Wirid
Suluk
SUNAN
TEMBAYAT
Disusun
oleh
Dr.
Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Kata
Pengantar
H.
Muhammad Agung Priyokusumo
Dikeluarkan
oleh
“KOMUNITAS
PECINTA BUMI SPIRITUAL”
|
Judul Buku:
“WIRID SULUK SUNAN TEMBAYAT”
Disusun oleh:
Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Kata Pengantar
H. Muhammad Agung Priyokusumo
Penyunting: Sulaiman
Penyelaras Akhir: Ahmad Mansuri
Tim Kreatif: Muhammad Hafidz
Untuk Kalangan Sendiri
Cetakan Pertama, 2018
Dikeluarkan oleh
“KOMUNITAS PECINTA BUMI SPIRITUAL”
|
KATA PENGANTAR
DARI MBAH HAJI MUHAMMAD AGUNG PRIYOKUSUMO
Segala
puji hanya milik Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Shalawat dan salam
mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, para ahli bait dan
sahabatnya. Dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Rukun agawe santosa. Crah agawe bubrah”, mungkin inilah kalimat
yang seiring dan senafas dengan wejangan patembayatan wali agung Sunan
Tembayat.
Dengan
senang hati saya menyambut hadirnya buku berjudul “Wirid Suluk Sunan Tembayat” yang
disusun oleh Saudara Dr. Arif Muzayin Shofwan ini. Saya sendiri sangat senang
apabila patembayatan/pirukunan semua agama, bangsa, dan negara bisa terwujud di
bumi Nusantara ini. Sudah seharusnya, wejangan Sunan Tembayat berupa “patembayatan/pirukunan” menjadi sebuah
nilai yang harus disebarluaskan bersama.
Selain
itu, saya juga merekomendasikan bagi penempuh spiritual agar membaca buku
berjudul “Kitab Suluk Rumekso Ing Napas” yang saya susun bersama Saudara Arif
Muzayin Shofwan. Sebab buku tersebut sangat mendukung bagi para penempuh
tarekat yang ingin menata patembayatan lahir dan batin-nya.
Blitar,
26 Juni 2018
(Mbah
Haji Muhammad Agung Priyokusumo)
DAFTAR
ISI
Judul
Buku ~ 1
Kata
Pengantar Dari Mbah Haji Muhammad Agung Priyokusumo ~ 3
Daftar
Isi ~ 4
Bab
I: Wejangan Sangkan Paraning Dumadi ~ 5
Bab
II: Wejangan Syahadat Patembayatan ~ 7
Bab
III: Wejangan Pambukaning Tata Malige Ing Baitul Muharom ~ 9
Bab
IV: Wejangan di Puncak Jabalkat ~ 11
Bab
V: Niat Ikut Menebar Nafas Patembayatan ~ 13
Daftar
Bacaan - 16
BAB I
WEJANGAN SANGKAN PARANING DUMADI
Dalam “Serat Babad Demak” disebutkan tentang wejangan (petuah)
Sunan Kalijogo kepada Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran II/ Raden Kasan Nawawi) dalam
bentuk Tembang Dhandanggulo berikut:
“Urip iku neng ndonya tan lami. Umpamane jebeng menyang pasar. Tan langgeng neng pasar bae. Tan
wurung nuli mantuk. Mring wismane sangkane uni.
Ing mengko aja samar. Sangkan paranipun. Ing mengko podo weruha.Yen asale sangkan paran duk ing nguni. Aja nganti kesasar.”
Ing mengko aja samar. Sangkan paranipun. Ing mengko podo weruha.Yen asale sangkan paran duk ing nguni. Aja nganti kesasar.”
Terjemahan Bebas:
Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Ibarat kita pergi ke pasar. Kita
tidak akan selamanya di pasar. Tapi kita pasti akan pulang. Ke rumah asalnya.
Janganlah kau ragu. Asal-mulanya (dari pasar ke rumah). Dan ketahuilah. Kalau
asalnya dari rumah, maka kembali atau pulang lagi ke rumah. Janganlah sampai
tersesat.
Wejangan Sunan Kalijogo kepada Sunan Tembayat di atas berisi tentang
ajaran “Sangkan Paraning Dumadi”, artinya asal mula dan tempat
kembalinya segala sesuatu. Dalam istilah lain bisa dikatakan “Ilmu Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun”, artinya ilmu yang menjelaskan akan adanya
Kita ini milik Allah, dan Kita akan kembali kepada Allah. Artinya, kalau kita
berasal dari Allah, maka kita nanti kembali kepada Allah, bukan kembali kepada
selain Allah. Terusan wejangan di atas adalah sebagai berikut:
“Yen kongsiho sasar jeroning pati. Dadya tiwas uripe kesasar. Tanpo
pencokan sukma-ne. Separan-paran nglangut. Kadya mega
katut ing angin. Wekasan dadi udan. Mulih marang banyu. Dadi
bali muting wadag. Ing wajibe sukma tan kena ing pati. Langgeng
donya akherat.”
Terjemahan Bebas:
Apabila sampai tersesat dalam kematian. Maka, jadilah hidupnya tersesat. Jiwa (sukma)-nya tak punya pegangan.
Kemana-mana terhanyut. Seperti mega terbawa angin. Akhirnya jadi hujan. Kembali
pada air. Jadi kembali ke asalnya. Padahal seharusnya jiwa (sukma) itu tak
pernah mati. Kekal di dunia dan akhirat.
Jadi, apabila Jiwa (Sukma) tak punya Pegangan (Pencokan), maka
dia akan terhanyut pada kesenangan-kesenangan inderawi, yang bila dituruti
tidak akan membawa kepuasan batin. Bahkan akan terus seperti roda berputar: “Setelah senang, timbul susah” 3x dan seterusnya. Padahal Sukma
(Jiwa/Batin) itu dari awalnya Tidak mengalami Susah dan Senang.
Sifat Sukma (Jiwa/Batin) adalah: KEKAL/LANGGENG. Arti “Kekal”
yaitu “Tidak Mengalami Pergantian
Senang-Susah”. Kondisi inilah tempat kita kembali yang sejati. []
BAB II
WEJANGAN SYAHADAT PATEMBAYATAN
Disebut dengan “Sunan Tembayat” sebab beliau
merupakan wali yang selalu mengadakan patembayatan atau pirukunan
atau gotong-royong atau musyawarah tanpa memandang suku, agama,
ras, golongan, budaya dan semacamnya. Bahkan Sunan Tembayat dalam hal ini
memiliki sebuah syahadat yang disebut dengan “SYAHADAT TEMBAYAT”, yang
intinya adalah:
“Saya bersaksi
bahwa tiada hidup yang lebih indah dan membawa kedamaian sesama manusia kecuali
dengan mengadakan patembayatan (pirukunan/ gotong-royong/ musyawarah) dalam hal
apapun dan dengan siapapun di kolong dunia ini, tanpa memandang suku, agama,
ras, golongan, budaya, dan semacamnya.”
Dengan syahadat (persaksian diri) seperti di
atas, maka tak heran bila Sunan Tembayat tidak pernah memusuhi Syaikh Siti
Jenar (Syaikh Hasan Ali) dan santri-santrinya yang pada saat itu dianggap sesat
oleh pihak yang tidak menyukainya. Justru Sunan Tembayat bisa merangkul para
santri Syaikh Siti Jenar dalam “Patembayatan”-nya untuk musyawarah atau
sarasehan akan paham Ketuhanan yang ada. Tidak lantas memberi stigma sesat dan
menyesatkan terhadap paham lainnya. Maka tak heran bila setelah kematian Syaikh
Siti Jenar, banyak sekali murid-murid Syaikh Siti Jenar yang lantas bergabung
dalam “Patembayatan”-nya Sunan Tembayat.
Dalam “Babad Nagari Semarang” disebutkan
bahwa Sunan Tembayat memiliki banyak murid salah satunya adalah Ki Ageng
Gribig. Sedangkan dalam “Serat Centini” dinyatakan bahwa Sunan Tembayat
juga memiliki murid bernama Syaikh Sekar Delima. Nama tersebut merupakan
julukan yang diberikan oleh Sunan Tembayat yang nama aslinya adalah Raden Joko
Bluwo salah satu putra Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.
Dinyatakan pula bahwa Sunan Tembayat dalam
memberikan wejangan (petuah) tidak banyak mengguna-kan dalil-dalil atau
ayat-ayat yang menyusahkan bagi orang Jawa. Sunan Tembayat lebih suka memberi
petuah (wejangan) dengan “RASA” dan “SIMBOL”. Sebab Sunan
Tembayat mengetahui bahwa kebanyakan orang Jawa lebih kuat dan senang memahami
“RASA” dan “SIMBOL” daripada diberi penjelasan dalil-dalil atau
ayat-ayat yang menyusahkan. Menurut Sunan Tembayat dengan memahami “RASA”
dan “SIMBOL” inilah orang Jawa malah bisa memahami dan menangkap apa
yang diajarkan ajaran agama Islam tanpa perlu disajikan dengan disertai
dalil-dalil yang menyusahkan.
Sunan Tembayat menamakan masjidnya dengan “MASJID
GOLO” yang artinya bahwa “GOLO” itu Sengkalan Jawa yang bermakna 17.
Jadi, “MASJID GOLO” merupakan “SIMBOL” didirikannya shalat sehari
semalam sebanyak 17 rakaat di dalam masjid tersebut. Ini juga merupakan
bagian cara memberi wejangan (petuah) Sunan Tembayat kepada masyarakat Jawa
melalui “SIMBOL”, tanpa harus memberi dalil-dalil pada mereka dengan
berbagai dalil yang menyusahkan dan menjlimetkan. Akhirnya, mudah-mudahan kita
bisa melakukan patembayatan/pirukunan terhadap sesama.[]
BAB III
WEJANGAN
PAMBUKANING TATA MALIGE ING BAITUL MUHAROM
Dalam “Kitab Hidayat Jati” karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang
nama aslinya adalah Raden Bagus Burhanuddin, seorang pujangga terakhir Keraton
Surakarta dan murid Kyai Kasan Besari Ponorogo disebutkan bahwa Sunan Tembayat
(Raden Kasan Nawawi) telah direstui oleh Sunan Kalijogo untuk memberikan
wejangan “Pambukaning Tata Malige Ing Baitul Muharom” berikut
kalimatnya:
“Sejatine
Ingsun anata malige sajroning Betal Muharom, iku omah ênggoning lelarangan
Ingsun, jumênêng ana ing Dhadha-ning Adam. Kang ana sajroning Dhadha iku Ati, kang
ana antaraning Ati iku Jantung, sajroning Jantung iku Budi, sajroning Budi iku
Jinêm, yaiku Angen-angen, sajroning Angen-angen iku Sukma, sajroning Sukma iku
Rahsa, sajroning Rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun. Dzat Kang
Anglimputi ing Kahanan Jati.”
Terjemahan:
Sesungguhnya
Aku menata terus-menerus mahligai di dalam Baitul Muharom, di sanalah rumah
larangan-Ku, berada di dalam dada Adam. Yang ada di dalam Dada adalah Hati, di antara
Hati adalah Jantung, di dalam Jantung adalah Budi, di dalam Budi adalah Jinem,
yaitu Angan-angan, di dalam Angan-angan adalah Sukma, di dalam Sukma adalah
Rahsa, di dalam Rahsa adalah Aku. Tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat Yang
Menyelimuti kondisi kesejatian.
Penjelasannya
adalah “BAIT” artinya “RUMAH” dan “MUHAROM” artinya “LARANGAN”.
Maknanya, apa yang ada dalam batin ini merupakan sesuatu larangan dibabarkan
kepada orang lain. Sebab batin (jantung/ hati) merupakan “ALAM RASA/HAWA SUCI” tempat melakukan DZIKIR SIRRI (ELING RAHASIA). Dalam berbagai kajian disebutkan
sebagai berikut:
1.
Baitul Makmur (Rumah
Keramaian) berada di KEPALA MANUSIA => HAWA SARI/ALAM PIKIR
2.
Baitul Muharom (Rumah
Larangan) berada di DADA MANUSIA => HAWA SUCI/ALAM RASA
3.
Baitul Muqoddas (Rumah Yang
Disucikan) berada di ALAT VITAL MANUSIA => HAWA KOTOR/ALAM DUNIA
Dari sini bisa
dipahami bahwa sangat cocok apabila Sunan Tembayat lebih menggunakan nilai “RASA” dalam memberikan wejangan
(petuah) terhadap masyarakat Jawa. Sunan Tembayat yang ahli olah “RASA” (HAWA
SUCI/ALAM RASA/BAITUL MUHAROM) menjadikan beliau lebih mementingkan nilai “RASA” dalam meberikan wejangan kepada
masyarakat Jawa. Makanya, memberi wejangan (petuah) melalui “NGUDO RASA” (musyawarah/ dari hati
ke hati) lebih memberi hasil maksimal di banding dengan memberi wejangan
(petuah) memakai dalil-dalil yang menyusahkan. []
BAB IV
WEJANGAN DI PUNCAK
JABALKAT
Bila kita
pernah naik ke Puncak Jabalkat, maka di tempat itulah Sunan Kalijogo dulu
memberi wejangan (petuah) pada Sunan Tembayat. Mbah Kyai Mawardi (Bayat,
Klaten, Jateng), seorang kyai keturunan ke-14 dari Sunan Tembayat menyatakan
bahwa kata “Jabal” berasal dari
bahasa Arab artinya: Gunung.
Sedangkan kata “Kat” aslinya berasal
dari bahasa Arab “Ahad” artinya
adalah: Esa atau Ke-Esa-an atau Ke-Tauhid-an. Jadi, Puncak Jabalkat berarti puncak penempuhan ke-TAUHID-an
Sunan Tembayat dibawah arahan serta bimbingan Sunan Kalijogo.
Menurut Mbah
Kyai Mawardi bahwa di puncak tersebut sebenarnya Sunan Tembayat telah menguasai
dan merasakan ilmu-ilmu makrifat ketuhanan seperti yang dirasakan oleh Syaikh
Siti Jenar (Syaikh Hasan Ali), Ki Ageng Pengging, dan murid-muridnya. Oleh
karena Sunan Tembayat sudah menguasai dan merasakan “Puncak
Gunung Ke-Esa-an” (Puncak Jabalkat), lalu Sunan Kalijogo memerintah Sunan
Tembayat agar turun ke bawah membuat masjid bernama “Masjid Golo” yang ada di Gunung Cokrokembang (yang saat ini
berada).
Jadi, dalam
hal ini Sunan Tembayat telah menapaki jalan “Awalu Wajibin Alal Insani
Makrifatul Ilahi Bistiqoni” (awal mula yang wajib bagi manusia adalah Makrifat Pada Tuhan dengan yakin).
Setelah beliau merasakan Puncak Ilmu
Makrifat atau Puncak Gunung
Ke-Esa-an, baru kemudian beliau turun gunung dan mengajarkan syariat dengan
mendirikan MASJID GOLO (Artinya: Masjid Tujuh Belas), sebagai SIMBOL shalat bagi orang Islam sebanyak
17 rakaat setiap hari.
Di Masjid Golo
itulah, kemudian Sunan Kalijogo merestui Sunan Tembayat untuk memberikan
wejangan TATA MALIGE BAITUL MUHAROM,
yakni sebuah ILMU RASA/ILMU BATIN/ILMU
HAWA SUCI yang dipakai “NGUDO
ROSO”/“SARASEHAN” atau “MUSYAWARAH”
atau “PATEMBAYATAN” atau “PIRUKUNAN” terhadap semua masyarakat
Jawa kala itu, tanpa memandang golongan dan paham yang dianut. Dengan model “Patembayatan”/“Sarasehan” inilah yang akhirnya menjadikan manusia tidak merasa
Islam-nya paling benar di hadapan Tuhan, paling suci kelakuan-nya dan
“Paling-Paling” yang lainnya.
Oleh karena
hal di atas, makanya di Puncak Jabalkat terpampang tulisan: “Ojo
Rumongso Biso. Biso-a Rumongso. Jowo Digowo. Arab Digarab”, terjemahan
bebasnya adalah: “Janganlah kita merasa
paling bisa atau paling benar Islamnya. Namun sebisanya kalian harus bisa
merasa (menggali RASA dalam diri pribadimu masing-masing). Tatanan masyarakat
Jawa yang sudah bagus harus tetap dibawa atau dipertahankan. Sedangkan budaya
atau prilaku Arab dalam masyarakat yang tidak benar harus pula digarab”.
Sebab ada orang yang merasa berpakaian Ke-Arab-Araban, kemudian merendahkan
orang yang berpakaian adat Jawa. Bahkan orang yang berpakaian adat Jawa dalam
televisi sering dimunculkan sebagai tokoh jahat.[]
BAB V
NIAT IKUT MENEBARKAN NAFAS PATEMBAYATAN
Pada bab ini saya ingin menyajikan silsilah saya yang bersambung hingga
Sunan Tembayat. Penyajian silsilah ini bukan untuk berniat memamerkan bahwa
saya keturunan seorang sunan atau lainnya. Saya hanya berniat, bahwa karena
saya merupakan keturunan trah Sunan Tembayat, maka saya berniat meneruskan “Wejangan Patembayatan” yang telah
diajarkan Sunan Tembayat dengan harapan patembayatan/ pirukunan segala bangsa
dan agama ini bisa terwujud, sehingga terciptalah kebahagiaan dan kedamaian
bersama. Hanya itulah maksud saya menyajikan silsilah saya.
Silsilah nasab saya hingga kepada Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah menempati dua jalur keturunan. Yakni,
dari jalur Mbah Kyai Raden Taklim (Lereng Gunung Pegat, Srengat, Blitar), saya
menempati generasi ke-15 dari Sunan Tembayat. Sedangkan dari jalur Mbah Kyai
Raden Witono/Syaikh Hasan Ghozali (Kauman, Kalangbret, Tulungagung), saya
menempati generasi ke-16 dari Sunan Tembayat.
Silsilah dari jalur Mbah Kyai Raden Taklim
Srengat Blitar adalah: (1) Sunan Tembayat + Nyai Ageng Kaliwungu Binti Bathoro Kathong, berputra: (2) Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing
Tembayat, berputra: (3) Panembahan Minang
Kabul Ing Tembayat, berputra: (4) Pangeran Ragil Kuning (Raden Ragil Sumendi), Wonokerto, Ponorogo,
berputra: (5) Pangeran
Wongsodriyo/Raden Wongsopuro Wonokreto Ponorogo, berputra: (6) Kyai Ageng Raden Nojo/Noyopuro Wonokreto Ponorogo,
berputra: (7) Kyai Ageng Raden
Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo)
Wonokreto Ponorogo, berputra: (8) Mbah Kyai Raden Taklim (penghulu Srengat), Srengat Blitar, berputra: (9) Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim (Eyang Kasiman),
Pendiri Masjid Agung Kota Blitar, makam di Srengat, berputra: (10) Mbah Kyai Muhammad Syakban atau biasa dikenal
dengan sebutan “Mbah Syakban Gembrang Serang” atau “Mbah Syakban Tumbu”
(makamnya berada di Makam Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat,
Blitar), berputra: (11) Mbah Kyai Muhammad
Asrori, yakni pendiri dan cikal-bakal “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring,
Pakisrejo, Srengat, Blitar, berputra: (12) Mbah Nyai Tsamaniyah (istri dari Mbah Kyai Imam Muhtar atau Kyai Hasan
Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra: (13) Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir Wonodadi) dan
bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar, berputra; (14) Mbah Haji Tamam Thahir (suami dari Nyai Hj. Siti Rofiah Sekardangan,
Kanigoro, Blitar), berputra; (15) Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd.
Adapun silsilah dari jalur Mbah Kyai Raden Witono
Tulungagung adalah: (1) Sunan Tembayat + Nyai
Ageng Kaliwungu Binti Bathoro Kathong, berputra: (2) Raden Panembahan Djiwo (Sayyid Raden Ishaq) Ing Tembayat, berputra: (3) Panembahan Minang Kabul Ing Tembayat, berputra: (4) Pangeran Ragil Kuning (Raden Ragil Sumendi)
Wonokerto, Ponorogo, berputra: (5) Pangeran Wongsodriyo/Raden Wongsopuro Wonokreto Ponorogo, berputra: (6) Kyai Ageng Raden Nojo/Noyopuro Semanding Wonokreto
Ponorogo, berputra: (7) Kyai Ageng Raden
Donopuro (guru dari Kyai Ageng Muhammad Besari/ Kasan Besari I Ponorogo)
Wonokreto Ponorogo, berputra: (8) Mbah Kyai Mangun Witono/ Sayyid Hasan Ghozali, makamnya berada di
belakang “Masjid Tiban Al-Istimrar” Kauman, Kalangbret, Tulungagung, berputra: (9) Mbah Kyai Nur Ali Rahmatullah Kalangbret Tulungagung,
berputra: (10) Mbah Kyai Ali Muntoho
(cikal-bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungagung), berputra: (11) Nyai Mursiyah (istri dari Mbah Kyai Muhammad
Syakban/ Mbah Syakban Gembrang Serang/ Mbah Syakban Tumbu bin Kyai Muhammad
Qosim Penghulu Pertama Blitar), berputra: (12) Mbah Kyai Muhammad Asrori pendiri “Masjid Al-Asror” Kedungcangkring,
Pakisrejo, Srengat, Blitar (suami dari Nyai Haditsah Binti Muhammad Yunus
Srengat), berputra: (13) Mbah Nyai Tsamaniyah
(istri dari Mbah Kyai Hasan Muhtar, Kerjen, Srengat, Blitar), berputra; (14) Mbah Nyai Artijah (istri dari Mbah Muhammad Thahir
dari Wonodadi, Srengat, Blitar) dan bermukim di Kerjen, Srengat, Blitar,
berputra: (15) Mbah Haji Tamam Thahir
(suami dari Nyai Hj. Siti Rofiah Sekardangan, Kanigoro, Blitar), berputra; (16) Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd., Sekardangan.
Demikianlah silsilah nasab penulis hingga
Sunan Tembayat disajikan dengan harapan semoga penulis dapat meneruskan “Wejangan Patembayatan” dari Sunan
Tembayat untuk kebahagiaan semua bangsa dan agama, bahkan untuk kebahagiaan
semua makhluk hidup. Kata kyai saya, meneruskan prilaku-prilaku baik leluhur
merupakan wujud dari berbakti kepada mereka.[]
DAFTAR
BACAAN
Abu Naufal bin Taman At-Thahir (2011). Silsilah Sunan Tembayat Hingga Syaikh Muhammad
Sya’ban Al-Husaini. Blitar: Penerbit Mbrebesmili Center.
Anonim (1994). Sejarah
Mbah Kyai Asror Pakisrejo Srengat. Dikeluarkan oleh Panitia Haul Akbar pada
tanggal 15 Juli 1984.
Arif Muzayin Shofwan (2008). Para Sesepuh Tongkat Estafet Sunan Tembayat. Blitar: Penerbit
Mbrebesmili Center.
Raden Ayu Linawati
(2016). Ranji Walisongo Jilid IV: Mengungkap Fakta, Meluruskan Sejarah” dan disusun oleh Mas Muhammad Shohir Izza, Solo:
t.p.
Arif Muzayin Shofwan dan Putu Ari Sudana (2016). Silsilah
Nasab Kyai Soeroredjo Kauman Blitar. Blitar: Komunitas Sarkubiyah.
Pengurus
Yayasan (t.t). Lembaran
Silsilah “Keluarga Kyai Raden Muhammad Qosim/ Eyang Kasiman” yang
tersimpan di Yayasan Kyai Raden Muhammad Kasiman sebelah Utara Masjid Agung
Kota Blitar.
KH.
M. Amin, BR (t.t). Pembangunan Layang
Jiwo Kalimosodo. Surabaya: CV. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar