oktober 2019
Dr.
Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
DAFTAR ISI
Judul Buku, halaman 2
Muqoddimah, halaman 3
Daftar Isi, halaman 4
Bab I: Arti Nama Kitab,
Majelis dan Wirid, halaman 5
Bab II, Zikir Penjaga Nafas, halaman 7
Bab III, Hukum Membakar Dupa
dan Kemenyan, halaman 9
Bab IV, Hukum Tabur Bunga dan
Air di Makam, halaman 11
Daftar Bacaan, halaman 12
BAB I
ARTI NAMA KITAB,
MAJELIS DAN WIRID
Untuk mengawali kitab
(buku) pedoman ini, akan dipersembahkan beberapa istilah yang ada dalam
komunitas Majelis Diskusi Balitara. Yakni, dalam bab I ini akan dijelaskan tiga
hal yang sangat urgen dalam tersebut, antara lain:
1.
Kitab Kimiya’ul Jawiyah
Kata “Kitab” merupakan Bahasa Arab yang artinya tulisan. Kata “Kimiya’ul” berasal dari istilah Kimia
atau Ilmu Kimia. Ilmu Kimia adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan perubahan
dari non-materi menjadi materi. Sedangkan kata “Jawiyah” adalah istilah “Jawa” yang di-arab-kan. Arti kata “Jawa”
sendiri sering diartikan mbeneh, lebet,
dan jeru. Jadi, dari penamaan “Kitab
Kimiya’us Sa’adah” ini ada sebuah harapan agar dalam diri kita ada perubahan
non-materi (seperti: ide-ide, konsep-konsep, dll.) menjadi wujud perubahan
materi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kata “Jawiyah” disini dimaksudkan agar kita
semua memiliki harapan berupa perubahan dari yang tidak mbeneh menjadi mbeneh,
dari yang negatif menjadi positif, dari yang keras kepala menjadi lunak, dari
yang tidak sopan menjadi sopan, dan semacamnya.
2.
Majelis Diskusi Balitara
Kata “Majelis” berarti tempat duduk bersama atau palungguhan. Kata “Diskusi” berarti mencari titik temu dari
berbagai macam pola pikir. Sedangkan kata “Balitara” menurut beberapa sesepuh
berasal dari dua kata yaitu “Bali” dan “Tara”. Kata “Bali” berarti kembali,
sedangkan “Tara” berarti jaya atau menang. Kalau “Majelis Diskusi Balitara”
dibahasa Arab-kan menjadi “Majelis Al-Mudzakaroh Al-Balitariyah”. Dengan nama
tersebut ada harapan besar bahwa tempat duduk diskusi bersama ini bisa membawa
perubahan ke arah kejayaan. Kejayaan di sini bisa berupa kejayaan batin,
kejayaan materi, kejayaan mental-spiritual, dan semacamnya.
3.
Wirid (Tafakur/Meditasi)
Padanan kata meditasi (semedi) dalam Islam adalah zikir atau tafakur.
Setiap acara dalam Majelis Diskusi Balitara akan diawali tafakur/zikir
(meditasi) yang dinukil dari buku berjudul “Pepali Ki Ageng Selo”. Dalam buku
yang ditulis Raden Mas Soetardi Soeryohoedoyo pada halaman 37-38 tersebut
disebutkan bahwa lelaku Ki Ageng Selo (murid Sunan Kalijaga) ketika menuju tafakur/meditasi
diawali dengan “Doa Sapu Jagad”. Berikut ini susunan tafakur/zikir (meditasi)
dalam Majelis Diskusi Balitara berdasarkan pengembangan dari buku tersebut.
1. Pembukaan
§ Istighfar 3x/5x/lebih
§ Shalawat 3x/5x/lebih
2. Hadiah Fatikah
§ Nabi Muhammad 1x
§ Sunan Kalijaga 1x
§ Ki Ageng Selo 1x
§ Dan siapa saja yang dikehendaki
3. Doa Sapu Jagad: “Robbana Atina Fid
Dunya Hasanah Wa Fil Akhiroti Hasanah Wa Qina Adzaban Nar”
4. Zikir: “Allah-Allah” sesuai
keluar-masuknya nafas. []
BAB II
ZIKIR PENJAGA NAFAS
Sebenarnya dalam buku berjudul “Pepali Ki Ageng
Selo” di atas tidak diharuskan lafadz zikir berupa Allah-Allah, tapi bisa berupa Allah-Hu, Hu-Allah,
atau Lailahaillallah. Dalam
komunitas Majelis Diskusi Balitara ini dapat memilih lafadz zikir sesuai dengan
selera masing-masing individu. Toh, inti dari zikir adalah mengingat dan
menyambung tali rasa kepada Allah. Dengan mengingat kepada Allah, hati akan
menjadi tentram. Disebutkan bahwa: “Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang/tentram” (QS. Ar-Ra’d:
28).
Zikir (semedi/meditasi/tafakur) yang dilakukan dalam
Majelis Diskusi Balitara ini hendaknya terus dilakukan dalam segala aktivitas
apapun sebagai Zikir Penjaga Nafas (Zikir
Hifdzul Anfas). Allah
Tuhan Yang Maha Pengasih telah berfirman: “Apabila kalian sudah menyelesaikan shalat,
maka berzikirlah (ingatlah) kalian kepada Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”. (QS. An-Nisa: 103).
Dalam
“Kitab Durratun Nashihin” halaman 260 disebutkan bahwa sehari semalam
itu ada 24 jam, dan nafas manusia dalam satu jam itu ada 180 nafas. Jadi sehari
semalam nafas manusia itu ada 4320 nafas. Dan setiap satu nafas, besok akan
ditanyai dua hal: (1) Untuk apa nafas yang masuk; dan (2) Untuk apa nafas yang
keluar. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian ulama Tharikah Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan semacamnya kemudian melakukan “Zikir
Hifdzul Anfas” (Zikir untuk Menjaga Nafas). Yakni, zikir untuk menjaga
nafas dengan lafadz “Hu-Allah”
(Masuknya nafas berzikir lafadz “Hu”
dan keluarnya nafas berzikir lafadz “Allah”).
Akan tetapi hal tersebut dilakukan dalam batin, artinya lisannya tidak
mengucapkan.
Sayyid
Abdullah dalam “Kitab Al-Kibrit Al-Ahmar” menyatakan bahwa semua ulama
ahli makrifat sepakat bahwa paling utama ibadah kepada Allah swt adalah “Zikir
Hifdzul Anfas” (Zikir untuk Menjaga Nafas) dengan cara tersebut di atas.
Mengapa?. Sebab zikir yang demikian itu menjadi permata-permata yang membuahkan
rahasia-rahasia dan cahaya-cahaya Ilahi. Sebagian ulama ahli hakekat menyatakan
bahwa seseorang bisa melakukan zikir menjaga nafas dengan melafadzkan “Allah-Allah” sesuai keluar dan
masuknya nafas dan disesuaikan pula dengan irama detak jantung. Hal ini bisa
dilakukan setelah usai shalat fardhu, ketika berdiri, berbaring, duduk dan
lainnya. Ada banyak guru ahli tharikah (ahli spiritual) yang telah
mengijazahkan zikir ini kepada saya.
Ada
pula sebagian ulama ahli makrifat (bijaksana) yang melakukan zikir untuk
menjaga nafas (Zikir Hifdzul Anfas) dengan melafadzkan “Ya-Hu” artinya “Wahai Dia”.
Caranya adalah sama sebagaimana di atas. Yakni, ketika menghirup nafas melalui
hidung melafadzkan “Ya”, dan
ketika mengeluarkan nafas melafadzkan “Hu”,
serta bisa pula disesuaikan dengan irama detak jantung yang berada di bawah payudara
kiri kurang lebih jarak dua jari tangan. []
|
BAB II
HUKUM MEMBAKAR DUPA DAN
KEMENYAN
Majelis Diskusi Balitara memiliki tradisi membakar
Dupa (“Buhur” dalam Bahasa Arab dan “Hioswa” dalam Bahasa Cina) atau Kemenyan
(“Luban” dalam Bahasa Arab) ketika melakukan zikir (meditasi/semedi/tafakur). Tentu
saja hal ini bukanlah sesuatu yang menyimpang dalam ajaran agama Islam sebab
dimaksudkan untuk wewangian. Di dalam buku Jilid II: “Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah” karya H. Soelaiman
Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos., yang diberi pengantar oleh KH. Abdul
Muchith Muzadi dan diterbitkan oleh Penerbit “Khalista” Surabaya bekerjasama
dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul
Ulama (LTNU) Jawa Timur pada halaman 124-125 telah disebutkan keterangannya
demikian:
“Buhur artinya Kemenyan. Disebut juga dengan
Kemenyan Arab. Baunya harum kemanis-manisan. Berfungsi untuk menenangkan
pikiran dan mengharumkan ruangan. Buhur biasa dipakai oleh sebagian warga NU
(Nahdlatul Ulama) – khususnya Kaum
Habaib (Para Habib) – yang suka melakukan Riyadlah (lelaku spiritual) tertentu sebagai sarana menambah
konsentrasi. Tidak semua orang NU mengenal dan suka memakai harum-haruman jenis
Buhur ini. Hanya mereka yang akrab dengan dunia mistik dan supranatural melalui
rangkaian doa-doa yang disusun Para Ulama Pendahulu (misalnya Ratib, Hizib dan
Wirid) yang suka mempergunakan. Penggunaan Buhur adalah dengan cara dibakar.
Karena berasal dari Arab, biasanya alat bakar juga dibeli di toko-toko Arab
sekitar daerah Ampel, Surabaya. Bagi mereka yang tidak suka dengan kemenyan
bakar, ada juga yang menggunakan Hioswa (Kemenyan Cina). Sesuai dengan namanya,
barang ini biasanya dibeli di toko-toko Cina dalam bentuk kotak. Sedangkan
Hioswa lebih banyak berbentuk batangan seperti sapu lidi. Baik Buhur maupun
Hioswa, (Dupa, Ratus; Pen) kadang terbuat dari bahan yang sama”.
|
BAB IV
HUKUM TABUR BUNGA
DAN AIR DI MAKAM
Majelis
Diskusi Balitara juga mentradisikan tabur bunga dan mungkin menyiramkan air di
makam. Syaikh Zainuddin Al-Malibari dengan tegas menyebutkan di dalam bukunya
berjudul “Kitab Fathul Muin” (pada
Fashol Fis Sholati Alal Mayyiti): “Disunahkan
meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena mengikuti
(itba’) Nabi Muhammad SAW, dan dapat meringankan beban si mayat karena barokah
bacaan tasbih-nya. Sama halnya seperti adat kebiasaan yang berlaku di
masyarakat, yaitu menabur bunga yang harum dan basah atau yang masih segar
(juga sunah hukum-nya)”.
Bunga
termasuk wangi-wangian. Dan wangi-wangian disunahkan dalam Islam. Syaikh Nawawi
Al-Banteni juga menyebutkan dalam “Kitab
Nihayatuz Zain” pada halaman 154, bahwa malaikat sangat senang dengan aroma
wangi. Sementara itu, terkait menyirami kuburan dijelaskan sebagai berikut: “Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan
air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya
tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air
mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum”. (Dinukil
dari Kitab Nihayatuz Zain, halaman 154).
Hal di
atas merupakan hasil musyawarah dari Lembaga Bahtsul Masa’il LBM-PWNU Lampung. Tentu
saja, masih banyak lagi filosofi yang akan dikaji dalam Majelis Diskusi Balitara
terkait bunga, dupa, air, dan lainnya. Baik dikaji dari filosofi Jawa, dikaji
dari pandangan ilmiah, dan lain sebagainya. []
DAFTAR BACAAN
Arif
Muzayin Shofwan (2016). Risalah Dzikir
Hifdzul Anfas Wal Aurod. Blitar: Pustaka Agung Sunan Tembayat.
---------,
(2018). Kitab Risalah Bayanul Buhur Wa
Luban. Blitar: Komunitas Pecinta Bumi Spiritual.
---------,
(2018). Wirid Suluk Sunan Kalijogo.
Blitar: Komunitas Pecinta Bumi Spiritual.
R.M.
Soetardi Soeryohoedoyo (1993). Pepali Ki
Ageng Selo. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.
H.
Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos. (2012). Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah. Surabaya: Penerbit
Khalista LTNU Jatim.
Raden
Panji Natarata (1975). Serat Bayanullah.
Surabaya: Yayasan Djojo Bojo.
Syaikh
Muhammad Haqqi An-Nazili (t.t). Kitab
Khozinatul Asror. Semarang: Toha Putra.
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari (t.t). Kitab Fathul
Muin. Semarang: Toha Putra.
Drs.
M. Khafid Kasri, dkk. (1993). Suluk
Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya). Jakarta: Balai Pustaka.
Tim
Perumus (2016). Tradisi Tabur Bunga,
Bagaimana dalam Islam?. LBM-PWNU Lampung (nulampung.or.id).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar