Minggu, 03 November 2019

KITAB KIMIYA'UL JAWIYAH


KITAB
KIMIYA’UL JAWIYAH
Fi Bayani Ba’dil Amaliyah Min Majelis
Al-Mudzakaroh Al-Balitariyah



Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.




Dikeluarkan oleh
“MAJELIS DISKUSI BALITARA”
Blitar Raya – Jawa Timur



 
 
Judul Buku:
“KITAB KIMIYA’UL JAWIYAH”
Disusun oleh:
Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.

Penyunting: Siti Nur Azizah

Tim Perumus:
Mohammad Aditya Saputra
Muhammad Azis Anshori
Yuan Adi Kusuma
Doni Indradi
Dkk.

Untuk Kalangan Sendiri
Cetakan Pertama, 2019

Dikeluarkan oleh
“MAJELIS DISKUSI BALITARA”
Blitar Raya – Jawa Timur
MUQODIMAH
Segala puji hanya milik Allah Yang Menguasai Alam semesta. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, ahli baitnya, sahabatnya, dan semua umatnya. Allah Tuhan Yang Maha Pengasih telah berfirman: Apabila kalian sudah menyelesaikan shalat, maka berzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”. (QS. An-Nisa: 103). Amma Ba’du.
Kitab ini saya namakan “Kitab Kimiya’ul Jawiyah” yang menjelaskan tentang sebagian amalan zikir (wirid/ tafakur/ meditasi/ semedi) yang dilakukan dalam Majelis Diskusi Balitara. Tentu saja, dalam hal ini saya sangat berterima kasih kepada semua kawan-kawan sinau bareng Majelis Diskusi Balitara yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk menyusun kitab ini disertai dalil-dalil dan perkataan ulama.
Oleh karena kitab ini hanyalah sebuah tulisan kecil untuk pedoman wirid atau zikir, tentu saja ada banyak kekurangan di sana-sini. Dengan demikian, ada saran dari saya untuk terus mengkaji kitab-kitab yang lain untuk menambah wawasan demi pengembangan diri ke arah yang lebih baik dan mencerahkan. Akhir kata, ada kurang dan lebihnya saya minta maaf.
Blitar, 2 Oktober 2019

Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
DAFTAR ISI


Judul Buku, halaman 2
Muqoddimah, halaman 3
Daftar Isi, halaman 4
Bab I: Arti Nama Kitab, Majelis dan Wirid, halaman 5
Bab II, Zikir Penjaga Nafas,  halaman 7
Bab III, Hukum Membakar Dupa dan Kemenyan, halaman 9
Bab IV, Hukum Tabur Bunga dan Air di Makam, halaman 11
Daftar Bacaan, halaman 12

BAB I
ARTI NAMA KITAB, MAJELIS DAN WIRID

          Untuk mengawali kitab (buku) pedoman ini, akan dipersembahkan beberapa istilah yang ada dalam komunitas Majelis Diskusi Balitara. Yakni, dalam bab I ini akan dijelaskan tiga hal yang sangat urgen dalam tersebut, antara lain:
1.   Kitab Kimiya’ul Jawiyah
Kata “Kitab” merupakan Bahasa Arab yang artinya tulisan. Kata “Kimiya’ul” berasal dari istilah Kimia atau Ilmu Kimia. Ilmu Kimia adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan perubahan dari non-materi menjadi materi. Sedangkan kata “Jawiyah” adalah istilah “Jawa” yang di-arab-kan. Arti kata “Jawa” sendiri sering diartikan mbeneh, lebet, dan jeru. Jadi, dari penamaan “Kitab Kimiya’us Sa’adah” ini ada sebuah harapan agar dalam diri kita ada perubahan non-materi (seperti: ide-ide, konsep-konsep, dll.) menjadi wujud perubahan materi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kata “Jawiyah” disini dimaksudkan agar kita semua memiliki harapan berupa perubahan dari yang tidak mbeneh menjadi mbeneh, dari yang negatif menjadi positif, dari yang keras kepala menjadi lunak, dari yang tidak sopan menjadi sopan, dan semacamnya.

2.   Majelis Diskusi Balitara
Kata “Majelis” berarti tempat duduk bersama atau palungguhan. Kata “Diskusi” berarti mencari titik temu dari berbagai macam pola pikir. Sedangkan kata “Balitara” menurut beberapa sesepuh berasal dari dua kata yaitu “Bali” dan “Tara”. Kata “Bali” berarti kembali, sedangkan “Tara” berarti jaya atau menang. Kalau “Majelis Diskusi Balitara” dibahasa Arab-kan menjadi “Majelis Al-Mudzakaroh Al-Balitariyah”. Dengan nama tersebut ada harapan besar bahwa tempat duduk diskusi bersama ini bisa membawa perubahan ke arah kejayaan. Kejayaan di sini bisa berupa kejayaan batin, kejayaan materi, kejayaan mental-spiritual, dan semacamnya.

3.   Wirid (Tafakur/Meditasi)
Padanan kata meditasi (semedi) dalam Islam adalah zikir atau tafakur. Setiap acara dalam Majelis Diskusi Balitara akan diawali tafakur/zikir (meditasi) yang dinukil dari buku berjudul “Pepali Ki Ageng Selo”. Dalam buku yang ditulis Raden Mas Soetardi Soeryohoedoyo pada halaman 37-38 tersebut disebutkan bahwa lelaku Ki Ageng Selo (murid Sunan Kalijaga) ketika menuju tafakur/meditasi diawali dengan “Doa Sapu Jagad”. Berikut ini susunan tafakur/zikir (meditasi) dalam Majelis Diskusi Balitara berdasarkan pengembangan dari buku tersebut.

1.    Pembukaan
§  Istighfar 3x/5x/lebih
§  Shalawat 3x/5x/lebih
2.    Hadiah Fatikah
§  Nabi Muhammad 1x
§  Sunan Kalijaga 1x
§  Ki Ageng Selo 1x
§  Dan siapa saja yang dikehendaki
3.    Doa Sapu Jagad: “Robbana Atina Fid Dunya Hasanah Wa Fil Akhiroti Hasanah Wa Qina Adzaban Nar
4.    Zikir: “Allah-Allah” sesuai keluar-masuknya nafas. []
BAB II
ZIKIR PENJAGA NAFAS

Sebenarnya dalam buku berjudul “Pepali Ki Ageng Selo” di atas tidak diharuskan lafadz zikir berupa Allah-Allah, tapi bisa berupa Allah-Hu, Hu-Allah, atau Lailahaillallah. Dalam komunitas Majelis Diskusi Balitara ini dapat memilih lafadz zikir sesuai dengan selera masing-masing individu. Toh, inti dari zikir adalah mengingat dan menyambung tali rasa kepada Allah. Dengan mengingat kepada Allah, hati akan menjadi tentram. Disebutkan bahwa: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang/tentram” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Zikir (semedi/meditasi/tafakur) yang dilakukan dalam Majelis Diskusi Balitara ini hendaknya terus dilakukan dalam segala aktivitas apapun sebagai Zikir Penjaga Nafas (Zikir Hifdzul Anfas). Allah Tuhan Yang Maha Pengasih telah berfirman: Apabila kalian sudah menyelesaikan shalat, maka berzikirlah (ingatlah) kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”. (QS. An-Nisa: 103).
Dalam “Kitab Durratun Nashihin” halaman 260 disebutkan bahwa sehari semalam itu ada 24 jam, dan nafas manusia dalam satu jam itu ada 180 nafas. Jadi sehari semalam nafas manusia itu ada 4320 nafas. Dan setiap satu nafas, besok akan ditanyai dua hal: (1) Untuk apa nafas yang masuk; dan (2) Untuk apa nafas yang keluar. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian ulama Tharikah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan semacamnya kemudian melakukan “Zikir Hifdzul Anfas” (Zikir untuk Menjaga Nafas). Yakni, zikir untuk menjaga nafas dengan lafadz “Hu-Allah” (Masuknya nafas berzikir lafadz “Hu” dan keluarnya nafas berzikir lafadz “Allah”). Akan tetapi hal tersebut dilakukan dalam batin, artinya lisannya tidak mengucapkan.
Sayyid Abdullah dalam “Kitab Al-Kibrit Al-Ahmar” menyatakan bahwa semua ulama ahli makrifat sepakat bahwa paling utama ibadah kepada Allah swt adalah “Zikir Hifdzul Anfas” (Zikir untuk Menjaga Nafas) dengan cara tersebut di atas. Mengapa?. Sebab zikir yang demikian itu menjadi permata-permata yang membuahkan rahasia-rahasia dan cahaya-cahaya Ilahi. Sebagian ulama ahli hakekat menyatakan bahwa seseorang bisa melakukan zikir menjaga nafas dengan melafadzkan “Allah-Allah” sesuai keluar dan masuknya nafas dan disesuaikan pula dengan irama detak jantung. Hal ini bisa dilakukan setelah usai shalat fardhu, ketika berdiri, berbaring, duduk dan lainnya. Ada banyak guru ahli tharikah (ahli spiritual) yang telah mengijazahkan zikir ini kepada saya.
Ada pula sebagian ulama ahli makrifat (bijaksana) yang melakukan zikir untuk menjaga nafas (Zikir Hifdzul Anfas) dengan melafadzkan “Ya-Hu” artinya “Wahai Dia”. Caranya adalah sama sebagaimana di atas. Yakni, ketika menghirup nafas melalui hidung melafadzkan “Ya”, dan ketika mengeluarkan nafas melafadzkan “Hu”, serta bisa pula disesuaikan dengan irama detak jantung yang berada di bawah payudara kiri kurang lebih jarak dua jari tangan. []


Sabda Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali: “Hai Ali, pejamkan kedua matamu, rapatkan kedua bibirmu, dan tempelkan lidahmu pada langit-langit, dan katakan: Allah, Allah” (HR. Thabrani & Baihaqi)
 
 




BAB II
HUKUM MEMBAKAR DUPA DAN KEMENYAN

Majelis Diskusi Balitara memiliki tradisi membakar Dupa (“Buhur” dalam Bahasa Arab dan “Hioswa” dalam Bahasa Cina) atau Kemenyan (“Luban” dalam Bahasa Arab) ketika melakukan zikir (meditasi/semedi/tafakur). Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang menyimpang dalam ajaran agama Islam sebab dimaksudkan untuk wewangian. Di dalam buku Jilid II: “Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah” karya H. Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos., yang diberi pengantar oleh KH. Abdul Muchith Muzadi dan diterbitkan oleh Penerbit “Khalista” Surabaya bekerjasama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNU) Jawa Timur pada halaman 124-125 telah disebutkan keterangannya demikian:
Buhur artinya Kemenyan. Disebut juga dengan Kemenyan Arab. Baunya harum kemanis-manisan. Berfungsi untuk menenangkan pikiran dan mengharumkan ruangan. Buhur biasa dipakai oleh sebagian warga NU (Nahdlatul Ulama) – khususnya Kaum Habaib (Para Habib) – yang suka melakukan Riyadlah (lelaku spiritual) tertentu sebagai sarana menambah konsentrasi. Tidak semua orang NU mengenal dan suka memakai harum-haruman jenis Buhur ini. Hanya mereka yang akrab dengan dunia mistik dan supranatural melalui rangkaian doa-doa yang disusun Para Ulama Pendahulu (misalnya Ratib, Hizib dan Wirid) yang suka mempergunakan. Penggunaan Buhur adalah dengan cara dibakar. Karena berasal dari Arab, biasanya alat bakar juga dibeli di toko-toko Arab sekitar daerah Ampel, Surabaya. Bagi mereka yang tidak suka dengan kemenyan bakar, ada juga yang menggunakan Hioswa (Kemenyan Cina). Sesuai dengan namanya, barang ini biasanya dibeli di toko-toko Cina dalam bentuk kotak. Sedangkan Hioswa lebih banyak berbentuk batangan seperti sapu lidi. Baik Buhur maupun Hioswa, (Dupa, Ratus; Pen) kadang terbuat dari bahan yang sama”.
Syaikh Imam Adz-Dzahabi pernah menyebutkan dalam Kitab  Siyar A’lam An-Nubala’ (5 /22 ) bahwa:
Nuaim Bin Abdillah Al-Mujammar, ahli Madinah, seorang ahli fiqih, Maula (bekas budak) keluarga Umar Bin Khattab. Ia membakar kemenyan untuk membuat harum Masjid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam”.
 
Berdasarkan keterangan di atas, tradisi membakar Buhur, Dupa, Hioswa, Ratus, Kemenyan, dan semacamnya merupakan sebuah tradisi sebagian Kaum Habaib (Para Habib) dan tradisi sebagian penempuh spiritual di belahan dunia manapun, serta termasuk sebagian budaya atau tradisi Amaliyah Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi, dalam berbagai kitab mu’tabarah NU banyak disebutkan bahwa sebuah wirid maupun zikir disarankan memakai atau dengan membakar Dupa, Ratus, Hioswa, Buhur, Kemenyan Arab dan semacamnya. Kitab tersebut antara lain: (1) Kitab Syamsul Ma’arif Al-Kubro dan Kitab Manba’u Ushulil Hikmah, karya Syaikh Abul Abbas Bin Ali Al-Buni; (2) Kitab Sirrul Jalil, karya Syaikh Abul Hasan As-Syadzili; (3) Kitab Khozinatul Asror, karya Syaikh Muhammad Haqqi An-Nazili; dan lain sebagainya. Semoga tulisan ini bermanfaat menambah pengetahuan kita tentang tradisi membakar Buhur, Hioswa, Ratus, Dupa, Kemenyan Arab, Jawa, Cina, India, Jepang, Myanmar, dan semacamnya. []





BAB IV
HUKUM TABUR BUNGA DAN AIR DI MAKAM

Majelis Diskusi Balitara juga mentradisikan tabur bunga dan mungkin menyiramkan air di makam. Syaikh Zainuddin Al-Malibari dengan tegas menyebutkan di dalam bukunya berjudul “Kitab Fathul Muin” (pada Fashol Fis Sholati Alal Mayyiti): “Disunahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena mengikuti (itba’) Nabi Muhammad SAW, dan dapat meringankan beban si mayat karena barokah bacaan tasbih-nya. Sama halnya seperti adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu menabur bunga yang harum dan basah atau yang masih segar (juga sunah hukum-nya)”.
Bunga termasuk wangi-wangian. Dan wangi-wangian disunahkan dalam Islam. Syaikh Nawawi Al-Banteni juga menyebutkan dalam “Kitab Nihayatuz Zain” pada halaman 154, bahwa malaikat sangat senang dengan aroma wangi. Sementara itu, terkait menyirami kuburan dijelaskan sebagai berikut: “Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum”. (Dinukil dari Kitab Nihayatuz Zain, halaman 154).
Hal di atas merupakan hasil musyawarah dari Lembaga Bahtsul Masa’il LBM-PWNU Lampung. Tentu saja, masih banyak lagi filosofi yang akan dikaji dalam Majelis Diskusi Balitara terkait bunga, dupa, air, dan lainnya. Baik dikaji dari filosofi Jawa, dikaji dari pandangan ilmiah, dan lain sebagainya. []
DAFTAR BACAAN

Arif Muzayin Shofwan (2016). Risalah Dzikir Hifdzul Anfas Wal Aurod. Blitar: Pustaka Agung Sunan Tembayat.
---------, (2018). Kitab Risalah Bayanul Buhur Wa Luban. Blitar: Komunitas Pecinta Bumi Spiritual.
---------, (2018). Wirid Suluk Sunan Kalijogo. Blitar: Komunitas Pecinta Bumi Spiritual.
R.M. Soetardi Soeryohoedoyo (1993). Pepali Ki Ageng Selo. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.
H. Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos. (2012). Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah. Surabaya: Penerbit Khalista LTNU Jatim.
Raden Panji Natarata (1975). Serat Bayanullah. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo.
Syaikh Muhammad Haqqi An-Nazili (t.t). Kitab Khozinatul Asror. Semarang: Toha Putra.
Syaikh Zainuddin Al-Malibari (t.t). Kitab Fathul Muin. Semarang: Toha Putra.
Drs. M. Khafid Kasri, dkk. (1993). Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya). Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Perumus (2016). Tradisi Tabur Bunga, Bagaimana dalam Islam?. LBM-PWNU Lampung (nulampung.or.id).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar