Sekelumit
Kisah
MBAH
KYAI MARTOBRONI MANUKAN
[Dari
Lodoyo Hingga Sekardangan]
Disusun
oleh
Dr.
Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Dikeluarkan
oleh
“KOMUNITAS
PECINTA BUMI SPIRITUAL”
|
Judul Buku:
“Sekelumit Kisah Mbah Kyai
Martobroni Manukan: Dari Lodoyo Hingga Sekardangan”
Disusun oleh:
Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Penyunting: Ahmad Mansuri
Penyelaras Akhir: Muhammad Fakih
Untuk Kalangan Sendiri
Cetakan Pertama, 2018
Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI
SPIRITUAL (KPBS)”
|
KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah sebagai penguasa alam semesta. Shalawat dan salam
mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para ahli bait,
sahabat, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Ada anjuran dari ajaran
agama untuk melakukan silaturrahim (menyambung cinta kasih). Tentu saja dalam
situasi dunia yang serba carut marut ini kadang silaturrahim memang sulit untuk
dilakukan.
Setidaknya
buku yang berjudul “Sekelumit Kisah Mbah
Kyai Martobroni Manukan: Dari Lodoyo Hingga Sekardangan” ini semoga jadi
lantaran menyambung tali silaturrahim (tali cinta kasih), khususnya buat
dzurriyah Mbah Kyai Martobroni. Secara umum semoga buku dapat menginspirasi
kita dalam hal lelaku spiritual. Telah saya sebutkan di bab paling belakang
tentang amalan Surat Al-Fatikah untuk lelaku spiritual.
Akhir
kata, teriring doa mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua, terutama
sekali bagi dzurriyah Mbah Kyai Martobroni Manukan, dan umumnya bagi yang
membaca buku ini. Amin.
Blitar,
30 September 2018
Penulis,
Dr.
Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
DAFTAR
ISI
Judul
Buku ~ 1
Kata
Pengantar ~ 3
Daftar
Isi ~ 4
Bab
I: Sekelumit Mbah Kyai Martobroni ~ 5
Bab
II: Serba-Serbi Keturunan Mbah Kyai Martobroni di Sekardangan ~ 9
Bab
III: Pertemuan Nasab Istri dan Keluarga Besar Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
Dengan
Leluhur
Sekardangan ~ 13
Bab
IV: Cara Kirim Surat Al-Fatikah Khususiyah di Makam Para Waliyulloh ~ 16
v
BAB
I
SEKELUMIT
MBAH KYAI MARTOBRONI
Dikisahkan
bahwa Mbah Kyai Martobroni atau yang sering disebut Mbah Kyai Imam Tobroni
berasal dari daerah Bacem, Lodoyo, Blitar. Ayah beliau konon dimakamkan di
lereng bukit/gunung di daerah Bacem. Konon dulu makam ayah dari Mbah Kyai
Martobroni ini juga dikeramatkan oleh warga sekitarnya. Dikisahkan pula bahwa
ayah Mbah Kyai Martobroni ini masih ada hubungan kekerabatan dengan Syaikh Abu
Naim Fathullah (Raden Sutro Menggolo atau Mbah Macan Putih) yang makamnya
berada di “Areal Makam Sentono”
bagian selatan sungai di Lodoyo, Blitar.
Konon
dulu Mbah Kyai Martobroni dan Nyai Martobroni sudah lama menikah akan tetapi
tidak dikarunia anak oleh Yang Maha Kuasa. Lalu, keduanya sowan kepada paman
sekaligus gurunya yang bernama Syaikh Abu Naim Fathullah (saat itu syaikh ini
masih berada di Bacem). Syaikh Abu Naim Fathullah berkata kepada keduanya: “Yen awakmu pingin nduwe anak, awakmu opo
wani tukone lan syarate lelaku. Syarate lelaku yoiku, sliramu wong loro kudu
diobong urip-uripan. Lan kanti ritual iki, awakmu bakal nduweni anak”.
Lama
berfikir dan berfikir, akhirnya Mbah Kyai Martobroni dan Nyai Martobroni
memutuskan berani dengan “Ritual Obong”
dari gurunya tersebut saking inginnya punya anak. Keduanya lalu dibakar
hidup-hidup dengan beragam kayu dan bambu Petung dengan api yang
berkobar-kobar. Lalu setelah kobaran api padam habis, ternyata keduanya masih
hidup dan tampak dari salah satu bambu Petung yang dibakar muncul seorang bayi
mungil yang tidak ikut terbakar.
Bayi
mungil dari “Ritual Obong” atau
disebut “Bayi Pujon” (bayi yang adanya
karena dipuja/dirituali) tersebut, akhirnya oleh Syaikh Abu Naim Fathullah
diberi nama “Marto Sentono” atau “Marto Dikromo”. Kata “Sentono” diletakkan
dibelakangnya untuk menandai bahwa dia masih kerabat dari keluarga besar “Makam
Sentono” Lodoyo, Blitar Selatan. Sedangkan tentang kata “Dikromo”, penulis
belum tahu-menahu hal tersebut. Sebab yang diceritakan dari Mbah Kyai Zainuddin
Sakri Sekardangan hanya kisah Marto Sentono saja.
Dan
perlu diketahui hanya “Marto Sentono” atau “Marto Dikromo” inilah satu-satunya
putra dari Mbah Kyai Martobroni Manukan. Kisah tentang hal di atas, penulis
terima dari cerita Mbah Kyai Zainuddin Sakri (seorang ulama di Sekardangan yang
menjadi menantu dari Mbah KH. Ridwan Pondok Pesantren Karangsono, Kanigoro,
Blitar). Semoga Allah senantiasa mengampuni segala kesalahan Mbah Kyai
Zainuddin Sakri. Amiin.
Mbah
Kyai Zainuddin Sakri Sekardangan juga menceritakan bahwa dulu ketika kapal
terbang atau kapal perang milik kolonial Belanda melewati atasnya makam Mbah
Kyai Martobroni Manukan yang berada di Pemakaman Patuk, maka kapal tersebut
selalu oleng ke kiri dan ke kanan serasa mau jatuh. Begitu pula, dikisahkan
bahwa dulu ketika ada burung yang terbang di atas makam Mbah Kyai Martobroni
Manukan, maka burung itu pasti jatuh ke tanah tetapi tidak mati.
Adapun
silsilah nasab Mbah Kyai Zainuddin Sakri Sekardangan yang berjalur dengan Mbah
Kyai Martobroni Manukan dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Mbah Kyai Martobroni, berputra:
2.
Mbah Kyai Marto Sentono/Marto Dikromo,
berputra:
3.
Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan, berputra:
4.
Mbah Kyai Zainuddin Sakri Sekardangan
(menantu dari Mbah Kyai Haji Ridwan Pondok Pesantren Karangsono)
Sedangkan
silsilah saya (yakni Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd) dari Mbah Kyai Martobroni Manukan
dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu:
1.
Mbah Kyai Martobroni, berputra:
2.
Mbah Kyai Marto Sentono/Marto Dikromo,
berputra:
3.
Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan, berputra:
4.
Mbah Nyai Umi Kulsum Sekardangan
(istri dari Mbah Kyai Muhammad Irjaz), berputra:
5.
Hajjah Siti Rofiah Sekardangan (istri
dari Mbah Haji Tamam Thahir), berputra:
6.
Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
(penulis)
Demikianlah
sekelumit tentang Mbah Kyai Martobroni yang saya peroleh dari Mbah Kyai
Zainuddin Sakri Sekardangan. Besar harapan saya bahwa tulisan ini dapat
menjembatani silaturrahim mengumpulkan balung pisah, sehingga suatu saat bisa
saling bekerjasama dalam hal apapun. Begitu pula, dengan buku ini mudah-mudahan
ada tradisi napak tilas ziarah bersama-sama mulai dari makam Mbah Kyai
Martobroni Manukan hingga ayahnya di Bacem-Lodoyo, dan beberapa makam di
“Sentono Lodoyo” Blitar, antara lain:
1.
Syaikh Abu Naim Fathullah/Raden Sutro
Menggolo/Mbah Macan Putih
2.
Pangeran Prabu (Pembawa Gong Kyai
Pradah)
3.
Wali Putri Mbah Boinem
4.
Mbah Kyai Abdul Manab/Ali Mahfudz
5.
Eyang Soeryo Koesomo
6.
Eyang Siddiq Urip
7.
Mbah Kyai Imam Sampurno atau Habib
Kamal
8.
Mbah Kyai Kasan Besari
9.
Dan lain-lainnya.
Demikian
tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat dan ada yang melanjutkan tulisan ini.
Amiiin.[]
BAB II
SERBA-SERBI
KETURUNAN MBAH KYAI MARTOBRONI DI SEKARDANGAN
Salah satu cucu dari Mbah Kyai Martobroni Manukan
yang hijrah ke dusun Sekardangan, Kanigoro, Blitar adalah Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi. Perlu diketahui bahwa Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi ini sebelum ke dusun
Sekardangan pernah mondok dan berguru kepada Mbah Kyai Haji Abdurrohman
Kebonsari, Garum, Blitar. Bahkan dikisahkan ketika Mbah Kyai Haji Abdurrohman
wafat dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, maka Ahmad Dasuqi muda
inilah yang ikut membantu merawat putra-putra kyainya tersebut, antara lain
seperti:
1. Mbah Kyai Haji Hadin Mahdi (Mursyid Tharikat
Tijaniyah Tulungsari Garum)
2. Mbah Kyai Busro (Ploso-Pakel)
3. Mbah Kyai Malak (Bonsari)
4. Dan lain-lainnya.
Setelah lama Ahmad Dasuqi muda menimba ilmu dan
nyantrik kepada Mbah Kyai Haji Abdurrohman Kebonsari, dia lalu hijrah ke dusun
Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Di dusun Sekardangan ini, Ahmad Dasuqi muda
nyantrik kepada Mbah Kyai Haji Zainuddin Sepuh. Ahmad Dasuqi muda inilah yang
sering merumputkan hewan-hewan ternak milik Mbah Kyai Haji Zainuddin Sepuh,
seperti: kambing, sapi, dan lainnya.
Di dusun Sekardangan ini pula, Ahmad Dasuqi muda
juga berguru ilmu tauhid kepada Mbah Kyai Muhammad Sholeh Kuningan. Yakni,
seorang ulama ahli tauhid yang telah menyusun sebuah kitab berjudul “Kitab
Nata’ijul Afkar”, artinya sebuah kitab buah dan hasil dari
perenungan-perenungan mendalam pikiran tentang ke-esa-an Allah Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya, oleh karena Ahmad Dasuqi muda sangat
rajin, pandai agama dan sangat alim ilmu tauhid, maka dia lalu diambil menantu
oleh Mbah Kyai Haji Zainuddin Sepuh. Yakni, Ahmad Dasuqi muda dinikahkan dengan
putrinya yang bernama Murdinah.
Setelah keduanya menikah, keduanya lalu membuat
rumah daduk berada di Sekardangan bagian Tengah. Dan di rumah daduk inilah,
Mbah Kyai Haji Muhammad Sholeh Kuningan (guru dari Ahmad Dasuqi) sering singgah
dan diskusi masalah ilmu tauhid.
Dikisahkan oleh Mbah Kyai Zainuddin Sakri
Sekardangan bahwa ketika Ahmad Dasuqi kedatangan gurunya yakni Mbah Kyai Haji
Muhammad Sholeh Kuningan, dia sangat ingin memberi suguhan terbaik bagi gurunya
tersebut. Namun apa boleh buat, oleh karena ekonomi yang pas-pasan, maka Dasuqi
muda sangat prihatin sekali akan hal tersebut. Dan ketika Mbah Kyai Haji
Muhammad Sholeh mengetahui keprihatinan santrinya, beliau lalu berjalan ke
teras depan dan mengambil sedikit atap rumah yang terbuat dari daun
kelapa/blarak. Lalu, Mbah Kyai Haji Muhammad Sholeh Kuningan meremas-remas
blarak tersebut. Dan tiba-tiba, blarak itu menjadi Srundeng (lauk berbahan kelapa) yang siap digunakan untuk
lauk-pauk makan bersama. (Ini mungkin salah satu keramat dari Mbah Kyai Haji
Muhammad Sholeh Kuningan).
Perlu diketahui bahwa dalam kehidupan pribadinya,
Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan memiliki tiga istri dan beberapa
putra-putri, antara lain:
1. Nyai
Murdinah, memiliki 9 putra-putri
yaitu:
1. Abdul Mu’thi (meninggal dunia masih kecil)
2. Nyai Siti Maryam (Jeding, Sanankulon, Blitar)
3. Nyai Umi Kulsum (Sekardangan, Kanigoro, Blitar)
4. Mbah Kyai Muhyiddin (Bence, Garum, Blitar)
5. Mbah Kyai Ustman (Buntu, Tlogo, Kanigoro, Blitar)
6. Mbah Kyai Zainuddin Sakri (Sekardangan, Kanigoro,
Blitar)
7. Mbah Kyai Bakri (Pakel, Banggle, Kanigoro, Blitar)
8. Nyai Sofiyah Daim (Tingal, Garum, Blitar)
9. Mbah Kyai Abdul Hamid (Sekardangan, Kanigoro, Blitar.
2. Nyai
Artinah, memiliki 3
putra-putri, yaitu:
1. Mbah Kyai Sarkowi (Karanggayam, Jabung, Talun,
Blitar)
2. Mbah Kyai Kafrawi (Sekardangan, Kanigoro, Blitar)
3. Nyai Sholikah Siddiq (Tlogo, Kanigoro, Blitar)
3. Nyai
Kadanah, memiliki 2 putri
yaitu:
1. Nyai Mansuroh (+ Mbah Kyai Shokeh) Sekardangan,
Kanigoro, Blitar.
2. Nyai Umi Salamah (+ Mbah Kyai Husnan) Sekardangan,
Kanigoro, Blitar.
Dari ketiga istrinya inilah kemudian keturunan Mbah
Kyai Haji Ahmad Dasuqi menebar ke berbagai dusun, desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi, hingga ada yang hijrah ke mancanegara. Para keturunan Mbah Kyai Haji
Ahmad Dasuqi ini bisa dibilang multikultur dari segi profesi atau pekerjaan.
Ada yang menjadi guru, petani, dosen, pejabat, kyai, ustadz, pengasuh pondok
pesantren, pedagang, karyawan swasta, penempuh spiritual, dukun atau
paranormal, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa berwarna-warninya
keturunan Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi ini bagaikan keindahan pelangi di angkasa
yang luar biasa.
Demikianlah kisah Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan yang merupakan cucu dari Mbah Kyai Martobroni Manukan.
Mudah-mudahan catatan ini dapat digunakan untuk menyambung tali silaturrahim
yang terus berkesinambungan. Amin, amin.
BAB
III
PERTEMUAN
NASAB ISTRI DAN KELUARGA BESAR MBAH KYAI HAJI AHMAD DASUQI DENGAN LELUHUR
SEKARDANGAN
Perlu diperjelas lagi bahwa Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi merupakan cucu dari Mbah Kyai Martobroni yang konon makamnya berada di
sebuah gedung kuno di Pemakaman Kuno Pathuk Manukan, Garum, Blitar. Dikisahkan
bahwa Mbah Kyai Martobroni atau Mbah Kyai Imam Tobroni ini juga merupakan
sesepuh pertama di daerah Manukan bagian selatan jalan aspal besar yang aslinya
berasal dari daerah Bacem, Blitar Selatan.
Kembali mengenai kisah Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
yang hijrah ke dusun Sekardangan. Hijrahnya Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi dan
menikah dengan wanita-wanita dusun Sekardangan inilah terdapat pertemuan nasab
antara istri-istrinya dengan para leluhur yang mbabat dusun Sekardangan.
Istri pertama Mbah Kyai Ahmad Dasuqi yang bernama
Nyai Murdinah misalnya, memiliki hubungan nasab dengan salah satu tokoh yang
mbabat dusun Sekardangan bagian Utara dan Tengah yang bernama Mbah Kyai Raden
Atmoserto. Berikut silsilah nasabnya:
1. Mbah Kyai Raden Atmosetro, berputra:
2. Mbah Nyai Setrokromo, berputra:
3. Mbah Nyai Zainuddin Sepuh, berputra:
4. Nyai Murdinah (istri pertama Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi)
Sementara itu, dari jalur yang lainnya, Nyai
Murdinah juga memiliki hubungan nasab dengan Mbah Kyai Abu Yamin yang dulunya
juga berasal dari keluarga besar “Makam Sentono” Lodoyo-Blitar Selatan.
Dikisahkan bahwa oleh karena dikejar-kejar kolonial Belanda pada jaman Mataram,
maka sampailah Mbah Kyai Abu Yamin di dusun Sekardangan dan bermukim serta
beranak-pinak di dusun tersebut. Dikisahkan oleh Mbah Kyai Zainuddin Sakri
bahwa Mbah Kyai Abu Yamin ini merupakan ulama pertama di dusun Sekardangan, di
samping Mbah Kyai Kasan Muhtar dan lainnya. Adapun silsilah nasab Nyai Murdinah
dari jalur Mbah Kyai Abu Yamin adalah sebagai berikut:
1. Mbah Kyai Abu Yamin, berputra:
2. Mbah Kyai Zainuddin Sepuh, berputra:
3. Nyai Murdinah (istri pertama Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi)
Catatan: Mbah Kyai Raden Atmosetro, Mbah Kyai Abu Yamin,
Mbah Kyai Kasan Muhtar, Mbah Kyai Suwiryo dimakamkan di “Pemakaman Kuno Gaprang”
bagian Utara. Sebab jaman dulu, dusun Sekardangan belum memiliki pemakaman
tersendiri. Sehingga kalau ada yang meninggal dunia dimakamkan di Gaprang
Utara.
Sementara itu, istri kedua
Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi yang bernama Nyai Artinah juga memiliki jalur nasab
dengan salah satu sesepuh dusun Sekardangan yang bernama Mbah Kyai Bontani yang
makamnya berada di bawah Pohon Jenar di sebelah barat Masjid Baitul Makmur
Sekardangan. Yakni, sebuah makam yang tidak pernah ditumbuhi rumput sejak dulu.
Selanjutnya dari istri ketiga Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi yang bernama Nyai Kadanah yang berasal dari Pojok-Garum ini juga pada jalur
atasnya memiliki hubungan silang nasab dengan para leluhur dusun Sekardangan.
Bahkan pertemuan keturunan dan anak-anaknya kebawahnya juga bersambung dengan
para leluhur dusun Sekardangan pula.
Dari catatan buku ini,
saya ingin mengakhiri tulisan dengan beberapa kata dari Mbah Kyai Haji Ahmad
Dasuqi berikut. Ketika Mbah Kyai Haji Ridwan Karangsono sowan kepada Mbah Kyai
Haji Ahmad Dasuqi untuk meminang putranya yang bernama Mbah Kyai Zainuddin
Sakri, dan minta saran untuk menggunakan hari pernikahan, maka Mbah Kyai Haji
Ahmad Dasuqi berkata: “Kabeh dino kuwi
apik. Pokok ora nggawe dino sing wis kliwat”. Konon di mata orang-orang
kuno/lama dusun Sekardangan, Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi ini seorang ulama yang
alim di bidang ilmu tauhid. Bahkan Mbah Kyai Haji Imam Mahdi Sekardangan hampir
setiap malam selalu diskusi ilmu tauhid ke rumah Mbah Kyai Haji Ahmad Dasuqi
ini.[]
BAB
IV
CARA
KIRIM SURAT AL-FATIKAH KHUSUSIYAH DI MAKAM PARA WALIYULLOH
ALLOH SUBHANALLOH, LAILAHAILLALLOHU ALLOHU AKBAR, YA ALLOH, RUH-JASADIPUN
(......................), YA ALLOH PANJENENGAN PARINGI
KULO NIKI NGELMU SIRRI LAN NGELMU MAKRIFAT PANJENENGAN INGKANG PANJENENGAN
TITIPAKEN DUMATENG (....................) PERLU KULO DAMEL MAKRIFAT LAN
NGIBADAH DUMATENG PANJENENGAN. AL-FATIKAH... 1x/3x/11x/100x
(Yakni, kemudian
membaca Surat Al-Fatikah dengan bilangan tersebut, atau sebanyak-banyaknya)
Catatan:
Titik-titik di atas
diisi tokoh waliyulloh yang diziarahi makamnya. Misalnya, ketika kita berziarah
ke makam Sunan Ampel, maka titik-titik di atas diisi nama Sunan Ampel. Ketika
kita berziarah ke makam Sunan Tembayat, maka titik-titik di atas juga diisi nama
Sunan Tembayat. Amalan Surat Al-Fatikah ini ijazah dari Mbah Kyai Muhammad Maki
Bandung, seorang mursyid Tharikat Naqsyabandiyah yang berasal dari gurunya
yaitu Mbah Kyai Abah Mahfudz. Amalan ini saya ijazahkan kepada siapa saja yang
mau mengamalkan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar